Kamis, 23 Agustus 2012

Thalhah bin Ubaidillah RA, Syahid yang Berjalan di Muka Bumi, 10 sahabat yang Dijamin Masuk Surga

Thalhah bin Ubaidillah masih mempunyai garis keturunan yang bersambung dengan Rasulullah SAW, yakni pada Murrah bin Ka’ab, enam atau tujuh generasi di atas beliau. Ketika ia sedang berdagang di pasar Bushra, Syam, ada seseorang yang diutus oleh seorang rahib untuk mencari-cari orang yang datang dari tanah haram (Makkah). Thalhah menyatakan dirinya dari Makkah, dan ia diajak menemui rahib yang beragama Nashrani itu di biaranya. Sang Rahib bertanya kepadanya, "Apakah Ahmad telah muncul?"
"Siapakah Ahmad?" Thalhah balik bertanya kepada rahib itu.
"Beliau adalah putra Abdullah bin Abdul Muthalib, bulan ini adalah bulan dimana ia akan muncul sebagai Nabi terakhir. Tempat munculnya adalah tanah haram, dan tempat hijrahnya adalah daerah yang banyak ditumbuhi pohon kurma, banyak batu hitam dan tanahnya sangat asin sehingga jarang ditumbuhi pepohonan. Hendaknya engkau bersegera menyambutnya…!"
Perkataan rahib ini sangat berkesan di hatinya, sehingga ia memutuskan untuk segera pulang ke Makkah. Sesampainya di Makkah, ia bertanya kepada orang-orang tentang peristiwa yang baru saja terjadi, mereka berkata, "Muhammad bin Abdullah telah menyatakan dirinya sebagai Nabi, dan Abu Bakar bin Abu Quhafah telah mengikuti ajarannya…"
Thalhah segera menemui Abu Bakar untuk menanyakan kebenaran berita tersebut, dan ia menceritakan apa yang dialaminya dengan Rahib Nashrani di Bushra, Syam. Mereka berdua segera menemui Nabi SAW. Ketika ia menceritakan peristiwa dengan Rahib Nashrani di Bushra, Rasulullah SAW sangat gembira atas pembenaran sang Rahib dan makin menguatkan tekad beliau untuk terus mendakwahkan Islam, apapun resikonya. Thalhah sendiri seketika itu memeluk Islam, sesuai dengan yang disarankan oleh sang Rahib tersebut.
Sebagaimana para pemeluk Islam pada masa awal, ia tak terlepas dari penyiksaan dan teror dari para pembesar dan pemimpin kaum Quraisy untuk mengembalikannya ke agama jahiliah, padahal ia seorang hartawan dan terpandang di antara kaumnya. Setelah keislamannya diketahui oleh orang-orang Quraisy, Nufail bin Khuwailid, salah seorang pembesar yang terkenal dengan sebutan ‘Singa Quraisy’ mencari-cari dirinya. Mereka bertemu Thalhah sedang berjalan dengan Abu Bakar yang segera saja keduanya ditangkap dan disiksa. Mereka berdua diikat dengan satu tambang, kemudian diancam dan diintimidasi. Tetapi mereka tidak berani bertindak terlalu keras dan kejam karena khawatir dengan pembalasan dari kabilahnya Abu Bakar dan Thalhah. Setelah berbagai ancaman dilakukan, dari yang halus hingga keras tidak juga berhasil, akhirnya mereka melepaskannya kembali. Karena peristiwa ini, Abu Bakar dan Thalhah disebut sebagai ‘Al Qarinain’, artinya dua setangkai.
Thalhah juga mengalami penyiksaan dari ibunya sendiri, Sha’bah binti Hadramy, saudara dari seorang sahabat Nabi SAW, Ala’ bin Hadramy. Tangan Thalhah diikatkan pada lehernya, kemudian diarak berkeliling di jalan-jalan kota Makkah, diikuti rombongan keluarganya. Ibunya mengikuti di belakangnya sambil mencaci maki dirinya. Walau disakiti dan dipermalukan oleh orang yang sangat dicintai dan dihormatinya, keyakinan dan keimanannya tidak bergeming. Bagaimanapun juga Allah SWT dan Nabi SAW lebih dicintainya daripada ibu dan sanak keluarganya yang lain.
Thalhah bin Ubaidillah termasuk dalam as sabiqunal awwalin (kelompok yang pertama memeluk Islam), ia juga salah satu dari sepuluh sahabat yang memperoleh berita gembira masuk surga ketika hidupnya. Sembilan lainnya adalah empat sahabat Khulafaur Rasyidin, Abdurrahman bin Auf, Sa'd bin Abi Waqqash, Sa'id bin Zaid, Zubair bin Awwam dan Abu Ubaidah bin Jarrah.
Pada waktu turun surah Al Ahzab ayat 23,  "…Di antara orang-orang mukmin itu terdapat sejumlah laki-laki yang memenuhi janji-janji mereka terhadap Allah. Di antara mereka ada yang memberikan nyawanya, sebagian yang lain sedang menunggu gilirannya. Dan tak pernah mereka merubah pendiriannya sedikitpun…!"
