Sabtu, 09 Maret 2013

Abu Musa al Asy'ari RA (Abdullah bin Qais), Sahabat yang Banyak Meriwayatkan Hadits Nabi SAW

Abdullah bin Qais RA, atau lebih dikenal dengan nama kunyahnya Abu Musa al Asy'ari telah memeluk Islam ketika Nabi SAW masih berada di Makkah. Abu Musa yang berasal dari kabilah Bani Asy’ari (Kaum Asy’ariyyiin) di Yaman ini, sejak awal memang tidak menyukai kebiasaan orang-orang Arab jahiliah menyembah berhala. Karena itu, setelah mendengar adanya seseorang yang menyeru kepada agama tauhid dan mencela berhala-berhala, ia segera memacu tunggangannya mengarungi padang pasir luas menuju Makkah.
Setelah bertemu dengan Nabi SAW dan mendengar penjelasan beliau tentang Risalah Islam yang beliau bawa, tanpa keraguan sedikitpun Abu Musa berba'iat memeluk Islam. Ia tinggal beberapa waktu di Makkah untuk memperoleh pengajaran Nabi SAW, kemudian beliau menyuruhnya kembali dahulu ke daerahnya, sampai nanti Islam telah memperoleh kemapanan. Akan berbahaya baginya kalau tetap tinggal di Makkah saat itu, karena kaum kafir Quraisy tidak henti-hentinya melakukan halangan dan penyiksaan kepada mereka yang mengikuti risalah yang dibawa Rasulullah SAW.
Beberapa tahun berlalu, Abu Musa berhasil mendakwahkan Islam di kabilahnya di Yaman. Ia juga mendengar bahwa Nabi SAW dan kaum muslimin telah tinggal di Madinah dan memperoleh kemapanan di sana. Ketika ia mendengar Nabi SAW menghimpun pasukan untuk menyerang Khaibar, bersama limapuluh orang lebih, termasuk  dua saudara kandungnya, Abu Ruhum dan Abu Burdah, ia memutuskan berhijrah ke Madinah. Ia berharap bisa bergabung dan berjihad bersama beliau dalam peperangan tersebut.
Abu Musa dan kaum muslimin yang bersamanya, memutuskan melalui jalur lautan dengan perahu karena dianggapnya lebih cepat daripada harus mengarungi padang pasir. Tetapi perahu mereka terdampar di Habasyah karena mengalami kerusakan. Ja'far bin Abu Thalib yang masih tinggal di sana menjumpai rombongan tersebut di pesisir, ia berkata kepada Abu Musa, "Sesungguhnya Rasulullah SAW memerintahkan kami tinggal di sini, maka menetaplah bersama kami di sini!"
Tidak ada pilihan lain bagi Abu Musa kecuali memenuhi tawaran Ja'far, sambil memperbaiki perahu mereka. Tetapi belum lama tinggal di sana, datang utusan Rasulullah SAW yang memerintahkan mereka agar segera berhijrah ke Madinah. Dua rombongan inipun kembali berperahu menyeberangi Laut Merah, kemudian menyeberang padang pasir menyusul Rasulullah SAW yang masih berada di Khaibar. Mereka berharap masih bisa ikut berjihad melawan kaum Yahudi di sana, tetapi ternyata mereka bertemu Nabi SAW ketika pasukan muslim telah menaklukan Khaibar. Beliau menyambut gembira dua rombongan muhajirin ini dan memberikan bagian ghanimah perang Khaibar kepada mereka.
Nabi SAW menggelari kelompok Abu Musa sebagai kaum Asy'ari atau Asy'ariyyin, dan menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang paling lembut hatinya. Beliau memberi gambaran tentang mereka, "Kaum Asy'ariyyin ini, bila mereka ditimpa kekurangan makanan dalam pertempuran atau dilanda paceklik, mereka mengumpulkan semua makanan yang tersisa pada selembar kain, lalu mereka membagi rata. Mereka ini termasuk golonganku, dan aku termasuk golongan mereka…!!"
