Kamis, 27 Desember 2012

Anas bin Malik RA, Sahabat yang Banyak Meriwayatkan Hadits Nabi SAW

            Anas bin Malik RA, siapapun yang sedang membaca atau mempelajari kitab-kitab Hadist Nabi SAW, pastilah akan menemukan nama sahabat yang satu ini, karena ia termasuk sahabat yang banyak meriwayatkan hadits-hadits beliau. Tidak heran, karena sejak awal Nabi SAW menginjakkan kakinya di Madinah, ibunya, Ummu Sulaim (Rumaisha binti Milhan) menyerahkan anaknya yang masih berusia 10 tahun tersebut (riwayat lainnya, usianya belum sampai 10 tahun) untuk menjadi pelayan Nabi SAW, dan beliau menerimanya dengan gembira. Dan Anas bin Malik terus menjadi pelayan Nabi SAW hingga beliau berpulang ke Rahmatullah.
Sebelum kehadiran Islam di Madinah, keluarga Anas bin Malik diliputi kebahagiaan, kedua orang tuanya, Rumaisha binti Milhan dan Malik bin Nadhar termasuk pasangan yang ideal walaupun mereka masih saudara sepupu, hidupnya rukun tanpa diwarnai pertengkaran. Tetapi ketika cahaya Islam mulai menyinari Madinah, saat itu Nabi SAW belum berhijrah dan Agama Islam didakwahkan oleh utusan beliau, Mush'ab bin Umair dengan didampingi salah satu tokoh Madinah, As'ad bin Zurarah, rumah tangga orang tuanya mulai goncang. Ibunya, yang lebih dikenal  dengan nama Ummu Sulaim ternyata mengikuti dakwah dua orang tersebut dan memeluk Islam tanpa diketahui oleh suaminya.
Ketika Malik bin Nadhar mengetahui keislaman istrinya, ia sangat marah, tetapi keyakinan Ummu Sulaim sudah sangat menguat. Suaminya berkata, "Apakah engkau sudah murtad?"   
"Aku tidak murtad, tetapi justru aku telah beriman…!!" Kata Ummu Sulaim.
Saat itu Ummu Sulaim sedang bersama putra kesayangannya, Anas, yang segera saja ia merengkuhnya dan berkata, "Wahai Anas, ucapkanlah : Asyhadu an laa ilaaha illallaah…!!" 
Anas mengikuti perintah ibunya mengucap syahadat tersebut dengan lancar. Ayahnya berkata, "Janganlah engkau merusak keyakinan anakku!!"
"Aku tidak merusaknya," Kata Ummu Sulaim, "Bahkan aku telah mengajar dan mendidik dirinya dengan kebenaran…!"
Kemudian Ummu Sulaim berpaling lagi kepada putranya dan berkata, "Ucapkanlah : Asyhadu anna muhammadar rasulullah…!!"
Sekali lagi Anas mengikuti perintah ibunya dan mengulang ucapan tersebut dengan lancar. Ayahnya makin marah melihat sikap ibunya tersebut, dan ia mengancam akan meninggalkannya. Tetapi keyakinan Ummu Sulaim seakan tidak bergeming, bahkan ia terus mengajari Anas untuk mengucapkan dua kalimat syahadat tersebut berulang-ulang. Kemarahan Malik bin Nadhar makin memuncak dan akhirnya meninggalkan rumah, meninggalkan istri dan anak-anaknya. Sebagian riwayat menyebutkan ia pergi ke Syam dan meninggal di sana, dan riwayat lain menyatakan, ketika keluar tersebut ia bertemu dengan musuh lamanya dan terbunuh dalam suatu perkelahian. 
Tentu ada kesedihan pada diri Ummu Sulaim dan anak-anaknya, terutama pada diri Anas yang masih kecil, kehilangan ayah yang menjadi pilar keluarganya, dan juga kebahagiaan keluarganya yang dahulu dinikmatinya. Apalagi kemudian mereka mendapat kabar kalau ayahnya telah meninggal. Tetapi sesungguhnya tidak ada kenikmatan yang lebih baik dan lebih utama daripada kenikmatan merasakan manisnya keimanan, mungkin itu yang dirasakan Ummu Sulaim, dan itu membuatnya tetap tegar menjalani kehidupan. 
Ketika Nabi SAW telah hijrah dan tinggal di Madinah, Ummu Sulaim menemui beliau dan menawarkan anak kesayangannya, Anas bin Malik menjadi pelayan beliau, dan beliau menerimanya dengan senang hati. Beliau juga berdoa untuk Anas atas permintaan ibunya, "Ya Allah, perbanyaklah hartanya dan juga anak-anaknya, serta berkahilah ia di dalamnya…!!"
Doa Nabi SAW ini dikabulkan Allah, Anas berumur panjang dan hartanya melimpah ruah, tetapi ia tetap hidup dalam kezuhudan sesuai dengan contoh dari Rasulullah SAW. Beberapa orang anak dan cucunya telah meninggal sementara ia tetap dalam keadaan sehat dan selalu dalam kesalehannya.