Nabi SAW menyapukan pandangannya kepada para sahabat yang berkumpul, ketika menatap pada Thalhah, beliau bersabda, "Siapa yang ingin melihat seseorang yang masih berjalan di muka bumi, tetapi ia telah menyerahkan nyawanya (kepada Allah, maksudnya syahid), hendaklah ia memandang kepada Thalhah…"
Setelah hijrah ke Madinah, Thalhah hampir tidak pernah tertinggal berjuang bersama Rasulullah SAW, kecuali pada Perang Badar. Pada perang ini Thalhah dan Sa'id bin Zaid dikirimkan Nabi SAW untuk tugas mata-mata ke suatu tempat. Namun demikian beliau memasukkannya sebagai Ahlu Badar dan memberi mereka bagian dari ghanimah perang Badar. Ada delapan orang sahabat yang tidak secara langsung terlibat dalam perang Badar tetapi Nabi SAW menempatkannya sebagai Ahlu Badar sebagaimana pahlawan Badar lainnya, yang mendapat pujian dalam Al Qur'an. Selain Thalhah dan Sa'id bin Zaid, adalah Utsman bin Affan, Abu Lubabah, Ashim bin Adi, Harits bin Hathib, Harits bin Shimmah dan Khawwat bin Jubair R.Hum.
Seolah ingin menebus ketertinggalannya di perang Badar, Thalhah ingin mencurahkan kemampuan dan semangat perjuangannya di Perang Uhud. Pada awal pertempuran, pasukan kafir Quraisy centang-perenang digempur oleh semangat jihad kaum muslimin, termasuk Thalhah, yang tidak mau jauh dari posisi Nabi SAW. Peranan 50 pemanah di atas bukit yang dipimpin oleh Abdullah bin Jubair, sangat menentukan sisi pertahanan pasukan muslim. Nabi SAW telah berpesan kepada mereka untuk tidak meninggalkan posisi tersebut, menang atau kalah, sampai  beliau sendiri yang memerintahkannya.
Setelah pasukan Quraisy kocar-kacir meninggalkan arena pertempuran dan meninggalkan banyak sekali barang-barangnya, pasukan pemanah ini sebagian besar tergiur untuk mengambil barang rampasan. Ibnu Jubair berteriak mengingatkan akan pesan Nabi SAW, tetapi mereka tidak menggubrisnya. Empat puluh pemanah meninggalkan posnya untuk berebut harta rampasan perang. Mengetahui keadaan itu, pasukan berkuda Quraisy yang dipimpin Khalid bin Walid berbalik lagi menaiki bukit, dan sepuluh pemanah yang tertinggal tidak berdaya menghadangnya sehingga mereka syahid semua. Pasukan Quraisy lainnya mengikuti jejak Khalid menyerang pasukan muslim. Kondisi jadi berbalik, bahkan posisi Nabi SAW jadi terancam.
Beliau mencoba menghimpun pasukan muslim di sekitarnya, dan hanya tujuh orang Anshar dan dua Muhajirin yang sempat melindungi beliau ketika gelombang  pasukan Quraisy mendekati posisi Nabi SAW. Satu persatu sahabat Anshar menghadang serangan mereka, sementara dua sahabat Muhajirin pasang badan melindungi Nabi SAW dari serangan yang mengarah pada beliau. Sa'd  bin Abi Waqqash menyerbu dengan panahnya dengan gencar, sampai Nabi SAW perlu membantu mengulurkan  anak panah kepadanya. Sedangkan Thalhah bin Ubaidillah menghadang para penyerang Nabi SAW dengan pedangnya. Kekuatan sangat tidak berimbang, satu persatu sahabat Anshar gugur, bahkan Nabi SAW terluka, padahal beliau  memakai baju besi. Tinggallah Thalhah dan Sa'd bertahan mati-matian melindungi Nabi SAW agar beliau tidak terkena senjata secara langsung. Namun demikian beliau sempat terjatuh ke dalam lobang dan darah mengucur dari  pipi dan kening beliau, sehingga penyerang-penyerang tersebut sempat meneriakkan kalau Nabi SAW telah wafat.
Untunglah tidak berapa lama sekelompok sahabat berhasil menerobos kepungan dan berhimpun di sekitar Nabi SAW. Yang pertama sampai adalah Abu Bakar, kemudian Abu Ubaidah bin Jarrah dan menyusul beberapa sahabat lainnya, termasuk seorang sahabat wanita, Ummu Ammarah (Nashibah atau Nushaibah binti Ka'b). Tetapi pada saat yang sama, Thalhah roboh di hadapan Nabi SAW karena terlalu banyak luka-luka pada tubuhnya. Makin banyak sahabat yang berhasil datang dan melindungi sehingga orang-orang kafir tersebut gagal memenuhi targetnya untuk membunuh Nabi SAW.
Ketika Nabi SAW memerintahkan Abu Bakar dan Abu Ubaidah memeriksa keadaan Thalhah, terdapat tujuh puluh luka-luka sobekan dan tusukan, tetapi nyawanya masih bisa terselamatkan.
Jika Abu Bakar menceritakan saat-saat kritis Nabi SAW di perang Uhud, yang hampir saja beliau terbunuh, ia selalu berkata, "Hari itu keseluruhannya adalah milik Thalhah…."
