Kamis, 28 November 2013

Abdullah bin Ziyad RA (Al Mujadzdzir), Sahabat yang Syahid di Perang Uhud

Abdullah bin Ziyad RA adalah seorang sahabat Anshar dari Bani Ghanm, suku Khazraj, dan salah seorang sahabat ahlul Badar. Ia lebih dikenal dengan nama al Mujadzdzir, sang Pembongkar Urat, karena terkenal sebagai tipe orang yang sangat kasar di masa jahiliah. Ketika terjadi perang Bu'ats, perang saudara antara suku Aus dan Khazraj di Madinah sebelum masa keislaman, ia membunuh Suwaid bin Shamit yang saat itu telah memeluk Islam. Tetapi kemudian ia menyertai tujuhpuluh lima orang Madinah yang berba'iat kepada Nabi SAW di Ba'iatul Aqabah ke dua untuk memeluk Islam.
Sebelum perang Badar mulai pecah, Nabi SAW berpesan untuk tidak membunuh Abbas bin Abdul Muthalib dan Abul Bakhtary bin Hisyam. Dua orang tokoh Quraisy ini tidak pernah memusuhi Nabi SAW ketika di Makkah, mereka juga membantu orang-orang muslim walaupun dengan diam-diam. Bahkan Abul Bakhtary salah satu orang yang berinisiatif dan berperan membatalkan piagam pemboikotan kaum Quraisy atas Bani Hasyim dan Bani Muthalib (yakni keluarga besar Nabi Muhammad SAW)
Dalam peperangan ini, Mujadzdzir bertemu dengan Abul Bakhtary, yang berperang bersisian dengan temannya, Junadah bin Malihah. Mujadzdzir berkata, "Wahai Abul Bakhtary, sesungguhnya Rasulullah SAW melarang kami membunuh engkau..!!"
"Bagaimana dengan temanku ini?" Tanya Abul Bakhtary.
"Tidak, demi Allah, kami tidak akan membiarkan temanmu..!!"
Karena tidak ada perintah lain dari Nabi SAW sehubungan dengan teman yang bersama Abul Bakhtary, jawaban itulah yang paling tepat disampaikan Mujadzdzir. Tetapi Abul Bakhtary berkata, "Demi Allah, kalau begitu aku akan mati bersama-sama temanku ini. Aku tidak ingin para wanita Quraisy mengatakan aku meninggalkan temanku karena ingin tetap hidup!!"
Setelah itu mereka berdua menyerang Mujadzdzir, dan tidak ada pilihan lain baginya kecuali melakukan perlawanan daripada harus mati konyol. Akhirnya mereka berdua tewas di tangan Mujadzdzir. Usai pertempuran, Mujadzdzir menghadap Nabi SAW sambil memohon maaf, ia berkata, “Wahai Rasulullah, demi Allah yang telah mengutus engkau dengan kebenaran, aku telah berusaha untuk hanya menawan Abul Bakhtary dan membawanya ke hadapan engkau. Tetapi ia tidak mau menyerah dan berkeras melakukan perlawanan sehingga dengan terpaksa saya membunuhnya!!”
Tampak penyesalan di wajah Nabi SAW, tetapi bagaimana lagi. Namanya pertempuran adalah membunuh atau terbunuh (kill or to be kill), dan tentunya bukan sepenuhnya kesalahan Mujadzdzir kalau ia tidak bisa memenuhi pesan Nabi SAW tersebut. 
            Dalam perang Uhud, Mujadzdzir menemui syahidnya di tangan Harits bin Suwaid, putra dari Suwaid bin Shamit yang telah dibunuhnya pada Perang Bu'ats. Sebenarnya mereka berdua berada di kubu yang sama, pasukan muslim, hanya saja Harits belum memeluk Islam. Harits berprasangka bahwa Mujadzdzir akan membunuhnya jika telah kembali ke Madinah, karena itu ia bertindak mendahuluinya dengan menikam Mujadzdzir hingga tewas, saat ia sedang berperang dengan kaum kafir Quraisy. Tetapi kemudian Harits menyesali tindakannya ini dan memeluk Islam. Ia juga gugur di Perang Uhud ini sebagai seorang muslim.

Anas bin Nadhar RA, Sahabat yang Syahid di Perang Uhud

            Anas bin Nadhar adalah saudara kandung Malik bin Nadhar, ayah dari Anas bin Malik, sahabat Nabi SAW yang banyak meriwayatkan hadits. Hanya saja tidak sepertinya kebanyakan orang Madinah, saudaranya itu memilih untuk tetap dalam agama jahiliahnya. Ia akhirnya tewas dalam kekafiran, walau tidak dalam permusuhan dengan Nabi SAW dan Islam. 
Perang Badar bisa dikatakan terjadi tanpa sengaja, karena pada awalnya pasukan berkekuatan 313 orang sahabat itu dimaksudkan untuk mencegat kafilah dagang Quraisy yang pulang dari Syam. Nabi SAW tidak mewajibkan atau menyeru jihad, karena itu beberapa sahabat tidak mengikutinya, termasuk Anas bin Nadhar. Tetapi begitu mereka mengetahui terjadi pertempuran seru dengan pasukan Quraisy lainnya di Badr, mereka yang tertinggal itu merasa menyesal, termasuk Anas bin Nadhar.
Ketika pasukan Muslim kembali dari Badr dengan kemenangan, Anas menyongsong Nabi SAW dan berkata, "Wahai Rasullullah, saya tidak ikut dalam permulaan perang melawan orang-orang musyrik. Sungguh, kalau (kehendak) Allah mengikutkan saya memerangi orang-orang musyrik, niscaya Allah mengetahui apa yang aku perbuat."
Dalam Perang Uhud, kelompok yang tertinggal dalam Perang Badr itulah yang mengusulkan agar menghadapi pasukan kafir Quraisy di luar Madinah, meskipun Nabi SAW menginginkan bertahan di dalam Kota Madinah. Tetapi mereka memang menunjukkan semangatnya yang membara untuk membela dan menegakkan panji ‘Laa ilaaha illallaah”. Ketika kaum muslimin berbalik mengalami kekalahan, Anas bin Nadhar melewati beberapa orang yang kehilangan semangat karena mendengar kabar Rasullullah SAW telah wafat terbunuh, mereka meletakkan senjatanya di tanah. Melihat hal itu, Anas berkata, "Wahai kalian ini, jika Nabi SAW telah wafat terbunuh, maka Allah Tuhannya Muhammad tidak akan pernah mati, lalu apa yang bisa kalian kerjakan dalam hidup ini jika beliau telah wafat? Berperanglah kalian demi sesuatu yang Nabi berperang untuknya, dan matilah kalian demi sesuatu yang beliau wafat karenanya…!!"
Sesaat kemudian ia berdoa, "Ya Allah, aku memohonkan ampun kepada-Mu atas apa yang mereka  katakan, dan aku berlepas diri dari apa yang diperbuat oleh orang-orang musyrik itu!"
Setelah itu ia meloncat untuk meneruskan jihadnya. Ia sempat bertemu Sa'd bin Mu'adz dan berkata, "Wahai Sa'd, sungguh aku mencium bau surga di balik Bukit Uhud ini."
            Anas bertempur dengan perkasa menerjang barisan musuh hingga menemui syahidnya. Setelah pertempuran selesai, tidak ada yang bisa mengenali jasad Anas, sampai akhirnya saudara perempuannya, Bisyamah yang tahu ciri-ciri khusus Anas yang bisa mengenalinya. Tak kurang dari delapan puluh tusukan tombak dan luka sayatan pedang yang ada di wajah dan tubuhnya, sehingga ia tidak mudah dikenali siapa dirinya.