Anas bin Malik memang bukan satu-satunya pelayan Nabi SAW, ada beberapa sahabat lainnya yang membaktikan hidupnya untuk melayani Rasulullah SAW seperti Bilal bin Rabah, Rabi'ah bin Ka'b, dan lain-lainnya. Tetapi ia memiliki kebiasaan unik, ia selalu bergegas menampung dan mengambil air bekas mandi Rasulullah SAW, lalu air tersebut digunakannya sendiri untuk mandi. Ia juga selalu mengumpulkan rambut-rambut Rasulullah yang terjatuh/ rontok, sebagaimana beberapa sahabat lainnya melakukannya, termasuk Khalid bin Walid, kemudian berpesan kepada orang-orang di sekitarnya agar rambut-rambut beliau tersebut disertakan/dimasukkan ke dalam kafannya kalau ia telah meninggal dan akan dikuburkan, termasuk surban Rasulullah SAW.
Sepanjang masa kanak-kanak hingga remajanya ia tinggal bersama Rasulullah SAW,  hal ini membuat dirinya bisa mengingat dan merekam banyak hal tentang beliau. Apalagi Nabi SAW memperlakukan dirinya seperti putra beliau sendiri. Dalam konteks sekarang ini, sejak SD hingga lulus SMA, Anas bin Malik hanya menerima satu pelajaran dari satu guru saja, yakni pelajaran keislaman dengan berbagai seginya, dari guru yang pertama dan utama, yakni Rasulullah SAW. Tidak ada hal lain yang harus dikerjakannya dan menyibukkannya, kecuali melayani beliau sehingga tak heran, setelah Nabi SAW wafat, ia menjadi rujukan pertanyaan para sahabat tentang kehidupan beliau sehari-harinya, baik dalam hal akhlak maupun ibadah. Padahal usianya masih sangat muda.
Abu Hurairah pernah berkata, "Aku tidak melihat seseorang yang shalatnya lebih mirip dengan shalatnya Rasulullah SAW kecuali shalatnya putra Ummu Sulaim (yakni, Anas bin Malik)…"
Anas bin Malik juga terjun dalam berbagai medan jihad bersama Rasulullah SAW, tentunya tanpa meninggalkan tugas utamanya sebagai pelayan beliau. Setelah wafatnya Nabi SAW, barulah ia bisa terjun dengan maksimal di medan jihad, di samping ia memang sudah cukup dewasa. Di masa Umar bin Khatthab, ketika ia mengikuti pasukan yang mengepung benteng Tustar, seolah-olah  ia berada di ujung tanduk, sudah dekat sekali dengan pintu kematiannya. Tetapi karena Rasulullah SAW telah mendoakannya untuk berusia panjang, maka ada saja jalan yang menyelamatkannya.
Pasukan Persia yang mempertahankan kota Tustar menggunakan besi panas berkait untuk menyerang pasukan muslim yang mengepungnya. Tentara muslim yang terkena kaitan akan diangkat ke atas benteng dan dibunuh. Saat itu Anas bin Malik terkena kaitan besi panas tersebut dan mulai ditarik ke atas. Melihat keadaan tersebut, saudara Anas, Barra' bin Malik, yang memang bertubuh kecil tetapi mempunyai semangat dan kekuatan jihad yang luar biasa, meminta beberapa orang untuk melemparkannya ke arah kaitan besi panas yang membawa saudaranya tersebut. Gambarannya mungkin seperti aksi cheerleader yang melemparkan salah satu temannya pada struktur teratas. Barra' berhasil merengkuh kaitan besi, walau tangannya melepuh tidak diperdulikannya lagi. Ia berhasil melepaskan Anas dari kaitan tersebut dan menjatuhkan diri di kumpulan pasukan muslim, dan mereka berdua selamat.
Dengan usianya yang panjang, Anas menjadi salah satu ‘sumber’ pengetahuan keislaman bagi ulama-ulama tabi’in. Khalifah demi khalifah berganti, berbagai konflik dan gejolak tidak lepas dari sejarah perkembangan Islam yang wilayahnya makin meluas, tetapi Anas bin Malik tetap menjadi salah satu sumber rujukan utama ketika mereka ingin mengetahui berbagai hal tentang Rasulullah SAW.  
Anas bin Malik pernah didatangi seorang lelaki yang memberitahukan kalau daerahnya dilanda kekeringan  dan tanahnya sangat gersang. Ia mendatangi daerah tersebut, kemudian berwudhu dan shalat dua rakaat di suatu tanah lapang yang tandus, kemudian memanjatkan doa. Atas ijin Allah, beberapa saat kemudian awan datang berarak dan turun hujan di tempat itu. Padahal saat itu adalah musim panas.
Hal yang paling berkesan baginya tentang Nabi SAW, diungkapkan dalam perkataannya, "Selama sepuluh tahun saya berkhidmad kepada Rasulullah SAW, saya tidak pernah melihat beliau memukul seorang pelayan ataupun seorang wanita. Beliau juga tidak pernah menegur (atau mempertanyakan) : Apa yang engkau lakukan? Mengapa engkau lakukan? Mengapa engkau tidak lakukan ini? Mengapa engkau tidak tinggalkan itu?"
            Anas bin Malik meninggal dalam usia sekitar 100 tahun, yakni pada tahun 90-an hijriah, pada masa kekhalifahan Walid bin Abdul Malik dari Bani Umayyah. Karena kewafatannya ini, para ulama pada masa itu berkata, "Telah hilang dari kita separuh dari ilmu…!!"