Thalhah adalah seorang pejuang yang tangguh di medan-medan pertempuran yang diterjuninya, tetapi ia juga seorang pengusaha yang trampil dan bertangan dingin, sehingga harta dari hasil perniagaannya melimpah ruah. Bakat dagang ini telah dimilikinya sejak masa jahiliah. Seolah telah disiapkan untuk jadi ahlul jannah, kekayaan yang dikumpulkannya lebih banyak digunakan untuk membantu orang-orang yang memerlukannya. Sejak lama ia dikenal sebagai "Thalhah al Khair (Thalhah yang baik hati)" atau juga "Thalhah al Jud (Thalhah si Penyantun)".
Ketika di Madinah, ia pernah terlihat begitu sedih dan berduka. Istrinya, Su'da bin Auf RA menanyakan sebab kesedihannya tersebut, maka Thalhah berkata, "Soal harta yang kita miliki ini, semakin hari semakin banyak saja, sehingga menyusahkan dan menyempitkan hatiku…."
Karena istrinya juga didikan Islam yang dipenuhi keimanan, ia berkata, "Bagi-bagikan sajalah kepada kaum muslimin yang memerlukannya!!"
Thalhah bangkit berdiri dan memanggil orang-orang untuk berkumpul di rumahnya, dan membagikan hartanya kepada mereka sehingga tidak tersisa, walaupun hanya satu dirham.  
Pernah juga ia berhasil menjual tanahnya dengan harga tinggi sehingga harta bertumpuk di rumahnya, maka mengalirlah air matanya, dan ia berkata, "Sungguh, jika seseorang 'dibebani' bermalam dengan harta sebanyak ini dan tidak tahu apa yang akan terjadi, pastilah akan mengganggu ketentraman ibadahnya kepada Allah…!"
Malam itu juga ia memanggil beberapa sahabatnya dan membawa harta tersebut berkeliling di jalan-jalan di kota Madinah untuk membagikan kepada yang memerlukan. Sampai fajar tiba belum habis juga, dan diteruskan  setelah shalat subuh hingga menjelang siang. Ia baru merasa lega setelah tidak tersisa lagi walau hanya satu dirham.
Berlalulah waktu, Rasulullah wafat dan digantikan Abu Bakar, Abu Bakar wafat dan digantikan oleh Umar. Selama itu irama hidupnya tidak banyak berbeda, memanggul senjata untuk menegakkan panji Islam atau menjalankan perniagaannya. Selama itu pula ia terus menunggu kapan penantiannya akan berakhir? Kapan "syahid" yang berjalan di muka bumi (yakni dirinya, sebagaimana disebut Nabi SAW)  akan menjadi benar-benar syahid?
Thalhah akhirnya menemui syahidnya di perang Jamal di masa khalifah Ali bin Abi Thalib. Ironinya, dalam peperangan tersebut ia bersama Zubair bin Awwam dan Ummil Mukminin Aisyah memimpin pasukan dari Bashrah  untuk melakukan perlawanan kepada Ali bin Abi Thalib, dengan dalih menuntut balas kematian Utsman. Padahal beberapa waktu sebelumnya mereka ikut memba'iat Ali sebagai khalifah. Inilah memang dahsyatnya bahaya fitnah, sehingga orang-orang terpilih di masa Rasulullah SAW saling berperang satu sama lainnya.
Ada perbedaan pendapat tentang syahidnya Thalhah. Satu riwayat menyebutkan, ketika pertempuran mulai berlangsung dan dari kedua pihak berjatuhan korban tewas, Ali menangis dan menghentikan pertempuran, padahal saat itu posisinya dalam keadaan menang. Ali meminta kehadiran Thalhah dan Zubair untuk melakukan islah. Ali mengingatkan Thalhah dan Zubair berbagai hal ketika bersama Rasulullah SAW, termasul ramalan-ramalan beliau tentang mereka bertiga. Thalhah dan Zubair menangis mendengar penjabaran Ali dan seolah diingatkan akan masa-masa indah bersama Rasulullah SAW. Apalagi saat itu mereka melihat Ammar bin Yasir ikut bergabung dalam pasukan Ali. Masih jelas terngiang di telinga mereka sabda Nabi SAW ketika kerja bakti membangun masjid Nabawi, "Aduhai Ibnu Sumayyah (yakni, Ammar bin Yasir), ia akan terbunuh oleh kaum pendurhaka…..!!"
Kalau terus memaksakan pertempuran ini, jangan-jangan mereka menjadi "kaum pendurhaka" tersebut. Thalhah dan Zubair memutuskan menghentikan pertempuran dan ia menyarungkan senjatanya, kemudian  berbalik menemui pasukannya. Tetapi ada anggota pasukan yang tidak puas dengan keputusan ini dan mereka  memanah dan menyerang keduanya hingga tewas. Sebagian riwayat menyebutkan penyerangnya dari pasukan Ali, riwayat lain dari pasukan Bashrah sendiri.
            Sedangkan riwayat lain menyebutkan, pertempuran berlangsung seru dan pasukan Bashrah dikalahkan oleh pasukan Ali, Thalhah dan Zubair bin Awwam gugur menemui syahidnya.