Selasa, 29 Oktober 2013

Abdullah bin Amr bin Haram al Anshary RA, Sahabat yang Syahid di Perang Uhud

Abdullah bin Amr bin Haram atau dikenal dengan nama Abu Jabir, adalah sahabat Anshar yang juga pemuka dari bani Salimah, termasuk suku Khazraj. Ia adalah ayah dari sahabat yang banyak meriwayatkan hadits Nabi SAW, Jabir bin Abdullah. Ibnu Amr bin Haram ini termasuk sahabat Anshar yang mula-mula memeluk Islam, yakni ketika terjadinya Ba'iatul Aqabah kedua, yang dalam peristiwa tersebut, ia ditunjuk sebagai salah satu dari duabelas pemimpin kaum Anshar Madinah. Ia juga termasuk dari Ahlu Badar, sahabat yang mengikuti perang Badar dan mendapat pujian Allah dalam Al Qur'an dan jaminan masuk surga.
Ketika akan berangkat ke perang Uhud, seakan-akan telah mendapat firasat menemui syahid, ia berkata kepada anaknya, Jabir bin Abdullah, "Wahai anakku, sungguh tidak kulihat diriku kecuali aku akan menemui ajal dalam pertempuran ini. Aku tidak rela ada seseorang yang mencintai Rasulullah SAW, yang cintanya lebih besar daripada cintamu kepada beliau, anakku!! Selain itu, aku mempunyai hutang, maka lunasilah hutang-hutang tersebut. Dan aku wasiatkan agar engkau menjaga saudaramu sebaik-baiknya…..!!"
Dalam perang Uhud, Nabi SAW menempatkan limapuluh orang pemanah ulung di atas bukit, yang menjadi titik pertahanan pasukan muslimin dari serangan pasukan kaum kafir Quraisy. Abu Jabir termasuk dalam pasukan pemanah yang dipimpin oleh Abdullah bin Jubair ini. Nabi SAW berpesan agar mereka tetap tinggal di bukit itu, baik dalam keadaan menang atau kalah. Apapun keadaannya mereka harus tetap berahan di atas bukit itu, kecuali jika beliau sendiri yang memerintahkan mereka untuk turun.
Pertempuran berlangsung beberapa lama, dan pasukan Quraisy dapat dipukul mundur. Mereka berlari meninggalkan gelanggang sekaligus meninggalkan barang-barangnya terserak di medan pertempuran Uhud. Bagaimanapun nyawa lebih penting daripada barang-barang berharga yang dibawanya dalam pertempuran. Para pemanah di atas bukit tampaknya tergiur dengan barang-barang orang Quraisy, dan mereka turun bukit untuk mengambilnya. Abdullah bin Jubair berteriak mengingatkan pesan Nabi SAW, tetapi mereka mengabaikannya, tinggallah hanya sekitar sepuluh orang, termasuk Abu Jabir yang bertahan di atas bukit.
Sekelompok pasukan berkuda Quraisy di bawah pimpinan Khalid bin Walid, yang sebenarnya telah cukup jauh meninggalkan Uhud melihat keadaan itu. Ia menyadari, kekalahan pasukannya yang lebih besar dan lebih banyak jumlahnya tidak terlepas dari peran para pemanah di atas bukit tersebut. Dengan berkurangnya kekuatan pertahanan di bukit tersebut, Khalid bin Walid yakin bahwa ia bisa membalikkan keadaan. Maka ia memerintahkan pasukannya bergerak menaiki bukit tersebut.
Ibnu Jubair, Abu Jabir dan sekitar delapan kawannya menghujani mereka dengan panah untuk menghadang gerakannya, tetapi itu tidak banyak berarti karena panah yang mereka lontarkan tak ubahnya gerimis saja. Dalam sekejab mereka berhadapan dan terjadilah pertempuran tidak seimbang, mereka berjuang mati-matian menghambat laju Khalid dengan tombak dan pedangnya, tetapi akhirnya mereka semua tewas mengenaskan dengan luka-luka yang sangat parah, termasuk Abu Jabir.
Pasukan Khalid bin Walid turun dari bukit dan menyerang pasukan muslim sehingga mereka porak poranda. Melihat manuver Ibnu Walid tersebut, pasukan Quraisy lainnya segera kembali ke arena pertempuran dan menyerbu dengan gencarnya sehingga keadaan berbalik jadi kekalahan bagi pasukan muslimin, bahkan keadaan Rasulullah SAW sangat kritis, beliau terluka parah dan terjatuh ke dalam suatu lubang.
Usai perang Uhud, ketika Nabi SAW dan para sahabat memeriksa jenazah para syahid, mereka mendapati wajah Abu Jabir seperti disayat-sayat. Memang, dalam pertempuran Uhud ini kaum kafir Quraisy seakan melampiaskan dendam kekalahannya di perang Badar, salah satunya dengan cara merusak jenazah para syahid, seperti yang juga terjadi pada jenazah Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Nabi SAW.
Jabir bin Abdullah, saudara-saudaranya, dan beberapa kaum muslimin lainnya mendatangi Uhud setelah pasukan Quraisy meninggalkan arena pertempuran. Ia menangisi jasad ayahnya karena keadaannya yang sangat mengenaskan. Bahkan Fathimah, putri Nabi SAW sempat menjerit melihat keadaan wajah Abu Jabir. Melihat reaksi mereka ini, Nabi SAW bersabda, "Janganlah kalian menangis, sesungguhnya para malaikat terus menerus menaunginya dengan sayap-sayap mereka…!"
Beberapa hari berselang setelah perang Uhud tersebut, Jabir bin Abdullah mendatangi Nabi SAW dan mengatakan bahwa ayahnya yang telah syahid tersebut meninggalkan hutang, dan juga banyak tanggungan keluarga. Ia menyangka ayahnya akan terhalang memperoleh pahala karena tanggungan yang ditinggalkannya tersebut, sebagaimana pernah disabdakan beliau. Tetapi Nabi SAW dengan tersenyum bersabda kepadanya, "Maukah aku beritahukan kabar gembira tentang apa yang dijumpai ayahmu di sisi Allah."
"Tentu, ya Rasulullah, " Kata Jabir.
Kemudian Nabi SAW menceritakan bahwa Allah SWT menjadikan Abu Jabir hidup lagi dan mengajaknya berbicara langsung, padahal tidak ada seorangpun yang diajak berbicara oleh Allah melainkan dari balik tabir. Allah berfirman kepadanya, "Wahai hamba-Ku, apa yang engkau inginkan!!"
"Ya Allah," Kata Abu Jabir, "Kembalikanlah aku ke bumi agar aku dapat berjuang dan sekali lagi gugur syahid di jalan-Mu…!!"
Allah berfirman kepadanya, "Telah tetap ketentuan-Ku, bahwa siapapun yang telah mati, tidak akan dikembalikan lagi ke bumi…!!"
"Kalau memang demikian, Ya Allah, sampaikanlah keadaanku ini kepada orang-orang di belakangku," Kata Abu Jabir.
Maka turunlah Surah Ali Imran ayat 169-170 sebagai realisasi permintaan Abdullah bin Amr ini. Yakni Allah berfirman, “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
Sebagian riwayat lain menyebutkan, asbabun nuzul ayat tersebut adalah kesedihan sebagian besar sahabat karena syahidnya para sanak saudara mereka dalam Perang Uhud, dan tubuhnya dirusak oleh orang-orang kafir Quraisy. Seolah-olah Allah memberikan hiburan kepada para sahabat yang masih hidup, sekaligus memberi motivasi dan semangat untuk terus berjihad di jalan Allah.
Abu Jabir dimakamkan dalam satu lubang dengan sahabatnya yang juga syahid di Perang Uhud, yakni Amr bin Jamuh. Nabi SAW menyatakan bahwa dua orang itu bersahabat dan saling sayang menyayangi selagi hidup di dunia, sehingga sudah sepantasnya jika mereka tetap bersama dalam satu pemakaman.

Amr bin Jamuh RA, Sahabat yang Syahid di Perang Uhud

Amr bin Jamuh RA adalah pemuka dari Bani Salimah (Salamah), termasuk suku Khazraj. Ia terkenal sebagai orang yang sangat dermawan. Suatu ketika Nabi SAW pernah bertanya kepada penduduk Bani Salimah, “Siapakah pemimpin kalian?”
Mereka berkata, “Jaddu bin Qeis, hanya saja ia seorang yang sangat kikir!!”
Maka Nabi SAW bersabda, “Penyakit apa lagi yang lebih parah daripada kikir? Kalau begitu pemimpin kalian adalah Amr bin Jamuh!!”
Kisah keislamannya termasuk unik. Semua itu berasal dari keisengan dua pemuda Bani Salimah yang terlebih dahulu telah memeluk Islam, yang salah satunya adalah anaknya sendiri, yaitu Muadz bin Amr bin Jamuh dan Muadz bin Jabal, keduanya memeluk Islam dan berba'iat kepada Nabi SAW di Aqabah. Suatu malam, dua orang pemuda ini masuk ke rumah Amr dan mengambil berhala sesembahannya. Berhala yang biasa dipanggil "manat" itu dilemparkan ke lubang pembuangan kotoran dalam keadaan menungging, kepala menghunjam ke kotoran.
Keesokan harinya, Amr marah-marah karena kehilangan tuhannya, iapun mencarinya dan menemukannya di lubang kotoran. Setelah mengambil dan membersihkannya, Amr meletakkan kembali di tempatnya semula dan berkata kepada berhala itu, "Demi tuhan, jika aku tahu siapa yang melakukan kekejian ini kepadamu, aku pasti akan membalasnya."
Pada malam harinya, kedua pemuda ini mengulang perbuatannya, dan membuangnya pada tempat yang sama. Pada pagi harinya, Amr terbangun dalam keadaan marah-marah karena sekali lagi kehilangan tuhannya. Ia kembali mencarinya dan menemukannya di tempat yang sama. Ia membersihkan dan menempatkannya kembali seperti semula. Kejadian ini berulang sampai beberapa kali. Karena jengkel hal itu terus berulang tanpa tahu siapa yang melakukannya, ia meletakkan pedang di pundak berhala tersebut dan berkata, "Sesungguhnya aku tidak tahu siapa yang bertanggung jawab atas perbuatan ini. Jika engkau memang mempunyai kekuatan, pertahankanlah dirimu sendiri dengan pedang ini."
Kedua pemuda inipun kembali mengambil berhala tersebut. Melihat ada pedang tergantung, keisengannya-pun bertambah, mereka menggantungkan pula bangkai anjing pada berhala itu, dan kali ini membuangnya pada lubang kotoran dari Bani Salimah yang digunakan oleh orang banyak. Sama seperti sebelumnya, berhala itu dalam keadaan menungging.
     Pagi harinya ketika Amr terbangun dan tidak menemukan berhalanya, ia mencari ke tempat biasa, tetapi ia tidak menemukannya di sana. Ketika ia melihat kerumunan orang di lubang kotoran yang lainnya, ia menghampirinya, dan ia mendapati "tuhannya" terhunjam ke kotoran dengan pedang dan bangkai anjing di pundaknya. Akhirnya Amr sadar bahwa berhala yang selama ini disembahnya tidak mempunyai kekuatan apa-apa, bahkan untuk mempertahankan dirinya sendiri walaupun senjata tersedia, ternyata ia tidak mampu.
Beberapa orang Bani Salimah lainnya yang telah memeluk Islam menghampirinya dan menceritakan tentang agama Islam kepadanya, dan akhirnya ia memeluk Islam.
Amr bin Jamuh RA adalah seorang sahabat yang kakinya pincang. Anak-anaknya selalu menyertai Nabi SAW dalam perjuangan membela Islam. Dalam perang Uhud, ia ingin ikut serta seperti anaknya, tetapi kaum kerabatnya melarang, keadaan kakinya dijadikan alasan agar ia tinggal saja di Madinah. Bahkan ketika ia menghadap langsung kepada Nabi SAW untuk meminta ijin, beliau juga menyarankan hal yang sama. Ia hanya bisa berkata, "Sungguh menyedihkan, anak-anakku masuk surga sedangkan aku ketinggalan di belakang."
Istrinya, Ummu Walad yang memang sangat mencintai Nabi SAW dan Islam, sangat gencar mendorong anggota keluarganya untuk mengikuti perang Uhud. Karena itu ketika ia kembali ke rumah dan mendapati suaminya di sana, ia jadi uring-uringan. Ia berkata, "Wahai suamiku, aku tidak percaya mereka melarangmu mengikuti pertempuran itu. Tampaknya engkau saja yang takut menyertai mereka dalam pertempuran."
Mendengar penuturan istrinya itu, ia berangkat lagi untuk menemui Nabi SAW. Setelah keluar pintu rumahnya ia menghadapkan wajah ke kiblat dan berdoa, "Ya Allah, janganlah Engkau kembalikan aku kepada keluargaku….!"
Ia mengucapkan doanya itu dua kali, dan Ummu Walad mendengarnya. Ia melangkahkan kaki menuju masjid, dan setelah bertemu Nabi SAW, ia berkata, "Wahai Rasulullah, aku sangat menginginkan gugur syahid di medan pertempuran, tetapi kaum kerabatku selalu melarangnya. Aku tidak bisa lagi menahan keinginanku, ya Nabiyallah ijinkanlah aku mengikuti pertempuran ini. Aku berharap dapat berjalan-jalan di surga dengan kakiku yang pincang ini."
Nabi SAW menasehatinya untuk tetap tinggal karena ia mempunyai udzur syar'i untuk tidak mengikuti jihad atau pertempuran. Tetapi Amr tetap memaksa, sehingga akhirnya Rasulullah SAW mengijinkannya.
Dalam perang Uhud itu, ia  berjuang bersisian dengan anaknya, Walad bin Amr, dengan gigih ia menyerang musuh, sambil terus berteriak, "Demi Allah, aku sangat mencintai surga!"
Dua orang anak dan bapak ini akhirnya menemui syahidnya. Usai pertempuran, istrinya, Ummu Walad mendatangi medan perang Uhud, menaikkan dua jenazah orang terkasihnya itu ke atas untanya, dan juga jenazah saudaranya, Abdullah, untuk dibawa ke Madinah. Tetapi untanya ini tak mau bergerak, walau dipukul dan dicambuk.
Melihat hal itu, Nabi SAW bersabda, "Sesungguhnya unta ini diperintahkan berlaku demikian. Apakah Amr mengatakan sesuatu ketika meninggalkan rumah?"
"Benar, ya Rasulullah," Kata Ummu Walad, "Sebelum meninggalkan rumah untuk menyertai pertempuran ini, ia menghadapkan wajah ke kiblat dan berdoa agar tidak dikembalikan kepada keluarganya."
Mendengar penjelasannya itu, Rasulullah SAW memerintahkan agar memakamkan tiga syuhada ini di bukit Uhud. Amr bin Jamuh dimakamkan dalam satu lobang dengan Abdullah bin Amr bin Haram, atau yang lebih dikenal dengan nama Abu Jabir (ayah dari sahabat Jabir bin Abdullah, yang banyak meriwayatkan Hadits Nabi SAW). Keduanya saling mengasihi dan selalu bersama-sama dalam kehidupan dunia, dan masih terikat saudara. Istrinya Ummu Walad adalah saudara Abu Jabir.
            Empatpuluh enam tahun berselang setelah Perang Uhud itu, Muawiyah menggali sebuah mata air dan mengalirkannya melewati bekas medan perang Uhud itu. Beberapa makam syuhada Uhud tergenang air dan jasadnya keluar, termasuk makam Amr bin Jamuh dan Abu Jabir. Tetapi dengan kekuasaan Allah, jasad mereka itu dalam keadaan utuh, bahkan darahnya masih merah seolah-olah baru saja terluka tersayat pedang. Mereka berdua seperti tengah tertidur lelap saja. Abu Jabir memindahkan jasad ayah dan pamannya itu ke makam Baqi di Kota Madinah.