Suatu ketika Umar bin Khaththab mendatangi rumah putrinya yang juga istri Rasulullah SAW, Hafshah. Di sana ia bertemu dengan Asma binti Umais, yang ikut berhijrah ke Habasyah. Ia menanyakan kepada Hafshah siapa tamunya tersebut. Setelah dijelaskan sebagai Asma binti Umais, Umar berkata, "Apakah yang berhijrah ke Habasyah dan berlayar di lautan itu?"
Asma mengiyakan. Umar berkata lagi, "Kami telah mendahului kalian dalam berhijrah (ke Madinah), sehingga kami lebih berhak kepada Rasulullah SAW daripada kalian."
Asma binti Umais tidak terima dengan pernyataan Umar dan membantahnya. Ia juga berkata kepada Umar  bahwa akan mengadukan perkara ini kepada Nabi SAW. Tak lama setelah Umar pulang, Nabi SAW datang. Asma  menceritakan perbedaan pendapat antara dirinya dan Umar dengan lengkap dan terperinci. Beliau bersabda, "Umar tidak lebih berhak kepadaku daripada kalian, karena ia dan sahabat-sahabatnya hanya berhijrah sekali, sementara kalian turut serta dalam rombongan perahu dan berhijrah dua kali."
Ketika mendengar peristiwa Asma dan Umar tersebut, Abu Musa dan kaum Asy'ariyyin lainnya segera mendatangi Asma, dan memintanya menceritakan lagi berulang-ulang. Mereka ikut merasa bangga karena mereka bersama-sama dalam satu kapal dengan para sahabat yang berhijrah dari Habasyah.
Abu Musa al Asy'ary merupakan tipikal sahabat yang lengkap. Seorang yang saleh dan alim, rajin beribadah dan menuntut ilmu ketika sedang mukim (tidak sedang berjihad), dan seorang prajurit yang perkasa, cerdik dan arif  ketika sedang terjun dalam berbagai pertempuran, tanpa kehilangan keikhlasannya.
Allah memberikan karunia suara yang luar biasa kepada Abu Musa al Asy'ary. Kalau ia membaca Al Qur'an, suaranya akan mendayu menggetarkan hati. Para sahabat enggan meninggalkan masjid kalau ia sedang melantunkan kalam Ilahi, seakan ada magnit yang menahan mereka untuk mendengarkan bacaannya sampai selesai. Nabi SAW pernah bersabda tentang suaranya ini, "Sungguh, Abu Musa telah diberi Allah seruling dari seruling-seruling keluarga Daud…!!"
Nabi Daud AS memang seorang nabi yang dikaruniai Allah SWT suara yang luar biasa indahnya. Ketika beliau sedang mengaji (melantunkan bacaan) Zabur atau sedang berdzikir, pastilah burung-burung, gunung-gunung, dan berbagai binatang lainnya mendengarkan dan ikut serta bertasbih kepada Allah, mengiringi alunan suara beliau.
Ketika menjabat khalifah, Umar bin Khaththab seringkali memanggil Abu Musa dan berkata, "Bangkitkanlah kerinduan kami kepada Tuhan kami, wahai Abu Musa….!!"
Dari seorang hamba yang sedang khusyu' beribadah, bahkan terkadang ia menangis dalam tawajuh-tawajuhnya, tiba-tiba Abu Musa berubah menjadi prajurit tangguh di garis depan, ketika ia terjun dalam pertempuran. Sejak bergabung dengan Nabi SAW di Madinah, ia hampir selalu mengikuti berbagai pertempuran untuk menegakkan panji-panji Islam, baik bersama atau tanpa Rasulullah SAW. Sebagai gambaran bagaimana semangatnya dalam terjun di medan jihad ini, ia berkata, "Kami pernah mengikuti suatu pertempuran bersama Rasulullah SAW hingga terompah (sepatu) kami pecah dan berlobang, begitu juga dengan sepatuku, sehingga kuku jariku habis terkelupas. Terpaksa kami harus membalut telapak kaki-kaki kami dengan sobekan kain…!!"