Zubair bin Awwam RA, Hawari-nya Rasulullah SAW, 10 sahabat yang Dijamin Masuk Surga

Zubair bin Awwam masih sepupu Nabi SAW, walau usianya berbeda jauh. Ibunya adalah Shafiyyah binti Abdul Muthalib saudara dari ayahanda Rasulullah SAW, Abdullah.  Dan ayahnya adalah Awwam bin Khuwailid, saudara dari Khadijah, istri Nabi SAW. Maka tak heran jika Nabi SAW sangat menyayanginya. Ia telah memeluk Islam pada masa-masa awal Islam didakwahkan ketika masih berusia 12 tahun, dalam riwayat lainnya 15 tahun. Karena itu ia termasuk dalam kelompok sahabat as sabiqunal awwalin, yang memperoleh pujian langsung dari Allah dalam Al Qur'an. Ia juga salah satu dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga ketika hidupnya.
Tidak lama setelah memeluk Islam, ia mendengar berita bahwa penduduk Makkah telah membunuh Nabi SAW, dengan marah ia menghunus pedangnya dan mencari tahu siapa yang membunuh beliau. Tetapi kemudian ia bertemu dengan Nabi SAW yang segar bugar saja, sementara pedangnya masih terhunus, Beliau bertanya, "Apa yang terjadi denganmu, wahai Zubair?"
"Aku mendengar bahwa tuan telah dibunuh.." Kata Zubair.
"Lalu, apa yang akan kamu lakukan?" Tanya Nabi SAW.
"Aku akan memancung kepala orang yang membunuh tuan…"
Nabi SAW tersenyum melihat sikap dan semangatnya. Beliau mendoakan dia dan juga pedangnya, kemudian menyuruhnya pulang. Itulah pedang yang pertama kali dihunuskan demi untuk membela Islam.
Peristiwa itu merupakan gambaran awal bagaimana sikap Zubair bin Awwam terhadap Nabi SAW dan Islam, maka tak heran jika kemudian ia tak pernah absen dalam semua pertempuran bersama Nabi SAW dan setelah beliau meninggal. Jiwa dan semangat hidupnya dihabiskan untuk mengabdi pada perjuangan menegakkan panji-panji Islam.
Sebagaimana para sahabat pada masa awal, keislamannya membawanya kepada penyiksaan dari kaum Quraisy, walau sebenarnya ia dari keluarga terhormat dan sangat disegani. Pamannya sendiri, Naufal bin Khuwailid yang dikenal dengan nama "Singa Quraisy", pernah menggulungnya dengan tikar dan menggantungnya terbalik dalam keadaan terikat, dan di bawahnya ada api sehingga asapnya menyesakkan dadanya. Berbagai siksaan ditimpakan oleh kaum  kerabatnya sendiri, tetapi semua itu tidak mampu mengembalikannya ke agama jahiliahnya.
Karena makin kerasnya tekanan dan siksaan yang ditimpakan kaum kafir Quraisy pada orang-orang yang memeluk Islam, Nabi SAW mengijinkan mereka untuk berhijrah ke Habasyah, dan Zubair termasuk di antaranya. Raja Habasyah, Najasyi memberikan perlindungan kepada para muhajirin ini, dan memberikan kebebasan untuk melaksanakan ibadahnya sendiri. Hal itu menimbulkan sekelompok orang melakukan pemberontakan, tidak setuju dengan sikap Najasyi tersebut. Sempat terjadi pertempuran, yang dalam pertempuran tersebut Zubair ikut berperan serta sebagai mata-mata untuk kepentingan Najasyi dan kaum muhajirin lainnya. Jika ternyata Najasyi kalah, ia harus segera memberitahukan agar kaum muslimin bisa segera meninggalkan bumi Habasyah. Tetapi Allah menghendaki kemenangan ada di pihak Najasyi, sehingga kaum muslimin dengan tenang tinggal di negeri Nashrani tersebut. 
Walau hidup dalam keadaan damai dan tenang melaksanakan ibadah, tetapi hati Zubair selalu gelisah. Sejak ia memeluk Islam, hatinya seolah terikat dengan Rasulullah SAW. Ada kerinduan menggejolak untuk selalu bersama beliau, walau ada juga kekhawatiran. Karena itu, begitu mendengar keislaman Hamzah dan Umar bin Khaththab, yang membuat posisi kaum muslimin lebih kuat, ia segera kembali ke Makkah untuk bisa selalu bertemu dan melihat Rasulullah SAW, kapan saja kerinduannya itu datang.
Zubair juga dikenal sebagai penunggang kuda yang handal. Dialah salah satu dari hanya dua penunggang kuda pasukan muslim pada Perang Badar, dan ia diserahi Nabi SAW memimpin front/sisi kanan. Satu lagi adalah  Miqdad bin Aswad, diserahi untuk memimpin front kiri. Dengan pedang yang pernah didoakan oleh Nabi SAW, jiwa kepahlawanannya jadi makin menonjol. Dalam perang Badar tersebut ia mampu membunuh jagoan-jagoan Quraisy yang jadi andalan, seperti Naufal bin Khuwailid, Si Singa Quraisy yang masih pamannya sendiri, Ubaidah bin Said,  Ibnul Ash bin Umayyah, dan lain-lain.
Pada awal perang Uhud, Nabi SAW mengangkat sebuah pedang dan berkata, "Siapa yang mau mengambil pedang ini dengan memberikan haknya??"
Beberapa sahabat yang berkumpul tidak segera memberikan kesanggupan, maka Zubair bin Awwam segera  menyahutnya, "Saya, ya Rasulullah."