Jumat, 30 Agustus 2013

Mush'ab bin Umair RA, Muballigh Pertama di Madinah, Sahabat yang Syahid di Perang Uhud

Masa remaja Mush'ab bin Umair adalah masa remaja yang paling diidamkan oleh umumnya remaja. Ia hidup berlimpah kekayaan, tampan, cerdas, dimanjakan orang tua, diinginkan oleh banyak wanita. Ia juga sangat dihargai oleh lingkungannya karena ia berasal dari keluarga terpandang dan banyak memberikan solusi dalam majelis-majelis ketika membahas suatu permasalahan.
Namun semua kelebihan dan fasilitas yang dipunyainya jadi tak berarti ketika ia mulai mendengar adanya dakwah yang dibawa Nabi SAW. Tekanan dan siksaan yang dilakukan kaum kafir Quraisy terhadap pemeluk Islam tidak membuatnya gentar untuk mengenal lebih jauh ajaran agama baru ini. Akhirnya cahaya hidayah membawanya ke rumah Arqam bin Abil Arqam (Darul Arqam), dimana biasanya Rasulullah SAW mengajar sahabat-sahabat beliau, dan ia berba’iat memeluk Islam. Lantunan ayat-ayat Al Qur'an membuat hatinya bergemuruh, penuh gairah dan haru yang membludak, sampai akhirnya Rasullullah SAW mengusap dadanya, sehingga hatinya menjadi tenang dan damai bagaikan lubuk sungai yang dalam.
Hal yang ditakutkan setelah menjadi Islam adalah ibunya. Ibunya, Khunas binti Malik adalah sosok yang dominan, berkepribadian kuat, berpendirian yang tidak bisa ditawar-tawar. Karena itu Mush'ab menyembunyikan keislamannya dari ibunya, dan diam-diam ia selalu pergi ke rumah Arqam untuk memperdalam keislamannya. Namun pada akhirnya ibunya tahu juga perubahan keyakinan anaknya dari seseorang bernama Utsman bin Thalhah.
Tak pelak lagi, Mush'ab diinterogasi ibunya di depan pembesar-pembesar Quraisy, namun kekuatan iman telah menyatu-padu dalam hatinya sehingga tak mungkin ia kembali ke kepada agama jahiliah. Bahkan ia berdiri tegar di depan ibunya yang selama ini dihormati dan ditakutinya sambil membacakan ayat-ayat Al Qur'an. Dalam puncak kemarahannya, ibunya mengurung Mush'ab dalam ruangan sempit dan terpencil dengan penjagaan ketat.
Ketika Nabi SAW menitahkan sahabat-sahabatnya untuk hijrah ke Habsyi, Mush'ab berhasil memperdaya penjaganya dan lolos untuk mengikuti beberapa sahabat hijrah ke Habsyi. Sungguh harga yang mahal untuk mempertahankan keimanan. Kemewahan dan kemegahan masa remaja ditukar dengan hidup merana dan terlunta di negeri orang. Memang kenikmatan batin karena manisnya iman tidak akan bisa dijual dengan sebanyak apapun kemewahan dunia ini.
Tetapi hidup dalam ketenangan beribadah di Habsyi tidaklah menjamin ketenangan jiwanya. Kerinduannya untuk memandang dan bersama Nabi SAW, dirasakannya jauh lebih pedih daripada siksaan fisik yang dirasakannya ketika di Makkah. Karena itu Mush’ab memutuskan untuk kembali ke Makkah. Begitu menginjakkan kaki di tanah kelahirannya, orang-orang suruhan ibunya telah bersiap menangkapnya kembali. Mush’ab mengancam akan membunuh mereka jika berani mendekatinya. Ibunya yang juga hadir tidak bisa berbuat apa-apa, tetapi karena kekerasan hatinya, ia berkata, “Pergilah sesuka hatimu, aku bukan ibumu lagi!!”
Mush’ab berkata dengan linangan air mata, “Wahai ibu, aku telah menyampaikan nasehat kepada ibu, dan sungguh aku merasa sangat kasihan kepada ibu. Bersaksilah bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya….!!”
Mendengar ucapannya itu, sang ibu memandangnya dengan mata menyala penuh amarah, dan berkata, “Demi bintang, sekali-kali aku tidak akan masuk agamamu itu. Otakku bisa jadi rusak dan perkataanku tidak akan didengar orang lagi!!”
Beberapa waktu kemudian Mush'ab hadir dalam majelis Nabi SAW bersama para sahabat-lainnya. Melihat penampilannya yang memang baru datang dari Habsyi, mereka menundukkan dan memejamkan mata, sebagian menangis haru melihat Mush'ab yang memakai jubah usang bertambal-tambal. Rasanya belum lama berselang ketika mereka melihat Mush'ab yang bagaikan bunga di taman, begitu cemerlang memikat dan menebarkan aroma wewangian di sekitarnya. Tetapi justru inilah yang memunculkan pujian Rasulullah SAW atas dirinya, Beliau bersabda, "Dahulu saya lihat Mush'ab ini tak ada yang mengimbangi dalam memperoleh kesenangan dari orang tuanya tetapi semua itu ditinggalkan karena cintanya pada Allah dan RasulNya."
Dakwah Nabi SAW pada beberapa kelompok suku yang sedang melaksanakan haji, kebanyakan mengalami penolakan. Tetapi enam orang dari Suku Khazraj yang dipimpin oleh As'ad bin Zurarah dari Bani Najjar menerima ajakan Rasulullah dengan baik. Pada musim haji berikutnya, dua belas orang datang lagi dan berba'iat pada Nabi SAW, tujuh orang di antaranya baru masuk silam. As'ad bin Zurarah yang juga memimpin rombongan ini meminta Rasullullah SAW mengirim seseorang yang mampu memberikan pengajaran dan memimpin dakwah di Madinah.
Pilihan Nabi SAW jatuh pada Mush'ab bin Umair. Walaupun masih muda, pengalamannya di masa jahiliah dalam majelis-majelis dan kepandaiannya saat berguru pada Rasullullah SAW tentunya menjadi pertimbangan beliau untuk memilihnya dalam tugas mulia ini. Di Madinah, Mush’ab tinggal bersama As'ad bin Zararah.
Bersama As'ad, Mush’ab mendatangi berbagai kabilah, rumah-rumah dan mejelis-majelis untuk mengajak mereka memeluk Islam. Saat berdakwah pada kabilah Abdul Asyhal, ia sempat disergap oleh Usaid bin Hudlair, pemuka kabilah tersebut karena dianggap mengacau dan membuat anak buahnya menyeleweng dari agamanya Tetapi dengan kemampuan diplomasinya dan wajahnya yang teduh serta tenang, Mush’ab mampu meredam kemarahan Usaid, dan memaksanya untuk duduk mendengarkan.
Mush'ab pun membacakan ayat-ayat Qur'an dan menjelaskan risalah yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Dengan gaya bahasa yang halus penuh ketulusan, Mush'ab mampu menyentuh hati nurani Usaid yang terdalam, dan membawanya pada hidayah Allah untuk memeluk Islam, yang dalam beberapa jam kemudian disusul dengan keislaman Sa’ad bin Mu’adz, tokoh Bani Abdul Asyhal lainnya. Keislaman dua pemukanya ini dikiuti oleh hampir seluruh anggota kabilah tersebut.
Tersebarnya kabar  tentang keislaman Usaid bin Hudlair dan Sa’ad bin Mu’adz membuat tokoh-tokoh Madinah lainnya mencari tahu tentang agama baru ini. Beberapa pemuka kabilah di Madinah akhirnya memeluk Islam, antara lain Sa'ad bin Ubadah dan Amr bin Jamuh, dimana tokoh ini membuat pemusnahan banyak berhala yang selama ini dijadikan sesembahan.
Masyarakat Madinahpun makin banyak yang masuk Islam menyusul tokoh-tokohnya. Mereka berpendapat, "Kalau Usaid bin Hudlair, Sa'ad bin Ubadah dan Sa'ad bin Mu'adz telah masuk Islam, apalagi yang kita tunggu? Marilah kita datang ke Mush'ab untuk menyatakan keislaman."
Pada Perang Uhud, Mush'ab bin Umair dipilih oleh Rasulullah sebagai pembawa bendera. Dengan strategi yang jitu dan pengaturan pasukan yang sempurna oleh Nabi SAW, pasukan Quraisy pun kocar-kacir berlarian meninggalkan harta benda di medan pertempuran. Tetapi ketidak-disiplinan sebagian besar dari 50 pasukan pemanah yang ditempatkan Nabi di atas bukit, membuat situasi berbalik. Hampir 40 orang turun untuk mengambil ghanimah dan membiarkan pertahanan dari bukit terbuka. Peringatan Abdullah bin Jubair, komandan pasukan pemanah untuk tetap tinggal di atas bukit diabaikan begitu saja.
Khalid bin Walid yang memimpin satu kelompok pasukan Quraisy melihat situasi ini, dan ia bergerak menaiki bukit. Sekitar sepuluh orang yang bertahan di atas bukit tak mampu menahan gempuran Khalid dan mereka syahid semua. Kemudian Khalid menggempur pasukan Islam di bawahnya, bahkan serangan-pun mengarah pada Nabi SAW. Mush'ab melihat keadaan bahaya yang mengancam Nabi SAW, ia bergerak cepat dengan bendera di tangan kiri yang diangkat tinggi, tangan kanan mengayun pedang dan mulutnya bergemuruh dengan takbir, mencoba membendung arus musuh yang mendatangi Rasullullah SAW.
Tetapi kekuatan yang tidak berimbang mematahkan serangan Mush’ab, tangan kanannya ditebas Ibnu Qumai'ah hingga putus, Mush'ab hanya berkata, "Muhammad tidak lain hanya seorang Rasul, sebagaimana Rasul-rasul yang telah mendahuluinya."
Kemudian bendera dikepit dengan sisa lengan kanannya, dan tangan kirinya mengayun pedang menyerang musuh yang terus berdatangan. Ketika tangan kiri itu ditebas juga hingga putus dan bendera jatuh. Lagi-lagi Umair mengulang ucapannya, "Muhammad tidak lain hanyalah seorang Rasul, sebagaimana Rasul-rasul yang telah mendahuluinya."
Namun demikian dengan kedua pangkal lengannya, Mush’ab masih berusaha menegakkannya bendera itu, sampai akhirnya sebuah tombak menusuk tubuhnya hingga patah, dan gugurlah Mush'ab sebagai syahid.
            Setelah perang Uhud berakhir, Nabi SAW berdiri di dekat jasad Mush'ab dengan mata berkaca. Sesosok tubuh yang masa mudanya dibalut dengan pakaian halus, mahal dan wangi, kini jasadnya hanya tertutup kain burdah yang begitu pendek, jika ditutup kepalanya, kakinya akan terbuka, jika ditutup kakinya, kepalanya yang terbuka. Maka Nabi bersabda, "Tutupkanlah ke bagian kepalanya, dan tutupilah kakinya dengan rumput idzkir."