Abu Hurairah RA, Sahabat yang Banyak Meriwayatkan Hadits Nabi SAW

            Abu Hurairah, atau nama aslinya Abdu Syamsi bin Sakher hanyalah seorang buruh upahan penggembala kambing dari keluarga Busrah bin Ghazwan, salah satu pemuka dari kabilah Bani Daus di Yaman. Tetapi sepertinya Allah menghendaki akan meningkatkan derajadnya setinggi mungkin, dengan jalan membawanya kepada hidayah Islam.     
            Ketika salah satu pemuka Bani Daus, yakni Thufail bin Amr ad Dausi melaksanakan ibadah haji ke Makkah (tentunya sebagai ritual ibadah jahiliah) pada tahun ke sebelas dari kenabian, ia bertemu dengan Rasulullah SAW. Sebenarnya kaum kafir Quraisy telah ‘menasehati’ dirinya agar tidak bertemu Nabi SAW, tidak hanya sekali tetapi berkali-kali ia diingatkan. Tetapi justru karena intensitas peringatan itu yang membuatnya penasaran dan tergelitik untuk menemui Nabi SAW, dan akhirnya memeluk Islam. Sepulangnya ke Yaman, ia mendakwahkan Islam kepada kaumnya. Pada mulanya hanya sedikit saja orang yang menanggapi seruannya, yang salah satunya adalah Abu Hurairah tersebut.
            Pada awal tahun 7 hijriah, Nabi SAW berencana menggerakkan pasukan untuk menyerang kaum Yahudi di Khaibar. Kabar ini sampai juga ke Yaman, maka Thufail bin Amr mengajak kaum muslimin dari kabilahnya, Bani Daus untuk berhijrah ke Madinah dan menyertai Nabi SAW dalam medan jihad tersebut. Walau dalam keadaan miskin dan tidak memiliki harta yang mencukupi, Abu Hurairah turut juga menyambut seruannya, dan bergabung dalam rombongan hijrah ini.
            Setibanya di Madinah, ternyata Nabi SAW dan sebagian besar sahabat baru saja berangkat ke Khaibar. Rombongan Bani Daus tersebut langsung menyusul ke Khaibar untuk bergabung dengan pasukan Nabi SAW, tetapi Abu Hurairah tertinggal di Madinah karena tidak memiliki  kendaraan dan perbekalan. Usai shalat subuh keesokan harinya, Abu Hurairah bertemu shahabat yang ditunjuk menjadi wakil Nabi SAW di Madinah, yakni Siba' bin Urfuthah al Ghifary (atau sebagian riwayat menyebutkan Numailah bin Abdullah al Laitsy), ia memberi Abu Hurairah kendaraan dan perbekalan untuk bisa menyusul ke Khaibar. Ia berhasil menjumpai Nabi SAW, dan beliau menyuruhnya langsung bergabung dengan pasukan yang telah siap bertempur.
            Dalam pertemuan pertama itu, Nabi SAW bersabda kepadanya, “Siapakah namamu?”
            Abu Hurairah berkata, “Abdu Syamsi!!”
            Abdu Syamsi artinya adalah hamba atau budaknya matahari. Tampaknya Rasulullah SAW kurang berkenan dengan namanya itu, maka beliau bersabda, “Bukankah engkau Abdur Rahman!!”
            Maksud Nabi SAW adalah ia dan manusia semua itu adalah hamba Allah Ar-Rahman, maka dengan gembira Abu Hurairah berkata, “Benar, ya Rasulullah, saya adalah Abdurrahman!!”
            Sejak itu namanya berganti dari Abdu Syamsi bin Sakher menjadi Abdurrahman bin Sakher, sesuai dengan pemberian Nabi SAW. Sedangkan nama gelaran Abu Hurairah yang berarti ‘bapaknya kucing (betina)’, berawal ketika ia menemukan seekor anak kucing yang terlantar, maka ia mengambil dan merawatnya. Setelah itu ia selalu membawa anak kucing itu dalam lengan jubahnya kemanapun ia pergi, sehingga orang-orang memanggilnya dengan Abu Hurairah. Ketika Nabi SAW mendengar kisah tentang nama gelarannya itu, beliau terkadang memanggilnya dengan nama ‘Abul Hirr”, yang artinya adalah : bapaknya kucing (jantan).
            Sepulangnya dari Khaibar, sebagaimana sahabat pendatang (Muhajirin) miskin lainnya, Nabi SAW menempatkan Abu Hurairah di serambi masjid yang dikenal sebagai Ahlus Shuffah, yang berarti menjadi tetangga Nabi SAW. Mereka tidak makan kecuali apa yang diberikan Nabi SAW, sehingga mereka sering mengalami hal-hal yang bersifat mu'jizat dalam hal ini. Misalnya Nabi SAW mendapat hadiah segantang susu, beliau akan menyuruh Abu Hurairah memanggil seluruh penghuni Ahlus Shuffah yang berjumlah sekitar 70 orang (sebagian riwayat, 40 orang) untuk menikmati susu  tersebut, dan mencukupi. Kadang hanya sepanci masakan daging, atau setangkup kurma, atau sedikit makanan lainnya, tetapi mencukupi untuk mengenyangkan keluarga Nabi SAW dan para penghuni Ahlus Shuffah.