Tetapi Nabi SAW hanya memandangnya sekilas, kemudian mengulangnya hingga tiga kali, dan hanya Zubair yang dengan segera menyanggupinya. Namun demikian beliau tidak menyerahkan pedang tersebut kepadanya. Ketika Abu Dujanah yang menyanggupinya, beliau langsung menyerahkannya. Ini bukan berarti Nabi SAW tidak mempercayainya, tetapi Zubair telah memiliki pedang yang pernah didoakan Nabi SAW sehingga ia tidak memerlukan pedang lainnya. Biarlah pedang tersebut dipegang dan dimiliki sahabat lain untuk mengukirkan kepahlawanannya  kepada Islam.
Pada perang Uhud itu pula, pemegang panji kaum musyrikin, Thalhah bin Abu Thalhah menantang duel, tetapi tidak ada yang menyambutnya, sehingga dengan congkaknya ia meremehkan pasukan muslim. Ia memang seorang jagoan Quraisy yang perkasa. Segera saja Zubair keluar menyambut tantangannya. Ia berhasil meloncat ke atas belakang unta Thalhah dan mereka jatuh bergulingan di atas tanah. Zubair berhasil membantingnya kemudian membunuhnya dengan pedang kesayangannya, pedang yang pernah didoakan Rasulullah SAW.
Nabi SAW memuji ketangkasan Zubair tersebut dan beliau bersabda, "Setiap nabi itu mempunyai hawariyyun (pembela), dan hawariyunku adalah Zubair…"
Begitu juga dalam perang Khandaq, saat itu Naufal bin Abdullah bin Mughirah al Makhzumi menaiki tempat  yang tinggi kemudian menantang duel kaum muslimin. Nabi SAW sempat menawarkan pada salah seorang sahabat untuk melayani tantangan tersebut, dan ia menyanggupinya kalau memang diperintahkan. Tetapi kemudian Nabi SAW melihat keberadaan Zubair bin Awwam, beliaupun bersabda, "Bangunlah kamu, ya Abu Safiah, pergilah kepadanya!"
Majulah Zubair menghadapi Naufal, Mereka beradu kekuatan, saling merangkul dan bergulingan di tanah. Nabi SAW menyatakan bahwa siapa yang jatuh ke bawah lebih dahulu, dialah yang akan terbunuh. Beliau berdoa dan diamini oleh sahabat-sahabat lainnya. Tak lama kemudian Naufal jatuh, dan Zubair jatuh di atas dadanya, ia segera membunuhnya.
Begitulah, hampir semua pertempuran diterjuninya. Bahkan sebuah riwayat menyebutkan, Zubair bin Awwam adalah satu-satunya sahabat yang tidak pernah absen dari pertempuran yang dilakukan bersama Nabi SAW. Mungkin itu sebagian dari penjabaran bahwa Zubair memang hawari (pembela) Nabi SAW. Dan dalam setiap pertempuran, ia selalu menunjukkan jiwa dan semangat jihadnya, jiwa dan semangat untuk memperoleh syahid di jalan Allah. Begitu juga dengan berbagai pertempuran yang diterjuninya sepeninggal Nabi SAW. 
Nama Zubair hampir tidak bisa dipisahkan dengan Thalhah. Kalau disebut nama Zubair, pastilah orang akan menyebut Thalhah, dan kalau ada yang menyebut Thalhah, pastilah Zubair disebut juga. Mereka berdua memang memiliki banyak kesamaan, sejak kecil dan remaja tumbuh bersama. Ketika mereka berdua memeluk Islam, Nabi SAW-pun mempersaudarakan mereka, di samping mereka berdua memang masih kerabat dekat dengan beliau.  Bahkan kemudian Nabi SAW pernah berkata, "Thalhah dan Zubair adalah tetanggaku di surga…..!"
Tidak ada bedanya jiwa perjuangan Thalhah dan Zubair dalam membela Islam, begitu juga dengan jiwa pemurah dan kedermawanannya. Seperti halnya Thalhah, ketika tidak sedang mengangkat pedangnya untuk berjuang di jalan Allah, ia akan mengurus perniagaannya, dan hasil perniagaannya lebih banyak dibelanjakan di jalan Allah daripada dinikmatinya sendiri. Bahkan dalam soal shadaqah dan membelanjakan harta di jalan Allah ini, bisa dikatakan "besar pasak daripada tiang." Ia tidak segan untuk berhutang demi "memuaskan" jiwa pemurah dan dermawannya. Tetapi ia selalu mencatat dengan  rapi hutang-hutangnya tersebut, dan mewasiatkan kepada anaknya, Abdullah bin Zubair untuk membayar hutangnya jika sewaktu-waktu ia meninggal, sambil ia berpesan, "Bila nanti engkau tidak mampu membayar hutang-hutang tersebut, minta tolonglah kepada Induk Semang  (Maulana) kita!!"
"Induk Semang yang mana yang bapak maksudkan?" Tanya Abdullah bin Zubair.
"Induk Semang dan Penolong kita yang utama, yakni Allah SWT…."
Maka, setiap kali Ibnu Zubair mengalami kesulitan dalam membayar hutang bapaknya, ia selalu berdoa, "Wahai Induk Semangnya Zubair, tolonglah aku melunasi hutangnya…!"