Hamzah bin Abdul Muthalib RA, Penghulu Para Syuhada’, Sahabat yang Syahid di Perang Uhud

Hamzah bin Abdul Muthalib adalah sahabat sekaligus paman Nabi SAW. Walau sebagai paman, Hamzah seusia (lebih kurang sama) dengan beliau, bahkan ia juga saudara sesusu Nabi SAW, sama-sama dipelihara dan disusui oleh Halimah as Sa’diyah. Bahkan sebelum dibawa kepada Bani Sa’d bin Bakr, kabilahnya Halimah as Sa’diyah, keduanya pernah disusui oleh Tsuwaibah, salah satu sahaya Abu Lahab yang saat itu sedang menyusui anaknya, Masruh. Mereka berdua juga teman sepermainan dan tumbuh dewasa bersama-sama.
            Hamzah adalah seorang lelaki Quraisy yang sangat terpandang dan sangat disegani. Ia sangat menjunjung tinggi harga diri dan kehormatan keluarganya. Ia mempunyai kegemaran (hobbi) berburu, dan hal itu membuat dirinya makin ditakuti oleh orang-orang Quraisy lainnya.
Suatu hari di bulan Dzulhijjah tahun ke enam dari nubuwwah, ketika baru pulang dari perburuannya, seorang budak wanita milik Abdullah bin Jad’an berkata kepadanya, “Wahai Abu Ammarah (nama kunyahnya Hamzah), ketika berada di Shafa, aku melihat Abu Jahal mencaci maki dan melecehkan keponakanmu, Muhammad. Bahkan ia memukul kepalanya hingga terluka!!”
Mendengar laporan tersebut Hamzah sangat marah. Nabi SAW adalah putra kakak kandungnya, sedangkan Abu Jahal hanya saudara sepupunya. Penghinaan kepada beliau sama artinya dengan penghinaan kepada dirinya, apalagi ayahnya telah wafat. Masih dengan menenteng busur panahnya, ia berjalan berkeliling mencari Abu Jahal, setiap orang yang ditemuinya selalu ditanya keberadaan Abu Jahal. Ketika ditemuinya di dekat masjid, ia berkata, “Wahai orang yang berpantat kuning (yakni, Abu Jahal), beraninya engkau mencela anak saudaraku, sedangkan aku berada di atas agamanya…!!”
Setelah itu Hamzah memukul kepala Abu Jahal dengan busur panah yang dipegangnya hingga luka menganga. Orang-orang Bani Makhzum (kabilahnya Abu Jahal) berdiri ingin melakukan perlawanan, dan orang-orang Bani Hasyim (kabilahnya Hamzah dan Nabi SAW) juga segera berdiri di belakang Hamzah. Kalau dibiarkan mungkin bisa terjadi perang saudara saat itu. Tetapi Abu Jahal berkata kepada kaumnya, “Biarkan saja Abu Ammarah, karena aku memang telah mencaci maki anak saudaranya dengan cacian yang sangat menyakitkan!!”
Mungkin apa yang dikatakan Hamzah bahwa ia berada di atas agama Nabi SAW adalah hanya ungkapan kemarahan dan perasaan harga dirinya yang tersinggung. Tetapi bisa jadi itu memang jalan hidayah Allah, karena setelah itu ia menghadap Nabi SAW dan menyatakan dirinya memeluk Islam.
Keislaman Hamzah bin Abdul Muthalib seolah menjadi pemicu bangkitnya kekuatan Islam, apalagi tiga hari kemudian disusul dengan keislaman Umar bin Khaththab. Atas inisiatif Umar, kaum muslimin yang selama ini beribadah dan berdakwah dengan sembunyi-sembunyi, jadi berani melakukannya dengan terang-terangan. Saat itu juga, Nabi SAW mengeluarkan kaum muslimin dalam dua barisan, barisan pertama dipimpin oleh Hamzah dan barisan kedua dipimpin Umar. Mereka berjalan menuju Baitullah dengan menggemakan tasbih, tahmid, tahlil dan takbir kemudian berkumpul di dekat Ka’bah. Kaum kafir Quraisy hanya bisa memandang tanpa berani berbuat apa-apa.
Ketika perang Badar mulai pecah, seorang lelaki perkasa dari Quraisy, Aswad bin Abdul Asad al Makhzumy sesumbar akan menghabisi kaum muslimin. Maka Hamzah maju menghadapi orang sombong tersebut dan dengan mudah membunuhnya. Kemudian tampillah tiga pahlawan kafir Quraisy yang masih bersaudara, Utbah bin Rabiah, Syaibah bin Rabiah dan Walid bin Utbah, menantang duel. Tiga orang pemuda Anshar, Auf bin Harits al Afra, Muawwidz bin Harits al Afra dan Abdullah bin Rawahah berniat menghadapi mereka, tetapi mereka hanya menginginkan sesama Quraisy saja. Maka Nabi SAW memerintahkan Hamzah, Ali dan Ubadah bin Harits yang juga bersaudara untuk menghadapinya, dan dengan mudah mengalahkan mereka. Hanya saja Ubadah sempat terluka parah, dan akhirnya gugur sebagai syahid.    
Dalam perang Badar itu, Hamzah memakai tanda bulu burung pada bajunya. Ia berperang dengan perkasanya sehingga pasukan musuh porak poranda. Seorang lelaki musyrik bertanya tentang siapa dia, dan dijawab kalau dia adalah Hamzah bin Abdul Muthalib. Ia berkata, "Dialah yang banyak menimbulkan kesusahan pada kita."
Dalam perang Uhud, ketika pasukan muslim porak poranda karena sebagian besar pemanah meninggalkan  posnya, seorang sahabat melihat Hamzah di dekat sebuah pohon sedang berdoa, "Aku adalah singa Allah dan singa Rasul-Nya. Wahai Allah, aku berlepas diri kepadaMu dari perbuatan orang-orang musyrik, aku memohonkan ampunanMu atas apa yang dilakukan oleh mereka (kaum muslim) atas Abu Sufyan dan teman-temannya (yakni melarikan diri dari musuh)."
Setelah itu, ia terjun lagi dalam pertempuran, menghadang pasukan musyrikin walaupun keadaannya tidak berimbang, pasukan musuh terlalu banyak. Setiap orang musyrik yang mencoba mendekati dan memeranginya pasti terbunuh. Saat itu, Wahsyi mencoba mendekatinya sambil bersembunyi di balik pohon dan batu-batuan. Tiba-tiba muncul Siba bin Abdul Uzza, Hamzah langsung menyongsongnya sambil berkata, "Mendekatlah padaku, hai anak lelaki wanita tukang khitan…!!"
Wahsyi adalah budak milik Jubair bin Muth’am, salah seorang tokoh kafir Quraisy. Pada perang Badar paman Jubair tewas di tangan Hamzah, karena itu ia menjanjikan memerdekakan Wahsyi sebagai budaknya jika bisa menuntut balas membunuh Hamzah. Hindun binti Utbah juga mendukung rencana Jubair, dengan menjanjikan akan memberikan kekayaan dan perhiasaan kepada Wahsyi. Pada perang Badar, Hindun kehilangan ayah, paman, saudara dan anaknya, yang sebagian dari mereka terbunuh di tangan Hamzah. Beberapa bulan sebelum berangkat ke Uhud, Wahsyi terus melatih keahliannya melempar tombak untuk bisa mewujudkan permintaan tuannya demi kemerdekaan dirinya, dan limpahan harta kekayaan dari Hindun.       
Ketika Hamzah sedang sibuk melawan dan menyerang Siba, Wahsyi bersiap menggerak-gerakkan tombaknya. Saat Hamzah sedang memukul kepala Siba dengan pukulan yang bisa menghancurkan kepalanya, Wahsyi melemparkan tombaknya ke arah Hamzah dan mengenai pinggang bagian bawahnya dan tembus di antara dua pahanya. Hamzah mencoba mengejarnya, tetapi jatuh dan syahid seketika.
Wahsyi mengambil tombaknya, mencabutnya dari tubuh Hamzah dan kembali ke kemahnya sambil menunggu peperangan usai..
Usai perang, Nabi SAW memerintahkan para sahabat mencari jenazah Hamzah. Sahabat yang sempat melihat Hamzah, mengantar beliau ke dekat pohon dimana Hamzah berdoa. Ketika melihat jenazahnya yang ditoreh, diiris bahkan dirusak itu, beliau berusaha keras menahan marah sehingga nafas beliau tersengal-sengal.
Dalam riwayat lainnya disebutkan, Nabi SAW sempat ‘marah’ dengan perlakuan biadab kaum musyrikin terhadap jenazah Hamzah. Beliau bersabda, “Sekiranya aku diberi kemenangan Allah atas kaum Quraisy dalam suatu pertempuran, akan aku perbuat kepada tigapuluh dari kaum Quraisy, sebagaimana mereka telah memperbuat terhadap Hamzah!!”
Beberapa sahabat-pun menimpali, “Demi Allah, sekiranya suatu ketika Allah memberikan kemenangan terhadap mereka, akan kita cincang mereka seperti yang belum pernah dilakukan oleh orang Arab manapun!!”
Tetapi seketika itu Allah meredam kemarahan Nabi SAW dan kaum muslimin dengan turunnya wahyu Allah, QS Al Nahl ayat 125-128 :  Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran (cara) yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik pula. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar. Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.
            Rasulullah SAW memerintahkan para sahabat mengkafani jenazah Hamzah. Bangkitlah seorang lelaki Anshar dan memberikan pakaiannya untuk dibuat kafan jenazah Hamzah. Kemudian Nabi SAW bersabda, "Penghulu para syuhada di sisi Allah pada hari kiamat adalah Hamzah..!"