            Sebagai buruh gembala kambing, Abu Hurairah juga seorang yang buta huruf (ummi). Tetapi kalau Allah SWT memang telah berkehendak akan memberikan kemuliaan kepada seseorang, mudah sekali ‘jalannya’ walau mungkin ia memiliki banyak kekurangan, bahkan derajad yang rendah  dalam pandangan manusia. Seperti halnya terjadi pada Bilal bin Rabah, ternyata Allah SWT mengaruniakan kelebihan lain pada Abu Hurairah, yakni otak yang sangat jenius sehingga mempunyai kemampuan menghafal yang tidak ada bandingannya. Dengan karunia Allah ini, akhirnya ia menjadi seseorang yang paling banyak meriwayatkan hadits Nabi SAW.
            Kemampuan Abu Hurairah tersebut ternyata didukung dengan berkah yang diperolehnya dari Nabi SAW. Suatu ketika Nabi SAW pernah bersabda pada beberapa sahabat, "Siapa yang membentangkan surbannya di depanku hingga selesai pembicaraanku, kemudian meraihnya atau menangkupkan ke dirinya, maka ia takkan terlupa akan sesuatu apapun yang didengarnya dari diriku…"
            Abu Hurairah bereaksi cepat mendahului para sahabat lainnya membentangkan surbannya di depan Nabi SAW.  Setelah beliau selesai berbicara, ia segera menangkupkan surbannya tersebut ke dirinya.
            Dalam peristiwa lainnya, Abu Hurairah bersama dua orang sahabat lainnya tengah berdzikir dan berdoa. Tiba-tiba Nabi SAW datang sehingga mereka menghentikan aktivitasnya untuk menghormati, tetapi beliau bersabda, “Lanjutkanlah doa kalian!!”
            Maka salah seorang sahabat melanjutkan berdoa, dan setelah ia selesai berdoa, Nabi SAW mengaminkannya. Sahabat satunya ganti berdoa, dan setelah selesai Nabi SAW mengaminkan doanya. Giliran Abu Hurairah, ia berdoa, “Wahai Allah, aku memohon kepadamu, apa yang dimohonkan oleh dua sahabatku ini, dan aku juga bermohon kepada-Mu karuniakanlah kepadaku ilmu yang tidak akan dapat aku lupakan!!”
            Nabi SAW tersenyum mendengar doa Abu Hurairah itu dan mengaminkannya pula.
            Setelah kejadian itu, ia tidak pernah terlupa apapun yang pernah disabdakan oleh Nabi SAW. Ia pernah berkata tentang kemampuannya itu, walau bukan bermaksud menyombongkan dirinya,  "Tidak ada sahabat Nabi SAW yang lebih hafal daripada aku akan hadits-hadits beliau, kecuali Abdullah bin Amr bin Ash, karena ia mendengar dan menuliskannya, sedangkan aku mendengar dan menghafalkannya."
            Sebenarnyalah cukup banyak sahabat yang mempertanyakan bagaimana mungkin ia tahu begitu banyak hadits-hadits Nabi SAW padahal ia tidak termasuk sahabat yang memeluk Islam dan bergaul langsung dengan beliau sejak awal. Tetapi sebenarnya mudah dipahami dengan melihat kondisi  yang ada. Walaupun hanya sekitar empat tahun hidup bersama Nabi SAW, tetapi ia hampir selalu bersama-sama beliau, kecuali ketika beliau sedang bersama istri-istri beliau. Ia tidak memiliki perniagaan untuk dijalankannya sebagaimana kebanyakan kaum Muhajirin. Ia juga tidak memiliki tanah pertanian dan perkebunan yang menyibukkannya seperti kebanyakan kaum Anshar. Di waktu-waktu senggangnya, kadang Nabi SAW menceritakan berbagai hal dan peristiwa sebelum keislamannya, atau terkadang Abu Hurairah yang menanyakannya kepada beliau. Jadi, pantaslah ia lebih banyak mengetahuinya daripada kebanyakan sahabat lainnya.
            Pada masa khalifah Muawiyah, sang khalifah pernah mengetes kemampuan hafalannya, walau tanpa sepengetahuannya. Abu Hurairah dipanggil menghadap Muawiyah, kemudian diperintahkan menyebutkan semua hadits yang ia dengar dari Nabi SAW. Diam-diam Muawiyah menyiapkan beberapa penulis di tempat tersembunyi untuk mencatat semua hadits yang disampaikan Abu Hurairah itu secara berurutan. Setahun kemudian, Abu Hurairah dihadapkan kembali kepada Muawiyah dan disuruh menyebutkan hadits-hadits tersebut, dan diam-diam juga, Muawiyah memerintahkan para pencatat itu untuk mengecek kebenarannya.
            Setelah Abu Hurairah berlalu, para penulis hadits tersebut mengatakan pada Muawiyah bahwa yang disampaikannya tersebut seratus persen persis sama dengan setahun sebelumnya, termasuk urut-urutannya, bahkan tidak ada satu hurufpun yang terlewat atau berbeda. Muawiyah hanya geleng-geleng kepala seolah tidak percaya, tetapi ini memang nyata.