Tidak lama setelah itu, selalu ada jalan keluar bagi Ibnu Zubair untuk melunasi hutang-hutang ayahnya.
Seperti telah ditakdirkan untuk bersama-sama, kedua orang bersahabat itu, Zubair dan Thalhah inipun menjemput syahidnya bersama, yakni dalam perang Jamal di masa khalifah Ali bin Abi Thalib. Hanya saja dalam perang saudara tersebut ia bersama Thalhah bin Ubaidillah dan Ummil Mukminin Aisyah memimpin pasukan dari Bashrah  untuk melakukan perlawanan kepada Ali bin Abi Thalib, dengan dalih menuntut balas kematian Utsman. Padahal beberapa waktu sebelumnya mereka ikut memba'iat Ali sebagai khalifah. Inilah memang dahsyatnya bahaya fitnah, sehingga orang-orang terpilih di masa Rasulullah SAW saling berperang satu sama lainnya.
Ada perbedaan pendapat tentang syahidnya Zubair. Satu riwayat menyebutkan, ketika pertempuran mulai berlangsung dan dari kedua pihak berjatuhan korban tewas, Ali menangis dan menghentikan pertempuran, padahal saat itu posisinya dalam keadaan memang. Ali meminta kehadiran Thalhah dan Zubair untuk melakukan islah. Ali mengingatkan Thalhah dan Zubair berbagai hal ketika bersama Rasulullah SAW, termasuk ramalan-ramalan beliau tentang mereka bertiga. Thalhah dan Zubair menangis mendengar penjabaran Ali dan seolah diingatkan akan masa-masa indah bersama Rasulullah SAW, apalagi saat itu mereka melihat Ammar bin Yasir ikut bergabung dalam pasukan Ali. Masih jelas terngiang sabda Nabi SAW ketika ‘kerja bakti’ membangun masjid Nabawi, "Aduhai Ibnu Sumayyah (yakni, Ammar bin Yasir), ia akan terbunuh oleh kaum pendurhaka…..!!"
Zubair dan Thalhah memutuskan menghentikan pertempuran dan ia menyarungkan senjatanya, kemudian  berbalik menemui pasukannya. Tetapi ada anggota pasukan yang tidak puas dengan keputusan ini dan mereka  memanah keduanya hingga tewas. Sebagian riwayat menyebukan pembunuhnya dari pasukan Ali, riwayat lain dari pasukan Bashrah sendiri.
Sedangkan riwayat lain menyebutkan, pertempuran berlangsung seru dan pasukan Bashrah dikalahkan oleh pasukan Ali, Thalhah dan Zubair bin Awwam gugur menemui syahidnya. Sedangkan Ummul Mukminin Aisyah dikirimkan lagi ke Madinah dengan pengawalan saudaranya, Muhammad bin Abu Bakar yang ada di fihak Ali.
Zubair meninggal dalam usia 64 tahun, dan jenazahnya di makamkan di suatu tempat yang disebut Waadis Sibba, sekitar 7,5 km dari kota Bashrah, di Irak sekarang ini.
Usai pertempuran, ketika Ali sedang beristirahat, datang salah seorang prajuritnya dan berkata, "Amr bin Jurmuz at Tamimi, pembunuh Zubair bin Awwam menunggu di luar, minta ijin untuk menghadap!!"
Ali mengijinkannya. Amr masuk dengan pongahnya, ia mengira akan memperoleh pujian dan penghargaan karena telah membunuh seseorang yang memusuhi khalifah Ali. Tapi begitu bertatap muka, Ali membentaknya dengan keras, dan berkata, "Apakah pedang yang kamu bawa itu pedang Zubair??"
Dengan gemetar ketakutan, ia berkata, "Benar, ini pedang Zubair, saya merampasnya setelah saya membunuhnya!"
Ali mengambil pedang tersebut dari tangannya dan menggenggamnya penuh perasaan dan khusyu, diciumnya pedang yang pernah didoakan Nabi SAW tersebut penuh rindu dan haru, hingga air mata membasahi pipinya, kemudian Ali berkata, "Pedang ini, Demi Allah, adalah pedang yang selama ini digunakan pemiliknya untuk membebaskan Nabi SAW dari berbagai marabahaya…..!!"
Setelah itu Ali memandang Amr bin Jurmuz dengan mata menyala, "Mengenai dirimu, wahai pembunuh Zubair, bergembiralah dengan masuk neraka, atas apa yang kamu lakukan kepada putra Shafiyah ini….!"
Amr berlalu dengan dongkol karena maksudnya tidak tercapai, sambil ia bergumam, "Aneh sekali tuan-tuan ini, telah kami bunuh musuh tuan, tetapi tuan katakan saya akan masuk neraka….!!"

Abdurrahman bin Auf RA, Sulaiman-nya Ummat Nabi Muhammad SAW, 10 sahabat yang Dijamin Masuk Surga

            Abdurrahman bin Auf termasuk dalam kelompok sahabat as Sabiqunal Awwalun, ia memeluk Islam pada hari-hari pertama Islam didakwahkan, yakni lewat perantaraan Abu Bakar ash Shiddiq. Ia mempunyai garis keturunan yang sama dengan Rasulullah SAW, yakni bertemu pada Kilab bin Murrah, empat generasi di atasnya, dan berusia sepuluh tahun lebih muda daripada Nabi SAW.  Pada masa jahiliahnya ia bernama Abdul Amr atau Abdul Ka’bah, dan setelah keislamannya, Nabi SAW mengganti namanya dengan Abdurrahman.