Jumat, 14 Juni 2013

Imran bin Hushain al Khuzai RA, Sahabat yang Banyak Meriwayatkan Hadits Nabi SAW

           Imran bin Hushain al Khuzai, seorang sahabat dari Bani Khuza’ah yang telah memeluk Islam pada saat Nabi SAW masih berdakwah di Makkah. Ayahnya, Hushain bin Ubaid al Khuzai adalah seorang pemuka dan juga ilmuwan di antara kaumnya, yang juga sangat dihargai oleh kaum Quraisy Makkah. Suatu ketika ia sedang bersama Nabi SAW dan sahabat-sahabat lainnya, ketika ayahnya itu datang menemui Nabi SAW, atas permintaan kaum Quraisy. Imran segera memalingkan muka dan bersikap sinis melihat ayahnya tersebut. Ia sangat tahu kepandaian dan keahlian ayahnya dalam berdebat, dan ia sangat tidak rela jika Rasulullah SAW dibantah oleh ayahnya itu.
            Tetapi setelah beberapa lamanya berbincang, akhirnya ayahnya tersebut menyerah dengan logika ketuhanan yang disampaikan Nabi SAW dan Hushain bin Ubaid mengucap syahadat menyatakan dirinya memeluk Islam. Imran kaget bercampur gembira, ia segera memeluk dan mencium kepala, tangan dan kaki ayahnya dengan penuh haru. Rasulullah SAW sendiri sampai ikut menangis melihat sikap Imran tersebut. Salah seorang sahabat bertanya, “Mengapa engkau menangis, ya Rasulullah??”
            Beliau bersabda, “Aku menangis melihat sikap Imran. Ketika ayahnya masuk ke sini dalam keadaan kafir, ia tidak menyambutnya, bahkan ia bersikap sinis dan memalingkan muka. Tetapi begitu ayahnya memeluk Islam, ia segera menunaikan kewajibannya sebagai anak, hal itu yang membuatku menangis terharu!!”
            Sebagian riwayat menyebutkan, Imran bin Hushain ini memeluk Islam pada saat perang Khaibar, yang terjadi setelah Perjanjian Hudaibiyah. Kalau mengacu dengan kisah keislaman ayahnya tersebut di atas, tentu saja hal itu sangat bertentangan.  Wallahu A’lam!!
            Imran bin Hushain sangat rajin menghadiri majelis pengajaran Rasulullah SAW, baik ketika berada di Makkah, terlebih lagi ketika telah hijrah ke Madinah. Karena itu ia termasuk salah satu sahabat yang cukup banyak meriwayatkan hadits Nabi SAW. Ia berusia lanjut hingga sempat mengalami jaman kejayaan Islam, di mana harta melimpah ruah di seluruh penjuru negeri. Namun demikian ia memilih tetap hidup sederhana dan zuhud seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW.
            Pada masa khalifah Umar bin Khaththab, Imran ditugaskan untuk menjadi pengajar bagi penduduk Bashrah. Salah satu yang menjadi muridnya adalah seorang ulama tabi’in yang terkenal, Hasan al Bahsri. Hasan al Bashri pernah berkata, “Tidak ada sahabat Nabi SAW yang datang ke Bashrah, yang keutamaannya melebihi Imran bin Hushain. Ia selalu menolak siapapun yang membuatnya lalai beribadah kepada Allah, ia layaknya malaikat yang berjalan di muka bumi!!”
            Ketika terjadi pertentangan antara Khalifah Ali dan Muawiyah, Imran bin Hushain memilih tidak berpihak kepada siapapun dari keduanya. Ia berkata, “Menggembala sekelompok kambing yang sedang menyusui anak-anaknya di puncak gunung yang terpencil sampai aku mati, lebih aku sukai daripada harus melepaskan anak panah ke salah satu kelompok kaum muslimin, baik mereka itu salah, apalagi mereka itu benar!!”
Pada masa akhir hidupnya, Imran bin Hushain menderita penyakit buang air selama tigapuluh tahun dan ia tidak bisa bergerak dari tempat tidurnya. Akibatnya harus dibuatkan lubang di bawah tempat tidurnya untuk kencing dan buang air besarnya. Namun demikian, selama tiga puluh tahun tersebut ia tidak pernah mengeluh dan tetap bersabar dengan ujian Allah yang dialaminya. Ia juga tetap melaksanakan kewajiban-kewajiban syariat sesuai kemampuannya.
Suatu ketika salah satu saudaranya yang bernama Al Alaa' atau Mutharrif bin Asy Syikhkhir menjenguknya dan ia menangis melihat keadaan Imran yang begitu memprihatinkan. Ia tersenyum melihat reaksi saudaranya tersebut dan berkata, "Janganlah engkau menangis. Sesungguhnya aku suka dengan apa yang disukai Allah. Aku akan menceritakan kepadamu sesuatu hal, yang semoga saja bermanfaat bagimu, tetapi jangan engkau ceritakan kepada orang lain sampai aku meninggal dunia."
Kemudian Imran menceritakan, bahwa karena sakitnya itu, para malaikat berziarah atau mengunjungi dirinya setiap harinya, dan memberi salam kepadanya, sehingga ia merasa senang dan selalu berdoa untuk tidak sembuh dari penyakitnya tersebut hingga ajal menjemputnya.
Jika ada orang yang menyarankan agar ia berobat atau akan mengobatinya, ia akan berkata, “Sesuatu yang paling aku cintai adalah sesuatu yang dicintai Allah (yakni, ketentuan/takdir Allah kepada dirinya) !!”
            Ketika waktu ajalnya makin dekat, ia berpesan kepada orang-orang sekitarnya, “Jika kalian pulang setelah menguburkanku, hendaklah kalian sembelih beberapa ekor ternak untuk menjamu mereka, layaknya jamuan dalam pesta perkawinan!!”