Peristiwa yang dimaksudkan Abu Musa itu adalah perang Dzatur Riqa, yang terjadi pada tahun 7 hijriah. Bisa dibayangkan bagaimana penderitaan yang dirasakan para sahabat tersebut, apalagi dalam perjalanan di padang pasir yang panas menyengat. Mengenai kegigihan Abu Musa di medan jihad ini, Nabi SAW bersabda, "Pemimpin dari orang-orang yang berkuda (dalam pertempuran) adalah Abu Musa….!!"
Di masa khalifah Umar, Abu Musa diangkat sebagai pemimpin dari pasukan untuk membebaskan Isfahan dari belenggu tirani Persia. Setelah bertempur beberapa waktu lamanya dan pasukan Persia hampir kalah, mereka minta berdamai dan berjanji untuk membayar upeti, tetapi mereka meminta tempo waktu untuk mengumpulkan hartanya. Abu Musa memenuhi permintaan tersebut, namun demikian ia memerintahkan pasukannya untuk tetap siaga dan tidak menurunkan kewaspadaan. Ia mencium siasat busuk dalam permintaan damai pasukan Persia ini. Benarlah apa yang diperkirakan Abu Musa, pada waktu yang tidak terduga, pasukan Persia melakukan penyerangan mendadak terhadap pasukan muslim. Disangkanya pasukan muslim sedang terlena dan tidak bersiaga, tetapi mereka salah besar, dan akhirnya dengan mudah pasukan Persia dikalahkan, jatuhlah Isfahan ke pelukan Islam.
Di masa Khalifah Umar juga, Abu Musa ikut terjun dalam pasukan besar untuk menyerang Tustar, benteng terakhir imperium Persia. Setelah makin banyak wilayah Persia yang jatuh atau bergabung dengan Islam, seluruh pasukan Persia ditarik mundur ke kota Tustar. Kota yang dikelilingi dengan benteng ini dipertahankan habis-habisan oleh pasukan Persia yang dipimpin oleh Hurmuzan.
Pasukan muslim mengepung kota tersebut selama berhari-hari, tetapi tidak mudah untuk menerobos dan melumpuhkannya.  Ketika banyak cara yang dicoba untuk menerobos benteng Persia mengalami kegagalan, Abu Musa menyusun suatu siasat. Ia mengirim beberapa prajurit perintis yang menyamar sebagai pedagang, dan beberapa prajurit lainnya lagi sebagai pengembala. Dengan membawa duaratus ekor kuda dan beberapa domba, mereka mulai berjalan  dari tempat yang cukup jauh dari batas kota Tustar. Sementara itu pasukan induk bersembunyi di sekitar pintu gerbang benteng. Ketika sekelompok "pedagang dan penggembala" ini tiba di pintu gerbang, pasukan Persia membukakan pintu untuk mereka. Tetapi sebelum sempat mereka menutup kembali, pasukan perintis yang menyamar ini melakukan penyerangan, diikuti kemudian oleh pasukan induk yang menerobos pintu gerbang Kota Tustar. Terjadi pertempuran dahsyat antara kedua pasukan, sampai akhirnya pasukan Persia menyerah kalah.
Ketika terjadi pertentangan antara Khalifah Ali dan Muawiyah, yang kemudian berakhir dengan perang Shiffin, Abu Musa memilih untuk tidak terlibat dalam kedua belah pihak, sebagaimana sikap beberapa orang sahabat. Ia melihat, penolakan Muawiyah atas kekhalifahan Ali telah berkembang menjadi pertentangan antara dua wilayah Islam, penduduk Syam yang mendukung Muawiyah dan penduduk Irak yang mendukung Ali bin Abi Thalib. Memang, sejak diangkat menjadi khalifah, Ali memindahkan ibukota Islam dari Madinah ke Kufah di Irak.
Perang Shiffin berakhir dengan peristiwa Tahkim (lihat peristiwanya dalam kisah "Amr bin Ash RA"), Muawiyah mengirimkan Amr bin Ash sebagai wakilnya, dan Ali mengirimkan Abu Musa al Asy'ari untuk melakukan perundingan. Sebenarnya Ali ingin mengirimkan Abdullah bin Abbas sebagai wakilnya dalam perundingan, karena ia sangat mengenal tipikal Muawiyah dan Amr bin Ash yang suka sekali bersiasat, sementara Abu Musa adalah tipikal sahabat saleh yang tulus ikhlas dan tidak pernah berprasangka buruk kepada sesama muslim. Tetapi karena mayoritas pendukungnya memilih Abu Musa dalam tahkim tersebut, Ali menerimanya, walaupun ia bisa menduga kesudahannya.