Abdurrahman juga termasuk dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga ketika masih hidupnya. Sembilan orang lainnya adalah empat khalifah Khulafaur Rasyidin, Abu Bakar, Umar Utsman dan Ali, kemudian Abu Ubaidah bin Jarrah, Sa’d bin Abi Waqqash, Sa’id bin Zaid, Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam. Ia juga seorang sahabat yang berhasil dalam perniagaannya, sehingga hartanya selalu berlimpah. Apapun bidang usaha yang ditekuninya selalu memberikan keuntungan, sehingga ia sempat takjub atas dirinya sendiri, dan berkata, "Sungguh mengherankan diriku ini, seandainya aku mengangkat batu tentulah kutemukan emas dan perak di bawahnya." 
Namun kekayaannya yang melimpah tidak menjadikannya takabur. Orang yang belum pernah mengenalnya, bila bertemu untuk pertama kali, mereka tidak akan bisa membedakan antara dirinya sebagai tuan dan pelayan/pegawainya, karena kesederhanaan penampilannya.
Ketika datang perintah hijrah ke Madinah, seperti kebanyakan sahabat lainnya, Ibnu Auf meninggalkan harta kekayaannya di Makkah kecuali sedikit sekali, sekedar untuk perbekalan. Di Madinah Nabi SAW mempersaudarakannya dengan Sa’d bin Rabi al Anshari. Sa’d berkata kepadanya, “Aku adalah (salah satu) orang Anshar yang paling kaya, aku bagi dua hartaku dan separuhnya untukmu. Lihatlah istri-istriku, mana yang engkau sukai akan aku ceraikan. Setelah usai iddahnya, engkau bisa menikahinya…"
Ia amat berterima kasih atas tawarannya tersebut, tetapi ia tidak mau menerimanya begitu  saja. Ia hanya minta ditunjukkan pasar dan keesokan harinya ia berangkat ke pasar kaum Yahudi Bani Qainuqa. Ia berdagang keju dan minyak samin, dan tidak berselang terlalu lama ia menjadi seorang pedagang yang sukses dan kaya raya.
Pernah ia dipusingkan dengan hartanya yang begitu berlimpah sehingga ia begitu gelisah dan tidak bisa tidur. Istrinya yang bijak dan penuh keimanan memberikan saran yang bisa menentramkan hatinya. Sang istri berkata, "Hendaknya hartamu engkau bagi tiga, dengan sepertiganya, engkau carilah saudaramu seiman yang berhutang dan lunasilah hutang mereka. Dengan sepertiganya lagi, carilah saudaramu seiman yang memerlukan uang dan berilah mereka pinjaman. Dan sepertiganya lagi, engkau pakai sebagai modal perniagaanmu…"
Ketika Nabi SAW menyeru agar umat Islam bersedekah untuk mendanai Perang Tabuk, Abdurrahman bin Auf menyedekahkan seluruh hartanya yang berjumlah sekitar 200 uqiyah atau 8000 dirham. Umar bin Khaththab mengadukan sikap Abdurrahman kepada Nabi SAW karena tidak menyisakan apapun untuk keluarganya, sedangkan ia sendiri menyedekahkan separuh hartanya sebanyak 100 uqiyah, separuhnya lagi ditinggalkan untuk keperluan keluarganya.
Karena pengaduan Umar ini, Rasulullah SAW memanggilnya, kemudian bertanya, "Wahai Abdurrahman, apakah engkau menyisakan sesuatu untuk keluarga yang engkau tinggalkan berjihad??"
"Benar, ya Rasulullah!" Kata Abdurrahman, "Aku telah meninggalkan untuk keluargaku sesuatu yang lebih baik dan lebih banyak daripada apa yang kusedekahkan!"
"Berapa?" Nabi SAW bertanya.
"Kebaikan dan rezeqi yang dijanjikan oleh Allah dan Rasul-Nya!" 
Rasulullah SAW membenarkan sikapnya dan menerima alasan Abdurrahman tersebut.
Suatu hari, beberapa tahun setelah Rasulullah SAW wafat, terdengar suara bergemuruh dan debu mengepul menuju kota Madinah, seolah-olah ada pasukan yang sedang menyerbu kota Madinah. Ummul Mukminin, Aisyah RA berkata, "Apa yang sedang terjadi di kota Madinah ini?”
Seseorang menjelaskan bahwa kafilah dagang Abdurrahman bin Auf baru datang dari Syam, sebanyak 700 kendaraan penuh dengan barang yang bermacam-macam. Masyarakat Madinah menyambut dengan gembira kedatangan kafilah tersebut karena mereka pasti akan ikut merasakan manfaatnya. Mendengar penjelasan tersebut, Aisyah tercenung sesaat seolah-olah mengingat sesuatu, kemudian ia berkata, "Aku ingat Rasulullah SAW pernah bersabda : Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan perlahan-lahan. Ini yang mungkin dimaksud beliau…."