Hudzaifah bin Yaman RA, Sahabat yang Banyak Meriwayatkan Hadits Nabi SAW

            Hudzaifah bin Yaman adalah seorang sahabat yang secara khusus dididik Nabi SAW untuk mengenal kemunafikan. Semua itu berawal karena kebiasaannya yang berbeda dalam mengajukan pertanyaan kepada Nabi SAW. Umumnya para sahabat bertanya tentang berbagai macam amal kebaikan dan pahala-pahala yang dijanjikan, dan mereka berlomba-lomba untuk melakukannya. Sementara Hudzaifah cenderung bertanya tentang berbagai macam amal keburukan/kejahatan dan bahaya-bahayanya, karena ia ingin menjauhinya sejauh-jauhnya.
            Suatu ketika ia menghadap kepada Nabi SAW dan bertanya, "Wahai Rasulullah, dahulu kita berada dalam  kebodohan (jahiliah) dan diliputi kejahatan, kemudian Allah  mendatangkan kebaikan ini bagi kita. Apakah setelah kebaikan ini akan ada kejahatan lagi?"
            "Ada…!" Kata Nabi SAW.
            "Apakah setelah kejahatan itu, masih adakah kebaikan lagi, ya Rasulullah?"
            "Memang ada, tetapi keadaannya kabur dan penuh bahaya!!" Kata beliau lagi.
            "Apa bahaya itu, ya Nabiyallah?"
            "Yakni, segolongan ummat mengikuti sunnah yang bukan sunnahku, mengikuti petunjuk yang bukan petunjukku. Kenalilah mereka ini, ya Hudzaifah, dan cegahlah mereka semampumu…!!"
            "Setelah kebaikan tersebut, masih adakah kejahatan lagi, ya Rasulullah??"
            "Ada, yakni para penyeru di pintu neraka (yakni, yang mengajak kepada maksiat dan meninggalkan ibadah)…barang siapa menyambut seruannya, mereka akan dilemparkan ke dalam neraka…!!"
            "Apa yang harus saya lakukan jika menemui masa seperti itu, ya Nabiyallah?"
            "Selalulah mengikuti jamaah kaum muslimin dan pemimpin mereka!!"
            "Bagaimana jika mereka tidak memiliki jamaah dan tidak pula pemimpin (yang sesuai teladanmu), ya Nabiyallah?"
            "Hendaklah engkau tinggalkan semua golongan itu, walaupun engkau harus tinggal sendirian di rumpun kayu, sampai engkau menemui ajal dalam keadaan seperti itu…"
            Keadaan dan kebiasaan Ibnu Yaman dalam meneliti dan mengamati kejahatan dan daya upayanya untuk menghindarinya, ternyata mendapat dukungan Nabi SAW, dan beliau terus-menerus membimbingnya. Beliau mengajarinya bagaimana mengenali kemunafikan, dan juga menunjukkan orang-orang munafik yang ada saat itu. Namun beliau berpesan agar semua itu dirahasiakannya, sekedar untuk bahan bagi dirinya agar ia bisa menghindar dan tidak terjatuh dalam lingkaran pergaulan mereka.
            Salah satu sahabat yang selalu memanfaatkan keistimewaannya ini adalah Umar bin Khaththab. Sepeninggal Nabi SAW, jika ada orang muslim yang meninggal, Umar selalu mengamati sikap Hudzaifah. Jika ia tidak mendatangi atau tidak menyalatkannya, maka Umar akan melakukan hal yang sama. Tetapi Umar-pun melakukan hal itu untuk dirinya sendiri, tidak mengekspose secara umum atau mengajak orang lain melakukan hal yang sama.
            Ketika menjadi khalifah, Umar pernah mendatangi Hudzaifah dan bertanya, "Wahai Hudzaifah, apakah engkau melihat adanya kemunafikan dalam diriku..."
            "Tidak ada, wahai Amirul Mukminin...!"
            "Janganlah engkau sungkan mengatakannya..." Kata Umar.
            "Sungguh tidak ada, hanya saja engkau masih menyimpan dua stel pakaian. Satu engkau pergunakan pada musim dingin, dan satunya lagi untuk musim panas....!!"
            Mendengar penjelasan tersebut, Umar segera menyedekahkan satu stel pakaian yang masih disimpannya, walau sebenarnya Hudzaifah tidak menyebut hal itu sebagai tanda adanya kemunafikan dalam diri Umar.
            Pengetahuan dan pemahaman tentang keburukan dan upaya kerasnya untuk menghindari, menyebabkan lidah dan kata-katanya tanpa disadarinya menjadi tajam, pedas dan kadang menyakitkan orang lain. Karena itu ia datang kepada Nabi SAW, ia berkata, "Wahai Rasulullah, lidahku agak tajam kepada keluargaku, saya khawatir hal itu akan menjadi sebab saya  masuk neraka….!"
            Sebenarnya sah-sah saja hal itu dilakukannya, asal dalam rangka 'amar ma'ruf wan nahi 'anil munkar. Bahkan Nabi SAW  pernah menyatakan, "Jihad terbesar adalah kata-kata (nasehat) yang benar, terhadap penguasa yang dholim." Dan juga sabda beliau, "Katakanlah yang benar walaupun pahit didengar…!!"
            Namun bagi Hudzaifah, yang terbiasa meneliti lahiriah dan batiniahnya suatu masalah, hal itu tetap menjadi  ganjalan baginya. Rasulullah SAW tersenyum dan menanggapinya cukup sederhana, beliau bersabda, "Mengapa engkau tidak beristighfar? Sungguh saya beristighfar kepada Allah, setiap harinya seratus kali!!"
            Seperti halnya sahabat-sahabat Nabi SAW lainnya, Hudzaifah hampir tidak pernah tertinggal dari pertempuran bersama Rasulullah SAW. Bahkan dalam Perang Uhud, ayahnya, Yaman bin Jabir (sebagian riwayat menyebutkan, namanya adalah Husail bin Yabir, ada juga riwayat, namanya  Hasan bin Jarwin. Sedang Yaman adalah penisbahan kepada  tempat asalnya) terbunuh oleh pasukan muslimin karena suatu kesalahan.
            Pada perang tersebut, Yaman bin Jabir dan Tsabit bin Waqsy bin Zaura sebenarnya tinggal di Madinah karena memang telah lanjut  usia. Tetapi kemudian mereka menyusul ke Uhud karena keinginan dan semangat berjihad bersama Nabi SAW tidak bisa ditahan lagi. Mereka tiba di Uhud ketika perang sedang berkecamuk, mereka tidak cukup dikenali oleh pasukan muslim, dan dianggap anggota pasukan musyrik sehingga langsung diserang. Ketika pedang hampir terhunjam pada tubuh Yaman bin Jabir, Hudzaifah melihatnya dan ia berseru, "Ayahku..ayahku…jangan dibunuh, ia ayahku…!!"
            Tetapi terlambat, qadha Allah telah menentukan kepastiannya. Dan seketika suasana berubah duka dan sunyi senyap padahal pertempuran masih terus berlangsung. Hudzaifah mendatangi sekelompok sahabat yang membunuh ayahnya dengan sikap kasih dan pandangan penuh pemaafan, dan berkata, "Semoga Allah mengampuni tuan-tuan, sesungguhnya Dia adalah sebaik-baiknya Penyayang (ar Rahim)…"
            Setelah itu, Hudzaifah melanjutkan penyerangan ke tempat musuh dengan pedang terhunus. Usai peperangan, Nabi SAW menyuruh pembunuh Yaman bin Jabir untuk membayarkan diyat kepada Hudzaifah, tetapi Hudzaifah menolaknya dan memintanya untuk menyerahkan diyat tersebut kepada orang-orang fakir miskin yang membutuhkannya, bahkan ia menambahinya dengan hartanya sendiri.
            Perang Ahzab atau perang Khandaq lebih merupakan perang urat syaraf (Psy War), karena tidak pernah ada bentrokan pasukan secara langsung dan besar-besaran, kecuali hanya bentrokan kecil dari sekelompok pasukan Quraisy yang nekad menyeberangi parit dan dengan mudah dihalau oleh pasukan muslim. Pasukan sekutu dari kaum musyrik Quraisy dan kabilah-kabilah Arab lainnya mengepung Madinah hampir satu bulan, sementara kaum yahudi Bani Quraizhah yang sebenarnya terikat perjanjian damai dan kerjasama dengan kaum muslimin mengancam dari dalam.
            Suatu malam, hampir sebulan pengepungan Madinah, saat itu sangat gelap gulita, angin begitu kencang, suaranya menderu-deru seolah akan mencabut gunung-gunung yang tegak di padang pasir. Begitu gelap dan mencekamnya, sehingga jari sendiripun tidak kelihatan. Orang-orang munafik satu persatu minta ijin kepada Nabi SAW untuk pulang ke rumahnya, sebagian lagi pergi begitu saja tanpa pamit kepada beliau. Mereka berkata, "Sesungguhnya rumah-rumah kami dalam keadaan terbuka, dan tidak ada lelaki yang menjaganya…"
            Setelah mereka semua pergi, Nabi SAW berjalan berkeliling di antara sahabat-sahabat yang masih tinggal. Tiba di hadapan Hudzaifah, beliau bertanya, "Siapa ini?"
            "Saya, ya Rasulullah, Hudzaifah!!"
            Saat itu ia sedang duduk sambil memeluk lutut untuk menghangatkan tubuhnya. Ia tidak memiliki perisai dan juga selimut kecuali hanya satu lembar pakaian kulit kambing milik istrinya, yang panjangnya tidak sampai lutut.
            "Hudzaifah?" Kata Nabi SAW, seakan memastikan. Suasana yang sangat gelap memang tidak memungkinkan beliau mengenali siapa yang di hadapan beliau.
            Hudzaifah yang sebenarnya enggan untuk berdiri, tetapi akhirnya ia berdiri juga di hadapan Nabi SAW dan berkata, "Benar, saya, ya Rasulullah!!"
            "Sesungguhnya ada sesuatu yang terjadi di pihak pasukan kaum musyrik," Kata Nabi SAW, "Pergilah kepada mereka, dan bawalah berita tentang keadaan mereka…"
            Sebenarnyalah Hudzaifah dalam ketakutan dan kedinginan yang tak tertahankan, tetapi perintah telah diberikan dan tak ada alasan baginya untuk menolak titah Rasulullah SAW.
            Baru beberapa langkah berjalan, ia mendengar Nabi SAW berdoa, "Ya Allah, jagalah dia dari depan dan belakangnya, dari kanan dan kirinya, dari atas dan bawahnya…"
            Segera setelah doa itu selesai, Hudzaifah tidak lagi merasakan ketakutan dan kedinginan, ia berpaling ke arah Nabi SAW, dan  beliau bersabda, "Hai Hudzaifah, jangan melakukan apapun di kaum itu sampai engkau kembali kepadaku…"
            Hudzaifah menyeberangi parit dan berjalan ke pasukan kaum musyrik. Suasana yang gelap membantunya  menyelusup di sela-sela perkemahan tanpa diketahui. Tiba-tiba datang tiupan angin kencang berputar-putar di perkemahan, memadamkan semua lampu penerangan mereka, suasana makin gelap saja. Tiba-tiba terdengar teriakan, yang diduganya adalah suara Abu Sufyan, "Hai segenap golongan Quraisy, hendaknya setiap kalian memperhatikan kawan duduknya, dan memegang tangannya dan juga mengetahui namanya…."
            Hudzaifah berfikir cepat. Segera ia masuk satu kemah dan memegang tangan salah seorang dari mereka dan menanyakan namanya. Kalau ia kedahuluan yang ditanya, pasti ia akan ketahuan. Ia-pun aman di antara mereka dalam suasana gelap. Angin masih terus bertiup memporak-porandakan perkemahan dan perlengkapan mereka. Tak lama kemudian ia mendengar Abu Sufyan berkata, "Hai orang-orang Quraisy, kekuatan kalian sudah tidak utuh lagi, kuda-kuda dan unta-unta kita banyak yang  binasa. Bani Quraidhah juga mengkhianati kita sehingga kita mengalami hal yang tidak kita inginkan. Apalagi angin topan ini memporak-porandakan perkemahan kita…Berkemaslah dan segera berangkat pulang…!!!"
            Tidak berapa lama Abu Sufyan menaiki ontanya dan meninggalkan tempat tersebut, diikuti oleh anggota pasukan lainnya. Sempat terpikir oleh Hudzaifah untuk memanah Abu Sufyan, tetapi ia ingat pesan Rasulullah SAW untuk tidak berbuat apapun sampai kembali menemui beliau.
            Ia beringsut, perlahan menjauhi tempat tersebut dan berjalan kembali ke tempat pasukan muslim berkumpul. Tetapi tiba-tiba saja ada sekitar duapuluh orang penunggang kuda yang memakai sorban berhenti di hadapannya. Hudzaifah kaget setengah mati, salah satu dari mereka berkata, "Beritahu sahabatmu (Nabi SAW), sesungguhnya Allah telah menjaganya…"
            Setelah itu mereka berlalu, dan hilang secepat ketika mereka hadir di hadapannya. Hudzaifah segera pulang ke tempat Nabi SAW dengan penuh tanda tanya tentang sekelompok penunggang kuda tersebut.
            Tiba di tempat Nabi SAW, dilihatnya beliau sedang shalat sambil memakai selimut, seketika itu tubuhnya kembali merasakan kedinginan sampai menggigil seperti ketika ia belum berangkat menunaikan tugas Nabi SAW. Sambil meneruskan shalat, Nabi SAW memanggilnya dengan isyarat tangan dan mengulurkan selimut yang beliau pakai. Hudzaifah mendekat dan menerima selimut tersebut lalu memakainya untuk mengurangi rasa dingin yang menyerangnya.
            Usai Nabi SAW shalat, ia melaporkan dengan detail apa yang dilihat dan dialaminya. Nabi SAW tersenyum dan menjelaskan, bahwa sekitar duapuluh penunggang kuda tersebut adalah para malaikat yang dikirim Allah untuk memporak-porandakan perkemahan pasukan musyrik, sehingga mereka ketakutan dan segera pulang.
            Usai bercerita, ia tertidur berselimutkan selimut Nabi SAW tersebut, dan dibangunkan beliau menjelang waktu subuh. Atas peristiwa ini, turunlah Surah al Ahzab ayat 9 - 25.
            Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab, ia dipilih untuk menjadi wali negeri (Amir) di Madain, salah satu wilayah Persia yang jatuh ke tangan pasukan muslimin, di mana ia sendiri menjadi salah satu komandan pasukan. Sikap zuhud dan sederhana terhadap dunia yang menjadi ciri kehidupannya menjadi salah satu alasan Umar untuk memilihnya. Ia datang sebagai Amir dengan mengendarai keledainya yang beralaskan kain usang. Tangannya memegang roti dan garam untuk perbekalannya. Sebagian penduduk Madain menyambutnya dengan kebingungan, benarkah seseorang yang begitu sederhana dan tampak sangat fakir, yang menjadi wali negeri mereka? Tetapi seketika itu Hudzaifah berkata, “Wahai kaum muslimin, hindarilah tempat-tempat fitnah!!”
            Salah seorang berkata, “Wahai Abu Abdillah, apakah tempat-tempat fitnah itu??”
            Hudzaifah berkata, “Yakni, pintu-pintu para penguasa, salah seorang dari kalian datang kepada seorang amir atau wali negeri (gubernur). Lalu ia membenarkan amir tersebut dengan kedustaan, dan memujinya dengan sesuatu yang tidak layak baginya!!”
            Setelah beberapa waktu lamanya tinggal di Madain, banyak sekali kaum muslimin yang sakit karena pengaruh iklim daerah tersebut. Maka Hudzaifah memerintahkan mereka untuk pindah ke Kufah, dan di sana mereka sehat kembali seperti sediakala.
            Hudzaifah wafat pada tahun 36 hijriah pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Ketika orang-orang datang menjenguk saat sakaratul mautnya, ia bertanya, “Apakah kalian membawa kain kafan??”
            Salah satu dari mereka berkata, “Ada!!”
            “Coba kulihat!!” Kata Hudzaifah.
            Mereka menunjukkannya, suatu kain kafan baru, dari bahan yang agak mewah. Seketika tersirat senyuman pahit, pertanda ia tidak senang. Ia berkata, “Kain kafan ini tidak cocok bagiku!! Cukuplah dua kain putih biasa saja, tanpa baju!! Tidak lama aku di dalam kubur, setelah itu akan diganti dengan kain yang lebih baik, atau mungkin yang lebih jelek!!”.
            Tidak lama setelah itu maut menjemputnya, tampak sekali kesenangan dan kegembiraan tersirat di wajahnya, karena sesungguhnya ia telah lama memendam kerinduan untuk bisa segera kembali bertemu dengan Rasulullah SAW.