            Lebih dari seribu enamratus hadits yang diriwayatkan dari jalan sahabat Abu Hurairah. Tidak akan mencukupi jika semua kisah yang menyangkut dirinya dalam riwayat-riwayat tersebut dijabarkan dalam halaman ini. 
            Sepeninggal Nabi SAW, Abu Hurairah selalu mengisi sisa waktu hidupnya dengan ibadah dan berjihad di jalan Allah. Ia mempunyai kantung yang berisi biji-biji kurma untuk menghitung dzikirnya, ia mengeluarkannya satu persatu dari kantung, setelah habis ia memasukkannya lagi satu persatu. Secara istiqamah, ia mengisi malam hari di rumahnya dengan beribadah secara bergantian dengan istri dan anaknya (atau pelayannya pada riwayat lainnya), masing-masing sepertiga malam. Kadang ia pada sepertiga malam pertama, atau sepertiga pertengahan dan terkadang pada sepertiga malam akhirnya yang merupakan saat mustajabah. Sehingga malam hari di keluarganya selalu terisi penuh dengan ibadah.
            Pada masa khalifah Umar, ia sempat diangkat menjadi amir di Bahrain. Seperti kebanyakan sahabat pilihan Nabi SAW lainnya, ia menggunakan gaji atau tunjangan yang diterima dari jabatannya untuk menyantuni dan membantu orang yang membutuhkan. Untuk menunjang kehidupannya, ia mempunyai kuda yang diternakkannya, dan dan ternyata berkembang sangat cepat sehingga ia menjadi lumayan kaya dibanding umumnya sahabat lainnya.  Apalagi banyak juga orang-orang yang belajar hadits dari dirinya, dan seringkali mereka memberikan hadiah sebagai  bentuk terima kasih dan penghargaan kepadanya.
            Ketika Umar mengetahui Abu Hurairah memiliki kekayaan yang melebihi penghasilannya, ia memanggilnya menghadap ke Madinah untuk mempertanggung-jawabkan hartanya tersebut. Begitu tiba di Madinah dan menghadap, Umar langsung menyemprotnya dengan pedas, "Hai musuh Allah dan musuh kitab-Nya, apa engkau telah mencuri harta Allah?"
            Abu Hurairah yang sangat mengenal watak dan karakter Umar, dan juga mengetahui sabda Nabi SAW bahwa Umar adalah "kunci/gemboknya fitnah", dengan tenang berkata, "Aku bukan musuh Allah SWT, dan juga bukan musuh kitab-Nya, tetapi aku hanyalah orang yang memusuhi orang yang menjadi musuh keduanya, dan aku bukan orang yang mencuri harta Allah…!"
            "Darimana kauperoleh harta kekayaanmu tersebut?"
            Abu Hurairah menjelaskan asal muasal hartanya, yang tentu saja dari jalan halal. Tetapi Umar berkata lagi, "Kembalikan harta itu ke baitul mal..!!"
            Abu Hurairah adalah didikan Nabi SAW yang bersikap zuhud dan tidak cinta duniawiah. Walau bisa saja ia berargumentasi untuk mempertahankan harta miliknya, tetapi ia tidak melakukannya. Karena itu tanpa banyak pertanyaan dan protes, ia menyerahkan hartanya tersebut kepada Umar, setelah itu ia mengangkat tangannya dan berdoa, "Ya Allah, ampunilah Amirul Mukminin Umar…!!"
            Beberapa waktu kemudian, Umar ingin mengangkatnya menjadi amir di suatu daerah lain. Dengan meminta maaf, Abu Hurairah menolak penawaran tersebut. Ketika Umar menanyakan alasannya, Abu Hurairah menjawab, "Agar kehormatanku tidak sampai tercela, hartaku tidak dirampas, dan punggungku tidak dipukul…"
            Beberapa saat berhenti, ia meneruskan lagi seakan ingin memberi nasehat kepada Umar, "Dan aku takut menghukum tanpa ilmu, dan bicara tanpa belas kasih…"
            Umar pun tak berkutik dan tidak bisa memaksa lagi seperti biasanya.
            Pada masa kekhalifahan selanjutnya, Abu Hurairah selalu mendapat penghargaan yang tinggi berkat kedekatannya bersama Nabi SAW dan periwayatan hadits-hadits beliau, sehingga secara materi sebenarnya ia tidak pernah kekurangan, sebagaimana masa kecilnya atau masa-masa bersama Rasulullah SAW. Tetapi dalam kelimpahan harta dan ketenaran ini, Abu Hurairah tetap bersikap zuhud dan sederhana dalam kehidupannya, sebagaimana dicontohkan Nabi SAW.
            Pernah suatu kali di masa khalifah Muawiyah, ia mendapat kiriman uang seribu dinar dari Marwan bin Hakam, tetapi keesokan harinya utusan Marwan datang menyatakan kalau kiriman itu salah alamat. Dengan tercengang ia berkata, “Uang itu telah habis kubelanjakan di jalan Allah, satu dinar-pun tidak ada yang bermalam di rumahku. Bila hakku dari baitul mal keluar, ambillah sebagai gantinya!!”
            Abu Hurairah wafat pada tahun 59 hijriah dalam usia 78 tahun, pada masa khalifah Muawiyah. Ia memang pernah berdoa, “Ya Allah, saya berlindung kepada-Mu dari tahun enampuluhan, dan dari masa kepemimpinan anak-anak!!”
            Pada tahun enampuluhan hijriah itu memang masa kekhalifahan Yazid bin Muawiyah, yang bersikap seperti anak-anak, yakni semaunya sendiri. Dan terjadi berbagai peristiwa yang bisa dikatakan sebagai ‘masa kelam’ dalam sejarah Islam, seperti Peristiwa Karbala, Peristiwa al Harrah, dan Penyerbuan Masjidil Haram.
            Ketika ia sakit menjelang kewafatannya, tampak ia amat sedih dan menangis, sehingga orang-orang menanyakan sebab kesedihannya tersebut. Abu Hurairah berkata, “Aku menangis bukan karena sedih akan berpisah dengan dunia ini. Aku menangis karena perjalananku masih jauh, perbekalanku sedikit, dan aku berada di persimpangan jalan menuju ke neraka atau surga, dan aku tidak tahu di jalan mana aku berada??”
            Ketika banyak sahabat yang menjenguknya dan mendoakan kesembuhan baginya, segera saja Abu Hurairah berkata, “Ya Allah, sesungguhnya aku telah rindu bertemu dengan-Mu, semoga demikian juga dengan Engkau….!!”
            Tidak lama kemudian nyawanya terbang kembali ke hadirat Ilahi, dan jasadnya dimakamkan di Baqi, di antara sahabat-sahabat Rasulullah SAW lain yang telah mendahuluinya.

Sabtu, 08 Desember 2012

Haritsah bin Suraqah RA, Sahabat yang Syahid di Perang Badar

Haritsah bin Suraqah adalah seorang pemuda dari kalangan sahabat Anshar. Suatu pagi ia bertemu dengan Rasulullah SAW dan beliau bersabda, "Wahai Haritsah, bagaimana keadaanmu pagi ini?"
"Pagi hari ini saya benar-benar menjadi seorang mukmin, Ya Rasulullah!" Kata Haritsah.
"Perhatikanlah perkataanmu, wahai Haritsah," Kata Nabi SAW, "Setiap kata yang engkau ucapkan itu harus  ada bukti sebenarnya…!!"
Maka Haritsah berkata menjelaskan, "Wahai Rasulullah, jiwaku jemu dengan dunia, sehingga saya bangun di malam hari (untuk ibadah) dan puasa di siang harinya. Sekarang ini saya seolah-olah berhadapan dengan Arsy Allah, dan saya melihat ahli surga saling kunjung-mengunjungi satu sama lainnya, dan juga ahli neraka sedang menjerit-jerit di dalamnya…!!"
Nabi SAW tersenyum mendengar perkataan Haritsah, seolah gembira dengan "pencapaian" rohaniah pemuda Anshar tersebut. Beliau bersabda, "Engkau telah melihat, maka tetapkanlah (istiqomahlah)!!"
Haritsah berkata lagi, "Ya Rasulullah, doakanlah saya agar bisa memperoleh syahid!!"
Nabi SAW-pun mendoakan Haritsah seperti permintaannya, dan tentu saja doa beliau pasti akan terkabul.
Tibalah saatnya perang Badar, dan Haritsah tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Sebenarnya Rasulullah SAW ‘tidak mewajibkan’ kaum muslimin, khususnya kaum Anshar untuk bergabung dalam pasukan itu karena tujuan utamanya hanya untuk menghadang kafilah dagang Makkah, tetapi kaum Anshar yang mengikuti justru lebih banyak, termasuk Haritsah. Bagi kaum Muhajirin, mereka hanya ‘mengambil ganti’ harta kekayaan mereka yang ditinggalkan di Makkah dan dirampas secara sepihak oleh kaum kafir Quraisy. Tetapi ternyata Abu Sufyan bin Harb beserta kafilah dagangnya berhasil lolos, dan pasukan kaum muslimin harus berhadapan dengan pasukan perang kaum kafir Makkah yang dipimpin Abu Jahal.
Walau menyadari persiapan yang kurang dan kekuatan yang jauh lebih kecil, kaum Muhajirin dan Anshar tidak jadi melemah semangatnya, termasuk Haritsah. Ia berjuang dengan perkasa menyerang kaum kafir Quraisy yang jauh lebih banyak jumlahnya. Akhirnya sebuah anak panah, yang tidak diketahui  siapa yang melepaskannya, mengenai tubuhnya dan ia tewas menemui syahid seperti yang didoakan Nabi SAW.
Ketika pasukan muslim kembali ke Madinah dengan membawa kemenangan, ibu Haritsah, Ummu Rubayyi' binti Bara', yang telah memperoleh berita kalau anaknya tewas dalam perang Badar tersebut, bergegas menemui Nabi SAW, dan berkata, "Wahai Rasulullah, maukah engkau memberitahukan tentang putraku, Haritsah! Jika ia di surga, aku tidak  akan menangis atau menyesal. Tetapi jika tidak seperti itu, aku akan menangis selama sisa hidupku di dunia ini!!"