Sebagian riwayat menyebutkan, sabda Nabi SAW tentang dirinya tersebut dengan redaksi yang berbeda, yakni : Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan merangkak, dan beberapa redaksi lainnya, yang intinya adalah ia “tertunda” karena terlalu banyaknya harta kekayaannya. Walaupun ia memperoleh harta kekayaannya dengan jalan halal dan membelanjakan atau mengeluarkan dengan jalan halal pula, tetapi ia harus melewati hisab yang tentunya lebih lama dibanding sahabat-sahabat as Sabiqunal Awwalin lainnya.
Sebagian sahabat yang mendengarkan ucapan Aisyah tersebut menyampaikan ucapan tersebut kepada Abdurrahman bin Auf. Ia segera ingat, bahwa Nabi SAW memang pernah bersabda seperti itu, dan ia juga ingat bahwa beliau memberitakan, bahwa pertanyaan akhirat tentang umur dan ilmu hanya satu, tetapi tentang harta ada dua, bagaimana mendapatkannya dan dimana/bagaimana membelanjakannya? 
Sebelum sempat barang perniagaannya diturunkan dari kendaraan, ia bergegas menemui Aisyah, dan berkata, "Anda telah mengingatkanku akan hadits, yang sebelumnya tak pernah kulupakan. Dengan ini saya memohon dengan sangat anda menjadi saksi, bahwa kafilah dagang dan semua muatan berikut kendaraan dan perlengkapannya kubelanjakan di jalan Allah SWT."
Ia pernah mengalami sakit parah, yang ia menyangka akan segera meninggal, maka ia berwasiat agar seper-tiga dari hartanya disedekahkan setelah kematiannya. Hal ini sesuai dengan perintah Rasulullah SAW. Ternyata ia sehat kembali sehingga wasiatnya tidak mungkin dilaksanakan. Karena tidak ingin ‘membatalkan’ wasiatnya begitu saja, ia berkata, “Setiap sahabat Ahlu Badr (yang mengikuti Perang Badar) yang masih hidup, berhak atas 400 dinar dari hartaku!!”
Mereka berdatangan ke rumah Abdurrahman bin Auf, dan tidak kurang dari seratus orang yang mengambilnya, termasuk Utsman bin Affan.
Pada kesempatan yang lain ia mengalami hal yang sama, dan ia memberikan bagian wasiatnya itu kepada para Ummahatul Mukminin, istri-istri Rasulullah SAW yang saat itu telah menjadi janda. Ketika Aisyah menerima pemberiannya itu, dengan terharu ia berdoa, “Semoga Allah memberikan minuman kepadanya (yakni Abdurrahman bin Auf) dari mata air salsabil di Surga!!”
Walaupun ia banyak sekali membelanjakan hartanya untuk berjihad di jalan Allah, bukan berarti ia berpangku tangan begitu saja, ia juga langsung terjun ke medan pertempuran demi menegakkan panji-panji keislaman. Ketika berkecamuknya Badar, ia melihat dua pemuda Anshar menerjang ke depan, dan ia sangat mengkhawatirkan keselamatan mereka. Tetapi belum sempat memperingatkan, salah satunya berkata, “Wahai paman, tunjukkanlah kepadaku, mana yang namanya Abu Jahal??”
Abdurrahman bin Auf menatapnya dengan keheranan. Ia sangat mengenal kemampuan dan pengalaman Abu Jahal dalam bertempur, karena itu ia berkata, “Apa yang akan engkau lakukan kepadanya, wahai anak muda??”
Ia berkata, “Kudengar ia suka mencaci Rasulullah SAW, jika bertemu dengannya, demi Dzat yang diriku ada di genggaman-Nya, aku tidak akan membiarkannya lolos hingga di antara kami ada yang mati??”
Ibnu Auf memandangnya dengan kagum bercampur khawatir, tetapi pemuda itu tampak sangat memaksa, begitu juga ketika ia mengerling pada pemuda satunya. Akhirnya ia menunjukkan keberadaan Abu Jahal, dan keduanya merangsek maju menyerang dan akhirnya mereka berhasil membunuhnya.
Berbagai medan jihad diterjuninya, baik dengan hartanya atau sekaligus dengan nyawanya. Pada perang Uhud Abdurrahman mengalami luka-luka sebanyak 21 tusukan, bahkan kakinya menjadi pincang akibat luka-luka yang dideritanya dan beberapa giginya juga rontok sehingga suaranya menjadi cedal. 
Abdurrahman bin Auf meninggal pada tahun 32 H dalam usia 72 atau 73 tahun. Ketika ia sakit keras menjelang ajalnya, Ummul Mukminin Aisyah RA mendatanginya dan menawarkan agar jenazahnya nanti dimakamkan di halaman rumahnya, sehingga berdekatan dengan makam Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar yang ada di dalam rumahnya. Tetapi ia memang seorang yang rendah hati, ia merasa malu diberikan penghargaan yang setinggi itu, ia memilih untuk dimakamkan di Baqi, di dekat makam sahabatnya yang telah mendahuluinya, Utsman bin Madz'um RA.
Pada detik-detik terakhir nyawanya akan dicabut, ia sempat menangis dan berkata, "Aku khawatir dipisahkan dari sahabat-sahabatku karena kekayaanku yang melimpah ini…"