Pada dasarnya Abu Musa mengetahui bahwa Ali berada di pihak yang benar, tetapi perkembangan situasi  mengarah pada perpecahan umat, karena itu ia menginginkan agar umat Islam kembali bersatu dan meninggalkan pertentangan antara Ali dan Muawiyah. Biarlah mereka memilih kembali pemimpinnya secara demokratis. Tetapi sebaliknya dengan Amr bin Ash, ia hanya punya tujuan agar Muawiyah tetap menjadi khalifah.
Dengan kelicinan siasatnya, Amr berhasil "memanfaatkan" kesalehan dan ketulusan Abu Musa untuk mencapai tujuannya tersebut. Wakil dari dua kubu tersebut, Abu Musa dan Amr bin Ash bersepakat bahwa Ali dan Muawiyah harus melepaskan jabatan masing-masing, setelah itu melakukan ‘pemilihan langsung’, siapakah khalifah yang dikehendaki oleh mayoritas. Amr bin Ash meminta Abu Musa untuk terlebih dahulu ‘melucuti’ jabatan Ali, baru dirinya ‘melucuti’ jabatan Muawiyah. Tetapi ternyata, setelah Abu Musa melakukannya, Amr bin Ash bukannya melucuti, bahkan menetapkan dan mengukuhkan Muawiyah sebagai khalifah kaum muslimin. Tentu saja Abu Musa tidak berkutik, dan tidak mungkin baginya ‘menjilat kembali’ perkataannya kepada kaum muslimin, walau dicurangi seperti itu.
Ia hanya bisa mendebat Amr bin Ash, tetapi tidak mungkin membalikkan keadaan. Inilah petikan apa yang dikatakan Abu Musa dalam peristiwa tahkim tersebut. Ketika Amr bin Ash berkata bahwa Muawiyah berhak atas kekhalifahan karena ia orang yang mulia, dan pewaris serta penuntut balas yang tepat atas terbunuhnya Khalifah Utsman, Abu Musa berkata, "Mengenai kemuliaan Muawiyah, kalau kekhalifahan bisa diperoleh karena kemuliaan, maka yang paling berhak adalah Abrahah bin Shabah, karena ia keturunan dari Raja-raja Yaman Attababiah, yang menguasai bagian barat dan timur dari bumi ini. Dan, apalah artinya kemuliaan Muawiyah dibandingkan dengan Ali bin Abi Thalib…Dan, mengenai Muawiyah sebagai wali Utsman, tentulah lebih utama puteranya sendiri, Amr bin Utsman…!!"
Abu Musa terus melakukan bantahan dan kata-kata sengit, yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan untuk diucapkannya, atau oleh kaum Asy'ariyyin lainnya yang berhati lembut, kepada Amr bin Ash. Setelah itu ia meninggalkan  tempat tersebut dan mengasingkan diri ke Makkah. Ia tinggal di dekat Masjidil Haram dan menghabiskan sisa usianya dengan ibadah demi ibadah hingga maut menjemputnya, masih di masa pemerintahan Muawiyah ini.
Di saat-saat terakhir kehidupannya, ia berpesan, “Jika aku telah meninggal, janganlah ada tangisan yang mengiringiku, dan dalamkanlah ruang kuburku!!”

Abdullah bin Abbas RA, Sahabat yang Banyak Meriwayatkan Hadits Nabi SAW, Kyai (Habar)-nya Ummat (Muhammad) ini

            Abdullah bin Abbas masih sepupu Nabi SAW sendiri walaupun usianya jauh berbeda, ia adalah putra dari Abbas bin Abdul Muthalib. Sejak masih dalam dari kandungan ibunya, Ummu Fadhl, Rasulullah SAW telah ‘meramalkan’ akan keutamaan dirinya. Suatu ketika di tahun 9 atau 10 dari kenabian, Ummu Fadhl yang telah memeluk Islam tetapi menyembunyikan keislamannya, datang menemui Nabi SAW. Tiba-tiba beliau bersabda kepadanya, “Sesungguhnya engkau sedang mengandung, jika engkau telah melahirkan, datanglah kepadaku dengan membawa anak itu!!”