Maka Nabi SAW berkata, seakan menenangkan sang ibu yang kehilangan putranya tersebut, "Wahai Ummi Haritsah, bukan hanya satu surga, tetapi surga di dalam surga-surga. Dan kini Haritsah telah mencapai firdaus yang tertinggi…!!"
Mendengar penjelasan tersebut, Ummu Rubayyi' kembali ke rumah dengan gembira dan tertawa, sambil berkata, "Beruntung sekali engkau, Haritsah!! Beruntung sekali engkau, Haritsah!!"
Sungguh jauh sekali dari gambaran seorang ibu yang anaknya baru saja tewas dalam pertempuran. Hanya keimanan yang kokoh tertanam di dalam dada yang bisa membuat Ummu Rubayyi' bersikap seperti itu.

Auf bin Harits al Afra RA, Sahabat yang Syahid di Perang Badar

Auf bin Harits bin Rifaah adalah seorang pemuda dari kalangan Anshar dan saudara kandung dari Muawwidz bin Harits al Afra, salah satu dari dua pemuda Anshar yang membunuh Abu Jahal di Perang Badar. Nama al Afra dinisbahkan kepada ibunya, karena itu Auf bin Harits terkadang dikenali dengan nama Auf bin Harits al Afra, atau Auf bin Afra saja.
Auf bin Harits merupakan orang Yatsrib (nama Madinah sebelum Islam) yang mula-mula memeluk Islam, bahkan bisa dikatakan sebagai ‘pioner’ dari tersebarnya Islam di kotanya itu. Saat itu tahun ke sebelas dari kenabian, bersama lima orang temannya yang masih sama-sama muda, ia melaksanakan ibadah haji. Mereka berenam ini memang terkenal sebagai pemuda yang cerdas dan cukup berpengaruh di kabilahnya masing-masing. Suatu malam, usai melaksanakan seluruh ritual haji (tentunya dengan cara jahiliah), mereka duduk-duduk di Aqabah, Mina sambil mengobrol. Tiba-tiba muncul tiga orang, yang salah satunya berkata, “Siapakah kalian ini?”
Auf dan teman-temannya berkata, “Kami orang-orang Khazraj dari Yatsrib!!”
“Sekutu dari orang-orang Yahudi??” Tanya lelaki itu.
“Benar!!”
Lelaki itu berkata dengan sopannya, “Bolehkan kami duduk sebentar bersama kalian dan memperbincangkan sesuatu!!”
Penampilan tiga orang itu memang sangat menarik, terutama lelaki yang berbicara tersebut, wajahnya sangat cerah layaknya bulan purnama bersinar, pandangan mata dan ucapannya sangat menyejukkan hati. Tentu saja, karena lelaki tersebut tidak lain adalah Rasulullah SAW, dan dua orang yang menemani beliau adalah Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib. Karena itu mereka mempersilahkannya.
Nabi SAW kemudian menceritakan tentang risalah kenabian beliau dan seluk-beluk tentang keislaman. Usai beliau bercerita, ke enam orang tersebut saling berpandangan, kemudian salah satunya berkata, “Demi Allah, kalian semua mengetahui bahwa dia (yakni Rasulullah SAW) benar-benar seorang nabi, yang ciri-cirinya sering disebut-sebut oleh orang-orang Yahudi. Karena itu jangan sampai mereka mendahului kalian, dan marilah kita mengikuti seruannya memeluk Islam!!”
Memang, dalam pergaulannya dengan orang-orang Yahudi Yatsrib selama ini, telah santer terdengar berita kalau mereka tengah menunggu kehadiran seorang nabi yang muncul pada masa itu, dan menyebutkan ciri-cirinya. Bahkan orang-orang Yahudi itu, yang termasuk minoritas dan lemah dibanding penduduk asli Yatsrib, sering membangga-banggakan kalau telah mengikuti nabi tersebut, mereka akan menjadi kuat dan mampu memerangi Khazraj dan Aus dan menghancur-leburkannya, sebagaimana di masa lalu kaum Ad dan Iram dihancurleburkan dengan pertolongan Allah.
Auf dan ke lima temannya tampaknya memang sependapat tentang kebenaran kenabian Rasulullah SAW itu. Apalagi dengan penjelasan beliau tentang Risalah Islamiah, mereka berharapan besar akan bisa menyatukan dua suku, Khazraj dan Aus, yang telah terlibat perang saudara selama bertahun-tahun lamanya, dan melenyapkan permusuhan yang berlarut-larut rasanya.
Satu persatu mereka menjabat tangan Rasulullah SAW dan menyatakan diri memeluk Islam. Setelah keislamannya, Auf berkata, “Kami tidak akan membiarkan kaum kami (yakni Khazraj) dan kaum lainnya (yakni Aus) terus-menerus bermusuhan dan berbuat jahat. Semoga Allah akan menyatukan mereka dengan kehadiran engkau. Sepulangnya nanti, kami akan mengajak mereka untuk memeluk agama engkau, dan jika mereka bisa bersatu , maka sungguh tidak ada yang lebih mulia di mata kami kecuali engkau!!”
Nabi SAW sangat gembira dengan niat Auf dan kawan-kawannya untuk mendakwahkan Islam kepada orang-orang Yatsrib, dan beliau mendoakan mereka dengan kebaikan. Dan ternyata benar, seruan mereka memperoleh sambutan luar biasa dari kaumnya termasuk dari ‘musuhnya’, kaum Aus. Segera saja nama Nabi Muhammad SAW menjadi ‘buah bibir’ di masyarakat Yatsrib dan banyak sekali yang memeluk Islam.
Pada tahun haji berikutnya, yakni tahun ke duabelas dari kenabian, lima dari enam pemuda tersebut termasuk Auf bin Harits al Afra, berikut tujuh orang tokoh-tokoh dari berbagai kabilah termasuk dari suku Aus, bertemu dan menghadap Nabi SAW di Aqabah, Mina untuk meneguhkan keislaman mereka, mewakili sebagian besar dari kaumnya yang telah memeluk Islam. Peristiwa ini dalam tarikh Islam disebut sebagai Bai’atul Aqabah Pertama, dan menjadi salah satu tonggak perkembangan Islam.
Karena peristiwa itu, tidak heran kalau Auf bin Harits menjadi salah satu pemuda yang disayang dan diperhatikan khusus oleh Rasulullah SAW.
Pada awal perang Badar, tiga orang penunggang kuda yang handal dari kaum kafir Quraisy menantang duel. Mereka bertiga masih bersaudara, yakni Utbah bin Rabiah, Syaibah bin Rabiah dan Walid bin Utbah, saudara kandung dari Hindun binti Utbah. Mendapat tantangan duel ini, tiga orang pemuda Anshar langsung maju menyambutnya, yakni Auf bin Harits al Afra, Muawwidz bin Harits al Afra dan Abdullah bin Rawahah. Tetapi tiga tokoh Quraisy tersebut tampaknya tidak berkenan, salah satu dari mereka berkata, "Siapakah kalian ini?"
"Kami adalah orang-orang Anshar!!" Kata ketiga pemuda tersebut.
"Kami hanya menginginkan orang-orang yang terpandang (untuk menerima tantangan kami), kami tidak memerlukan kalian. Kami hanya menginginkan kerabat pamanku..!!"
Sebagian dari kaum kafir Quraisy juga ada yang berkata, "Hai Muhammad, keluarkanlah orang-orang yang terpandang yang berasal dari kalangan kami!!"
Para pemuda Anshar tersebut tampaknya marah dan tersinggung dengan sikap yang meremehkan itu, tetapi Nabi SAW memanggil mereka untuk kembali. Kemudian beliau memerintahkan Ubaidah bin Harits, Hamzah dan Ali bin Abi Thalib untuk menghadapi mereka, dan akhirnya berhasil mengalahkannya. Tetapi Ubaidah terluka parah dalam duel tersebut, yang menghantarnya memperoleh syahid dalam pangkuan Rasulullah SAW.
Auf bin Harits cukup kecewa karena gagal berduel dengan tokoh Quraisy. Karena itu, setelah peperangan mulai berlangsung, ia mendatangi Nabi SAW dan bertanya, "Wahai Rasulullah, apa yang bisa menyebabkan Rabb (Allah) tersenyum terhadap hamba-Nya??"
Nabi SAW tersenyum melihat semangatnya. Beliau memang seorang motivator yang hebat, yang memahami benar bagaimana perasaan pemuda Anshar ini akibat peristiwa yang dialami sebelumnya. Beliau bersabda, "Kalau Dia melihat hamba-Nya menerjunkan diri menyerang musuh tanpa memakai baju besi!!"
Mendengar sabda beliau ini, Auf segera melepaskan baju besi yang dipakainya, kemudian menghambur menyerang musuh dengan pedangnya. Benarlah yang dikatakan Rasulullah SAW, dengan tanpa memakai baju besi, ia jadi lebih leluasa bergerak dan lebih maksimal dalam "menumpahkan" semangatnya untuk membela panji-panji keislaman. Tetapi tak ayal, tubuhnya-pun menjadi serangan empuk dari berbagai macam senjata musuh dan akhirnya ia menemui syahidnya.
Bukanlah penyesalan, karena kesyahidan itulah yang sebenarnya banyak diinginkan oleh para sahabat Nabi SAW. Bahkan Khalid bin Walid sempat "menyesal" ia tidak bisa menemui syahidnya di medan pertempuran tetapi hanya ‘syahid’ di atas tempat tidurnya, karena ia selalu memenangkan berbagai pertempuran yang diterjuninya, berkat doa Nabi SAW, yang kemudian menggelarinya sebagai Syaifullah, Si Pedang Allah.
            Bagi Auf bin al Afra sendiri, kesyahidannya  seolah melengkapi kemuliaan keluarganya, karena saudaranya Muawwidz bin al Afra, setelah berhasil membunuh Abu Jahal juga menemui syahidnya di perang Badar tersebut. Sedangkan saudara kandungnya yang lain, Mu’adz bin Harits al Afra tetap dalam keadaan hidup walau mengalami banyak luka-luka. Tetapi sebagian riwayat menyebutkan, Mu’adz juga meninggal beberapa hari atau minggu setelah perang Badar tersebut.