Minggu, 05 Mei 2013

Mu'adz bin Jabal RA, Sahabat yang Banyak Meriwayatkan Hadits Nabi SAW, Yang Paling Tahu tentang Halal dan Haram

Mu'adz bin Jabal termasuk sahabat Anshar pada periode awal, ia telah memeluk Islam pada Ba'iatul Aqabah ke dua, sehingga ia termasuk dari golongan as sabiqunal awwalun. Sejak keislamannya ia aktif mendakwahkan Islam kepada kaumnya, Bani Salimah. Saat itu salah satu pemuka kaumnya, Amr bin Jamuh masih teguh dengan agama jahiliahnya, yakni menyembah berhala. Maka Ibnu Jabal bersama putra Amr sendiri yang juga sahabatnya, Mu’adz bin Amr bin Jamuh, bersiasat untuk mengubah keyakinannya tersebut.
Amr bin Jamuh mempunyai berhala sesembahan yang diberi nama ‘Manat’ dan diletakkan di tempat terhormat. Suatu malam dua pemuda itu mengambil dari tempatnya dan dibuang ke tempat pembuangan kotoran. Ketika Amr mengambilnya kembali dan membersihkannya, dua pemuda tersebut secara diam-diam mengambilnya dan membuangnya lagi. Hingga tiga kali dalam tiga hari peristiwa itu berulang, akhirnya Amr bin Jamuh menyadari kalau ‘Manat’ yang selama ini dipuja dan disembahnya ternyata tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan untuk membela dirinya sendiri. Kesadarannya itu pula yang pada akhirnya membawanya memeluk Islam, sebagaimana sebagian besar kaumnya.
Masa mudanya dihabiskan untuk bisa mengikuti Nabi SAW, baik ketika berjuang di medan jihad dan berbagai perjalanan lainnya, ataupun ketika tinggal di Madinah, dalam berbagai majelis pengajaran beliau. Kecerdasan otaknya membuat dirinya dengan mudah menyerap dan memahami ilmu-ilmu keislaman.
Mu’adz bin Jabal termasuk sahabat yang berani mengemukakan buah pikirannya, seperti halnya Umar bin Khaththab, namun demikian ia tetap seorang yang rendah hati. Ia tidak pernah begitu saja mengemukakan pendapat atau pemikirannya (ijtihadnya) kecuali jika diminta atau diberi waktu mengemukakannya. Karena begitu luas dan mendalamnya pengetahuan yang dimilikinya, terutama menyangkut hukum-hukum Islam (Ilmu Fikih), Nabi SAW pernah bersabda tentang dirinya, "Ummatku yang paling tahu akan halal dan haram adalah Mu'adz bin Jabal…"
Pada kesempatan lain, Nabi SAW juga pernah bersabda, “Ambillah (pelajarilah) Al Qur’an dari empat orang, yakni (Abdullah) Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Mu’adz bin Jabal dan Zaid bin Tsabit…!!”
Atas dasar sabda Nabi SAW inilah banyak sahabat-sahabat yang menjadikan Mu'adz sebagai rujukan jika ada permasalahan menyangkut hukum-hukum Islam (Fikih). Bahkan Umar bin Khaththab, yang diakui kecerdasannya oleh Nabi SAW, pada saat menjadi khalifah banyak meminta pendapat dan buah fikiran Mu'adz dalam memutuskan suatu permasalahan. Sampai akhirnya Umar berkata, "Kalau tidaklah karena Mu'adz bin Jabal, akan celakalah Umar…"
Ketika Nabi SAW akan mengirimnya ke Yaman untuk membimbing dan mengajarkan seluk-beluk keislaman kepada penduduk di sana, beliau bertanya kepada Mu'adz, "Apa yang menjadi pedoman bagimu untuk mengadili dan memecahkan suatu masalah, ya Mu'adz?"
"Kitabullah, ya Rasulullah!" Jawab Mu'adz.
"Jika tidak engkau temukan dalam Al Qur'an?"
"Akan saya cari pemecahannya berdasarkan sunnah-sunnahmu, ya Rasulullah!!"
"Jika tidak engkau dapatkan juga??"
"Saya akan menggunakan fikiran saya untuk berijtihad, dan saya tidak akan berlaku sia-sia (dholim, tidak untuk kepentingan pribadi dan duniawiah)…"
Bersinarlah wajah Rasulullah SAW pertanda bahwa beliau puas dan senang dengan penjelasan Mu'adz, kemudian beliau bersabda, "Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik kepada utusan Rasulullah, sebagaimana yang diridhai Rasulullah..."
Menjelang keberangkatannya, Nabi SAW mengiringinya dengan doa, “Semoga Allah menjagamu (wahai Mu’adz), dari depan dan dari belakangmu, dari kanan dan dari kirimu, dari atas dan dari bawahmu, serta (engkau) dapat menaburkan kegembiraan di kalangan manusia dan jin!!”   
Suatu malam Mu'adz bermaksud menemui Rasulullah SAW, tetapi ternyata beliau sedang mengendarai unta, entah hendak pergi kemana?? Melihat kedatangannya, beliau meminta Mu'adz untuk naik ke belakang beliau, berboncengan berdua, unta pun melanjutkan perjalanan. Beliau memandang ke langit, setelah menyanjung dan memuji Allah SWT, beliau bersabda kepada Mu'adz, "Wahai Mu'adz, aku akan menceritakan suatu kisah kepadamu, jika engkau menghafalnya akan sangat berguna bagimu. Tetapi jika engkau meremehkannya, engkau tidak akan punya hujjah (argumentasi) di hadapan Allah kelak."
Nabi SAW menceritakan, bahwa sebelum penciptaan langit dan bumi, Allah telah menciptakan tujuh malaikat. Setelah bumi dan langit tercipta, Allah menempatkan tujuh malaikat tersebut pada pintu-pintu langit, menurut derajat dan keagungannya masing-masing. Allah juga menciptakan malaikat yang  mencatat dan membawa amal kebaikan seorang hamba ke langit, menuju ke hadirat Allah, yang disebut dengan malaikat hafadzah.
Suatu ketika malaikat hafadzah membawa ke langit, amalan seorang hamba yang berkilau seperti cahaya matahari. Ketika sampai di langit pertama, malaikat hafadzah memuji amalan yang dibawanya di hadapan para malaikat yang tinggal di sana. Tetapi malaikat penjaga pintu langit pertama itu berkata, "Tamparkan amalan ini ke wajah pemiliknya. Aku adalah penjaga (penyeleksi) orang-orang yang suka mengumpat (Ghibah, jawa: ngerasani). Aku ditugaskan untuk menolak amalan orang yang suka ghibah. Allah tidak mengijinkannya melewatiku untuk mencapai langit berikutnya."
Maka para malaikat yang menghuni langit itu melaknat pemilik amalan tersebut.
Pada saat yang lain, malaikat hafadzah membawa ke langit, amal saleh seorang hamba yang sangat banyak dan terpuji. Ia berhasil melalui langit pertama karena pemiliknya bukan seorang yang suka ghibah. Ketika sampai di langit kedua, malaikat hafadzah memuji amalan yang dibawanya di hadapan para malaikat yang tinggal di sana. Tetapi malaikat penjaga pintu langit ke dua itu berkata, "Berhenti!! Tamparkanlah amalan ini ke wajah pemiliknya, sebab ia beramal dengan mengharap duniawiah. Allah menugaskan aku untuk menolak amalan seperti ini dan melarangnya melewati aku untuk mencapai langit berikutnya."
Maka para malaikat yang menghuni langit itu melaknat pemilik amalan tersebut.
Pada saat yang lain lagi, malaikat hafadzah membawa ke langit, amal saleh seorang hamba yang sangat memuaskannya, penuh dengan sedekah, puasa dan berbagai kebaikan lainnya, yang dianggapnya sangat mulia dan terpuji. Ia berhasil melalui langit pertama dan kedua karena pemiliknya bukan seorang yang suka ghibah dan tidak mengharapkan balasan duniawiah.
Ketika sampai di langit ke tiga, malaikat hafadzah memuji amalan yang dibawanya di hadapan para malaikat yang tinggal di sana. Tetapi malaikat penjaga pintu langit ke tiga itu berkata, "Berhenti!! Tamparkanlah amalan ini ke wajah pemiliknya!! Aku adalah malaikat penjaga kibr (kesombongan), Allah menugaskan aku untuk menolak amalan orang yang suka sombong (bermegah-megahan) dalam majelis. Allah tidak mengijinkannya melewati aku untuk mencapai langit berikutnya."
Maka para malaikat yang menghuni langit itu melaknat pemilik amalan tersebut.
Saat yang lain lagi, malaikat hafadzah membawa ke langit, amal saleh seorang hamba yang bersinar seperti bintang kejora, bergemuruh dengan penuh dengan tasbih, puasa, shalat, haji dan umrah. Ia berhasil melalui langit pertama, ke dua dan ke tiga karena pemiliknya bukan seorang yang suka ghibah, tidak mengharapkan balasan duniawiah dan juga tidak sombong.
Ketika sampai di langit ke empat, malaikat hafadzah memuji amalan yang dibawanya di hadapan para malaikat yang tinggal di sana. Tetapi malaikat penjaga pintu langit ke empat itu berkata "Berhenti!! Tamparkanlah amalan ini ke wajah pemiliknya!! Aku adalah malaikat penjaga sifat ujub. Allah menugaskan aku untuk menolak amalan orang yang disertai ujub. Allah tidak mengijinkannya melewati aku untuk mencapai langit berikutnya."
Maka para malaikat yang menghuni langit itu melaknat pemilik amalan tersebut.
Pada saat yang lain, malaikat hafadzah membawa ke langit, amal saleh seorang hamba yang sangat mulia, terdiri dari jihad, haji, umrah dan berbagai kebaikan lainnya sehingga sangat cemerlang seperti matahari. Ia berhasil melalui langit pertama hingga ke empat, karena pemiliknya bukan seorang yang suka ghibah, tidak mengharapkan balasan duniawiah, tidak sombong dan juga tidak ujub dalam beramal.
Ketika sampai di langit ke lima, malaikat hafadzah memuji amalan yang dibawanya di hadapan para malaikat yang tinggal di sana. Tetapi malaikat penjaga pintu langit ke lima itu berkata "Berhenti!! Tamparkanlah amalan ini ke wajah pemiliknya!! Aku adalah malaikat penjaga sifat hasud (iri dengki). Meskipun amalannya sangat baik, tetapi ia suka hasud kepada orang lain yang mendapatkan kenikmatan Allah. Itu artinya ia membenci Allah yang memberikan kenikmatan kepada orang yang dikehendaki-Nya. Allah tidak mengijinkannya melewati aku untuk mencapai langit berikutnya."
Maka para malaikat yang menghuni langit itu melaknat pemilik amalan tersebut.
Pada saat lainnya, malaikat hafadzah membawa ke langit, amal saleh seorang hamba yang sangat sempurna dari wudhu, shalat, puasa, haji dan umrah. Ia berhasil melalui langit pertama hingga ke lima, karena pemiliknya bukan seorang yang suka ghibah, tidak mengharapkan balasan duniawiah, tidak sombong, tidak ujub dalam beramal, dan juga tidak suka hasud pada orang lain.
Ketika sampai di langit ke enam, malaikat hafadzah memuji amalan yang dibawanya di hadapan para malaikat yang tinggal di sana. Tetapi malaikat penjaga pintu langit ke enam itu berkata, "Berhenti!! Tamparkanlah amalan ini ke wajah pemiliknya. Aku adalah malaikat penjaga sifat rahmah. Allah menugaskan aku untuk menolak amalan orang yang tidak pernah mengasihani orang lain. Bahkan jika ada orang yang ditimpa musibah, ia merasa senang. Allah tidak mengijinkannya melewati aku untuk mencapai langit berikutnya."
Maka para malaikat yang menghuni langit itu melaknat pemilik amalan tersebut.
Pada saat lain lagi, malaikat hafadzah membawa ke langit, amal saleh seorang hamba yang bersinar-sinar seperti kilat menyambar dan bergemuruh laksana guruh menggelegar, terdiri dari shalat, puasa, haji, umrah, wara’, zuhud dan berbagai amalan hati lainnya. Ia berhasil melalui langit pertama hingga ke enam, karena pemiliknya bukan seorang yang suka ghibah, tidak mengharapkan balasan duniawiah, tidak sombong, tidak ujub dalam beramal, tidak suka hasud pada orang lain, dan juga seorang yang penuh kasih sayang (rahmah) pada sesamanya.
Ketika sampai di langit ke tujuh, malaikat hafadzah memuji amalan yang dibawanya di hadapan para malaikat yang tinggal di sana. Tetapi malaikat penjaga pintu langit ke tujuh itu berkata, "Berhenti!! Tamparkanlah amalan ini ke muka pemiliknya!! Aku adalah malaikat penjaga sifat sum’ah (suka pamer). Allah menugaskan aku untuk menolak amalan orang yang suka memamerkan amalannya untuk memperoleh ketenaran, derajad dan pengaruh terhadap orang lain. Amalan seperti ini adalah riya', dan Allah tidak menerima ibadahnya orang yang riya'. Allah tidak mengijinkannya melewati aku  untuk sampai ke hadirat Allah SWT."
Maka para malaikat yang menghuni langit itu melaknat pemilik amalan tersebut.
Pada saat lainnya, malaikat hafadzah membawa ke langit, amal saleh seorang hamba berupa shalat, puasa, zakat, haji, umrah, akhlak mulia, pendiam suka berdzikir, dan beberapa lainnya yang tampak sangat sempurna. Ia berhasil melalui langit pertama hingga ke tujuh karena pemiliknya bukan seorang yang suka ghibah, tidak mengharapkan balasan duniawiah, tidak sombong, tidak ujub dalam beramal, tidak suka hasud pada orang lain, seorang yang penuh kasih sayang (rahmah) pada sesamanya, dan juga tidak suka memamerkan amalannya (sum’ah). Para malaikat dibuat terkagum-kagum sehingga mereka ikut mengiring amalan itu itu sampai di hadirat Allah SWT.
Ketika amal tersebut dipersembahkan malaikat hafadzah, Allah berfirman, "Hai malaikat hafadzah, Aku-lah yang mengetahui isi hatinya. Ia beramal bukan untuk Aku tetapi untuk selain  Aku, bukan diniatkan dan diikhlaskan untuk-Ku. Aku lebih mengetahui daripada kalian, dan Aku laknat mereka yang menipu orang lain dan menipu kalian (malaikat hafadzah, dan malaikat-malaikat lainnya yang menganggapnya sebagai amalan hebat), tetapi Aku tidak akan tertipu olehnya. Aku-lah yang mengetahui hal-hal ghaib, Aku mengetahui isi hatinya. Yang samar, tidaklah samar bagi-Ku, Yang tersembunyi, tidaklah tersembunyi bagi-Ku. Pengetahuan-Ku  atas segala yang telah terjadi, sama dengan Pengetahuan-Ku atas segala yang belum terjadi. Ilmu-Ku atas segala  yang telah lewat, sama dengan Ilmu-Ku atas segala yang akan datang. Pengetahuan-Ku atas orang-orang yang terdahulu, sama dengan Pengetahuan-Ku atas orang-orang yang kemudian. Aku yang paling mengetahui segala sesuatu yang samar dan rahasia, bagaimana bisa hamba-Ku menipu dengan amalnya. Bisa saja mereka menipu mahluk-Ku tetapi Aku Yang Mengetahui hal-hal yang ghaib….tetaplah laknat-Ku atas mereka…!!"
Tujuh malaikat di antara tiga ribu malaikat juga berkata, "Ya Allah, kalau demikian keadaannya, tetaplah laknat-Mu dan laknat kami atas mereka….!!"
Kemudian para malaikat dan seluruh penghuni langit berkata, "Ya Allah,  tetaplah laknat-Mu dan laknat orang-orang yang melaknat atas mereka…!!"
Begitulah, panjang lebar Nabi SAW menceritakan kepada Mu'adz bin Jabal, dan tanpa terasa ia menangis tersedu-sedu di boncengan unta beliau. Ia berkata di sela tangisannya, "Ya Rasulullah, bagaimana aku bisa selamat dari semua yang engkau ceritakan itu??" 
"Wahai Mu'adz, ikutilah Nabimu dalam masalah keyakinan!!" Kata Nabi SAW.
"Engkau adalah Rasulullah, sedangkan aku hanyalah Mu'adz bin Jabal. Bagaimana aku bisa selamat dan terlepas dari semua itu…" Kata Mu'adz.
"Memang begitulah,” Kata Nabi SAW, “Jika ada kelengahan dalam ibadahmu, jagalah lisanmu agar tidak sampai menjelekkan orang lain, terutama jangan menjelekkan ulama….."
Panjang lebar Nabi SAW menasehati Mu'adz bin Jabal, yang intinya adalah menjaga lisan dan hati, jangan sampai melukai dan menghancurkan pribadi orang lain. Akhirnya beliau bersabda, "Wahai Mu'adz, yang aku ceritakan tadi akan mudah bagi orang yang dimudahkan Allah. Engkau harus mencintai orang lain sebagaimana engkau menyayangi dirimu. Bencilah (larilah) dari sesuatu yang engkau membencinya (yakni, akibat buruk yang diceritakan Nabi SAW  di atas), niscaya engkau akan selamat…!"
Rasulullah SAW tahu betul bahwa Mu'adz bin Jabal sangat mengetahui hukum-hukum Islam (Fikih), yang pada dasarnya bersifat lahiriah. Dengan menceritakan kisah tersebut, beliau ingin melengkapi pengetahuan dan pemahamannya dari sisi batiniah, sehingga makin sempurna pengetahuan keislamannya. Dan tak salah kalau kemudian Nabi SAW pernah bersabda, "Mu'adz bin Jabal adalah pemimpin golongan ulama di hari kiamat….!"
Sebagaimana umumnya para sahabat Anshar, Mu’adz hampir tidak pernah terlewat dalam berbagai perjuangan dan jihad bersama Rasulullah SAW. Perang Badar, Uhud, Khandaq dan berbagai pertempuran lain diterjuninya. Ia sangat merindukan untuk bisa memperoleh kesyahidan, tetapi dengan ilmu dan pemahamannya yang begitu luas tentang keislaman, tampaknya Allah lebih memilihnya untuk tetap hidup dan berjuang dengan pengetahuannya tersebut.
Ketika Nabi SAW mengirimnya ke Yaman sebagaimana dikisahkan di atas, tepatnya pada tahun 10 hijriah, beliau juga sempat bersabda, “Wahai Mu’adz, boleh jadi engkau tidak akan bertemu lagi dengan aku sesudah tahun ini, dan boleh jadi engkau hanya akan lewat di masjidku ini, dan juga kuburanku!!”
Mu’adz menangis sejadi-jadinya. Kalau saja boleh memilih, tentulah ia ingin tetap tinggal di Madinah untuk mengisi waktu-waktu yang tersisa selalu bersama Rasulullah SAW. Tetapi tugas telah ditetapkan dan ia tidak mungkin menolak perintah beliau. Setidaknya dengan sabda beliau itu, Nabi SAW telah berpamitan kepadanya selagi ada kesempatan bertemu.
Ketika Nabi SAW wafat, Mu’adz sedang berada di Yaman untuk mengemban tugas Nabi SAW. Ia menjadi Qadhi dan pemungut zakat, sekaligus mengajarkan ilmu-ilmu keislaman kepada penduduknya, yang kebanyakan memeluk Islam pada masa-masa akhir kehidupan Rasulullah SAW. Mu’adz sendiri meninggal pada masa Khalifah Umar bin Khaththab akibat wabah penyakit thaun (kolera) yang melanda kota Amwas, antara Ramalah dan Baitul Maqdis, termasuk wilayah Syam.