            Beberapa bulan kemudian Ummu Fadhl melahirkan seorang anak lelaki, dan ia membawa putranya tersebut kepada Nabi SAW. Maka beliau melantunkan adzan di telinga kanan bayi tersebut, dan iqamah di telinga kirinya. Kemudian Rasulullah SAW meneteskan keringat beliau ke mulut sang bayi dan bersabda kepada Ummu Fadhl, “Namakanlah anak ini Abdullah, sekarang pulanglah engkau bersama bapaknya para khalifah!!”
            Walau keheranan dengan perkataan Nabi SAW, tetapi Ummu Fadhl pulang tanpa bertanya apa maksud ucapan beliau itu. Sampai di rumah, ia menceritakan peristiwa yang dialaminya bersama Rasulullah SAW kepada suaminya, maka Abbas segera berpakaian dan berangkat ke tempat kediaman Rasulullah SAW, ia berkata, “Wahai Muhammad, apa yang engkau katakan (kepada istriku) itu??”
            Nabi SAW bersabda, “Seperti yang diceritakan istrimu itu, dia adalah bapak dari para khalifah. Di antara mereka ada yang disebut As Saffah, Al Mahdi, dan ada pula yang akan menjadi imam shalat dari Isa bin Maryam!!”
            Di kemudian hari, anak-anak keturunan Ibnu Abbas ini memang memegang jabatan kekhalifahan dalam kurun waktu cukup, yang kemudian dinisbahkan kepada nama ayahnya, Abbas, yakni Daulah Abbasiah.
Abdullah bin Abbas hidup dan bergaul bersama Rasulullah SAW ketika masih anak-anak. Ia berhijrah ke Madinah pada tahun 5 hijriah ketika berusia 8 tahun. Ia berangkat bersama kakaknya, Fadhl bin Abbas dan seorang budaknya, Abu Rafi. Mereka sempat tersesat di Rakubah sebelum akhirnya sampai di kediaman Bani Amr bin Auf dan masuk ke Madinah.
Suatu ketika Nabi SAW menariknya mendekat, menepuk-nepuk bahunya dan berdoa untuknya, "Ya Allah, berilah ia ilmu agama yang mendalam, ajarkanlah kepadanya ta'wil (yakni, ilmu tentang tafsir Al Qur’an) ." (Allahumma, faqqihuu fiddiin, wa 'allimuu fit ta'wiil).
Doa ini diulangi beberapa kali oleh Nabi SAW ketika bertemu Ibnu Abbas, dalam beberapa kesempatan yang berbeda. Tentu saja doa beliau ini dikabulkan Allah, dan ia benar-benar menjadi orang yang sangat mendalam ilmu-ilmu agama (Keislaman) dan menjadi ahli tafsir Al Qur'an, dalam usianya yang masih sangat muda.
Abdullah bin Abbas memang selalu menghadiri majelis pengajaran Nabi SAW, dan menghafalkan apa yang beliau sampaikan. Ketika berusia 10 tahun, yakni setelah bergaul dengan Rasulullah SAW selama dua tahun, ia telah mampu menghafal Al Qur'an hingga manzil (yang diturunkan) terakhir. Ketika Rasulullah wafat, ia berusia 13 tahun dan saat itu ia telah menjadi seorang ahli tafsir Al Qur'an yang diakui oleh para sahabat lainnya. Namun demikian ia tidak berhenti menggali dan mencari ilmu dari para sahabat-sahabat Nabi SAW yang terdahulu. Ia tidak segan memacu tunggangannya mengarungi padang pasir menemui seorang sahabat, yang tidak terkenal sekalipun, bila didengarnya ia pernah memperoleh pengajaran (atau suatu hadits) langsung dari Nabi SAW. Sungguh, kehausannya akan ilmu agama, apalagi yang bersangkutan dengan al Qur’an dan hadits Nabi SAW seakan tak pernah terpuaskan.
Tidak jarang untuk satu masalah yang baru diketahuinya setelah Nabi SAW wafat, Ibnu Abbas bertanya pada beberapa orang sahabat yang berbeda, walau jawaban mereka lebih kurang sama. Bahkan ia pernah berkata, “Sesungguhnya aku pernah menanyakan satu masalah kepada tiga puluh orang sahabat yang mendengar langsung dari Rasulullah SAW!!”
Ketika Umar bin Khaththab menjadi khalifah, ia selalu membawa serta pemuda belasan tahun itu (yakni Abdullah bin Abbas) dalam majelis permusyawaratan yang dihadiri oleh para sahabat Muhajirin dan Anshar yang mengikuti Perang Badar (Ahlul Badar). Tidak jarang dalam suatu masalah yang sangat pelik, Umar meminta pendapatnya dan memakai pemikirannya sebagai jalan keluar.
Suatu ketika Ibnu Abbas melihat Nabi SAW sedang shalat sunnah, segera saja ia berdiri di belakang beliau dan mengikuti beliau shalat. Melihat atau merasakan kehadirannya, beliau menarik tangannya hingga berdiri sejajar, kemudian meneruskan shalatnya. Tetapi Abdullah bin Abbas mundur selangkah sambil tetap meneruskan shalat. Setelah selesai shalat, Nabi SAW menanyakan kenapa ia mundur lagi ke belakang, Ibnu Abbas berkata, "Wahai Rasulullah, engkau adalah pesuruh Allah, bagaimana mungkin saya dapat berdiri sejajar denganmu."
Rasulullah SAW tersenyum, dan kembali mendoakannya seperti sebelumnya, yakni : Allahumma faqqihuu fiddiin, wa 'allimuu fit ta'wiil.
Dengan berbagai semangatnya dalam menggali dan mengamalkan Al Qur’an, serta ajaran Islam lainnya tersebut, tidak heran kalah Nabi SAW pernah bersabda, “Sesungguhnya dia (Ibnu Abbas) adalah Kyai (Habar)-nya umat ini!!”
            Seusai perang Hunain, Nabi SAW menyatakan bahwa sepeninggal beliau kelak, orang-orang Anshar akan mengalami perlakuan pilih kasih dari pihak yang berkuasa, hal ini terekam kuat dalam ingatannya walau saat itu ia masih kecil. Hal itu memunculkan tekad dalam hatinya untuk membela orang-orang Anshar jika saat itu tiba.
Pada masa khalifah Umar atau Utsman (perawi Abu Zinad ragu antara Umar atau Utsman, tetapi kemungkinan besar adalah masa Utsman, karena Umar terkenal sangat adil dan berhati-hati dalam memperlakukan umat Islam), sekelompok sahabat, di antaranya Hasan bin Tsabit al Anshari dan Abdullah bin Abbas, mewakili orang-orang Anshar meminta kepada khalifah agar memenuhi hajat kebutuhan mereka. Beberapa sahabat berdiri mengutarakan keutamaan orang-orang Anshar dan jasa-jasa mereka saat bersama Nabi SAW, dengan harapan khalifah bisa memenuhinya.
Kebutuhan orang-orang Anshar yang diperjuangkan saat itu memang nilainya cukup besar, sehingga khalifah tidak bersedia memberikannya dengan berbagai argumen dan alasan. Beberapa orang sahabat akhirnya menerima alasan khalifah, termasuk sebagian sahabat Anshar, karena memang masuk akal. Tetapi ternyata Ibnu Abbas tidak mau menyerah begitu saja, selalu terngiang-ngiang “ramalan” Rasulullah SAW tentang ketidak-adilan yang akan dialami kaum Anshar. Ia akan merasa sangat bersalah jika ia melihat sisi ketidak-adilan tersebut muncul, dan ia tidak berbuat apa-apa untuk melawannya.
Tiba-tiba Ibnu Abbas berdiri dan dengan tegas ia mendebat semua argumentasi khalifah. Doa Nabi SAW,  "Allahumma faqqihuu fid diin wa 'allimuu fit ta'wiil" benar-benar mewujud dalam dirinya. Semua argumen dan alasan itu dapat dipatahkannya sehingga mau tidak mau khalifah memenuhi kebutuhan para sahabat Anshar tersebut. Ini bukan sikap menang-menangan, tetapi bagaimana mendudukkan masalah sehingga khalifah terhindar dari sikap pilih kasih, dan tetap berdiri di atas keadilan. Dan khalifah sendiri akhirnya menyadari, bukannya marah tetapi justru ia berterima kasih atas nasehat yang diberikan Abdullah bin Abbas.
Hassan bin Tsabit, yang digelari sebagai ‘Penyair dan Pembela Rasulullah SAW’, berkata kepada para sahabat yang bersama-sama menghadap khalifah, "Demi Allah! Sesungguhnya ia (Ibnu Abbas RA) adalah yang paling utama di antara kalian, karena ia adalah sisa kenabian dan pewaris Ahmad SAW. Kesamaan ras dan kemiripan wataknya memberi petunjuk kepadanya."
Begitu juga yang terjadi dengan sahabat Abu Ayyub al Anshari. Sahabat Anshar ini menyediakan rumahnya untuk ditempati Nabi SAW ketika beliau pertama kali tiba di Madinah. Selama berbulan-bulan beliau tinggal di rumahnya sampai kaum muslimin selesai membangun Masjid Nabawi, dan rumah tinggal beliau di serambi masjid tersebut. Pada masa khalifah Muawiyah, ia mengalami masalah keuangan dan terlilit hutang. Ketika menghadap khalifah dan menyampaikan permasalahannya, ia tidak memperoleh apapun kecuali “nasehat” untuk bersabar, sebagaimana diramalkan Rasulullah SAW. Akhirnya ia berkunjung kepada Abdullah bin Abbas di Bashrah.
Ibnu Abbas menyambut kehadiran Abu Ayyub al Anshari dengan hangat. Ia membiarkan rumahnya ditempati Abu Ayyub dan semua kebutuhannya dipenuhi sehingga bisa menyelesaikan masalah hutangnya, bahkan masih banyak kelebihannya. Ibnu Abbas berkata kepada Abu Ayyub, "Aku akan berbuat baik kepadamu sebagaimana engkau telah berbuat baik kepada Rasulullah SAW. Aku dan keluargaku pindah dari rumah ini agar engkau bisa menempatinya, sebagaimana engkau dan keluargamu telah mengosongkan rumahmu untuk bisa ditinggali oleh Rasulullah SAW."
Pada masa tuanya, Ibnu Abbas menjadi buta. Suatu ketika ia masuk ke Masjidil Haram dengan dituntun oleh Wahab bin Munabbih. Ketika didengarnya beberapa orang bertengkar dengan suara keras, ia meminta Wahab membawanya ke sana. Ia memberi salam dan meminta ijin duduk. Setelah duduk, ia berkata, "Apakah kamu tidak mengetahui hamba-hamba Allah yang sebenarnya? Mereka adalah manusia yang tidak ingin berkata-kata karena takut kepada Allah, padahal ia tidak bisu bahkan sangat fasih tutur bahasanya. Mereka bersikap seperti itu karena selalu sibuk memuji Allah dan mereka tidak dapat berkata yang sia-sia. Pada tingkat keimanan yang seperti itu, mereka selalu bersegera berbuat kebaikan, mengapa kalian menyimpang dari jalan itu?"
Mereka yang sedang bertengkar atau berdebat tersebut menjadi reda emosinya, dan meminta nasehat lebih banyak kepada Abdullah bin Abbas.
Abdullah bin Abbas sempat mengalami masa-masa fitnah, ketika terjadi pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan. Sebenarnya ia lebih suka kalau terjadi perdamaian daripada peperangan antara dua kelompok kaum muslimin tersebut. Tetapi tidak bisa tidak, pertentangan dan pertempuran terjadi juga, maka Ibnu Abbas bediri di pihak Ali. Ketika akhirnya Ali ‘dikalahkan’ secara curang dalam peristiwa tahkim, Ibnu Abbas memilih untuk pergi ke Makkah dan tinggal di sana beberapa waktu lamanya, tidak lagi melibatkan diri dalam pertentangan antara dua kubu kaum muslimin saat itu.
Ketika Husein bin Ali, cucu Rasulullah SAW dan keluarganya berniat berangkat ke Kufah, beberapa orang sahabat mencegahnya, termasuk Abdullah bin Abbas. Kufah adalah tempat para pendukung Ali bin Abi Thalib, dan penduduknya meminta Husein datang dan tinggal di sana. Ibnu Abbas, dengan pandangan hatinya yang tajam berkata kepada Husein, “Janganlah engkau lakukan itu!! Sesungguhnya aku mempunyai firasat bahwa engkau akan dibunuh di tengah-tengah istri dan anak-anak perempuanmu, sebagaimana Utsman (bin Affan) dibunuh!!”
Tetapi mungkin sudah menjadi jalannya takdir Allah, Husein berkeras untuk berangkat. Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Jabir bin Abdullah dan beberapa sahabat lainnya mengiringi kepergiannya dengan uraian air mata. Ketika mereka telah sampai di wilayah Irak, tetapi belum sampai di Kufah, tepatnya di padang Karbala, mereka dicegat oleh pasukan yang dikirim oleh Ubaidillah bin Ziyad atas perintah sang khalifah, Yazid bin Muawiyah. Dan sungguh biadab, empat ribu pasukan itu menyerang dan membantai rombongan Husein bin Ali yang hanya berjumlah delapan puluhan orang, yang sebagiannya adalah wanita dan anak-anak. Peristiwa mengenaskan yang tepat seperti ‘dilihat’ Abdullah bin Abbas itu terjadi pada hari Asyura, tanggal 10 Muharam.
Sebagian riwayat menyebutkan, Abdullah bin Abbas memilih untuk menghabiskan masa hidupnya di Thaif, dan bukannya di Tanah Haram Makkah, walaupun sebenarnya ibadah atau kebaikan yang dilakukan di sana dilipat-gandakan sebanyak seratus ribu kali. Tetapi yang menjadi alasannya untuk tidak tinggal di Makkah, adalah sikap hati-hati dan rasa takutnya (khauf) kepada Allah SWT. Dalam pemikiran dan penafsiran Ibnu Abbas, orang-orang yang baru tersirat dan berniat saja untuk berbuat keburukan dan berada di Tanah Haram (Makkah dan Madinah), ia sudah jatuh dalam keburukan dan berdosa, bahkan bisa jadi dosanya sudah berganda sesuatu tingkat kekuatan niatnya. Padahal kalau di tanah halal, yakni di luar Makkah dan Madinah, niat saja belum jatuh dalam keburukan dan berdosa, jika ia belum merealisasikan niatnya tersebut. Bahkan bisa jadi ia memperoleh pahala jika ia membatalkan niatnya tersebut.
Sungguh suatu sikap hati-hati (wara’) dan takut kepada Allah SWT (khauf) yang tiada taranya. Padahal seorang sahabat “selevel” Ibnu Abbas, yang telah didoakan kebaikan oleh Nabi SAW, apa masih mungkin tersirat suatu niat untuk berbuat keburukan?? Tetapi itulah memang ciri khas para sahabat Nabi SAW, walaupun kebaikan dan jaminan keselamatan dari Nabi SAW telah mereka terima dari sabda-sabda beliau, tetapi mereka masih merasa 'tidak aman' dengan Makar Allah, sungguh suatu sikap tawadhu' yang patut diteladani.
            Beberapa waktu lamanya setelah tinggal di Thaif, kematian menjemputnya pada usianya yang ke 71 tahun. Saat itu kekhalifahan Islam terpecah menjadi dua, satu berada di tangan Abdullah bin Zubair yang berkedudukan di Makkah atas ba’iat para sahabat utama Nabi SAW yang masih hidup. Sedangkan di Syam, kekhalifahan Bani Umayyah dipegang oleh Abdul Malik bin Marwan.