Abu Said al Khudri RA, Sahabat yang Banyak Meriwayatkan Hadits Nabi SAW

Abu Said al Khudri adalah seorang sahabat Anshar, dari kalangan anak-anak. Ia dibawa ayahnya menemui Nabi SAW untuk memeluk Islam saat masih berusia sepuluh tahun. Ketika terjadi perang Uhud, Abu Said al Khudri baru berusia 13 tahun, tetapi telah ia diajak ayahnya untuk ikut bergabung dengan pasukan yang siap berangkat membela panji-panji keimanan. Sayangnya keberadaannya ini diketahui oleh Rasululllah SAW, dan beliau melarangnya mengikuti pertempuran ini. Ayahnya berdalih bahwa anaknya ini kuat, mempunyai ketrampilan bertempur dan semangat tinggi untuk berjihad, tetapi beliau tetap saja menolak karena usianya yang masih sangat muda.
Dalam Perang Uhud itu ayahnya menemui syahidnya, dan tidak meninggalkan harta yang mencukupi untuk anak-anaknya yang masih kecil. Karena itu Abu Said berniat meminta bantuan keuangan kepada Nabi SAW untuk menunjang kehidupannya. Tetapi ketika ia sampai di majelis Rasulullah SAW, ia mendengar beliau bersabda, "Barang siapa yang meminta kesabaran, maka ia akan memperoleh kesabaran. Barang siapa yang meminta kesucian, maka ia akan memperoleh kesucian. Dan barang siapa yang menginginkan kekayaan, maka Allah akan memberikan kekayaan kepadanya…"
Abu Said merenungi sabda Nabi SAW tersebut. Walaupun ia belum menyampaikan maksudnya, tetapi ia merasa sabda beliau itu ditujukan kepada dirinya, karena itu ia memutuskan untuk membatalkan keinginannya meminta bantuan keuangan. Ia kembali pulang dengan diam-diam. Sepertinya Nabi SAW, secara tidak langsung, ‘memberikan’ pilihan kepada dirinya untuk memilih duniawiah seperti keinginannya semula, atau pilihan akhirat, di mana ia harus bersabar dan menyucikan jiwanya. Dan Abu Sa’id sepertinya lebih condong untuk memilih kehidupan akhirat seperti dicontohkan Nabi SAW dan umumnya para sahabat lainnya.
Abu Said menjalani kehidupan dengan apa adanya seperti air mengalir, karena ia meyakini pada dasarnya rezeki telah dijamin Allah. Seperti kebanyakan sahabat yang hidup dalam keadaan miskin, ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk beribadah dan menghadiri majelis pengajaran Rasulullah SAW. Ketika ada pasukan yang akan dikirim untuk suatu pertempuran, maka ia akan ikut serta, karena ia sangat menginginkan bisa memperoleh kesyahidan seperti ayahnya. Tetapi tampaknya Allah mempunyai rencana yang lain untuk dirinya selain kesyahidan.
Dengan usianya yang muda, ia lebih mudah menyerap dan merekam pengajaran dan contoh perilaku Nabi SAW. Ia mengalami pergantian khalifah demi khalifah, dan pengenalannya akan Rasulullah SAW menjadikan dirinya salah satu sahabat yang menjadi sumber rujukan bagi mereka yang ingin mengenal beliau lebih dalam, khususnya bagi mereka yang belum pernah bertemu Nabi SAW. Itulah sebabnya di kemudian hari Abu Sa'id al Khudri menjadi salah satu sahabat yang banyak meriwayatkan hadits Nabi SAW. Ia meninggal di masa Daulah Umayyah, yakni pada pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan.