Selasa, 29 Oktober 2013

Abdullah bin Amr bin Haram al Anshary RA, Sahabat yang Syahid di Perang Uhud

Abdullah bin Amr bin Haram atau dikenal dengan nama Abu Jabir, adalah sahabat Anshar yang juga pemuka dari bani Salimah, termasuk suku Khazraj. Ia adalah ayah dari sahabat yang banyak meriwayatkan hadits Nabi SAW, Jabir bin Abdullah. Ibnu Amr bin Haram ini termasuk sahabat Anshar yang mula-mula memeluk Islam, yakni ketika terjadinya Ba'iatul Aqabah kedua, yang dalam peristiwa tersebut, ia ditunjuk sebagai salah satu dari duabelas pemimpin kaum Anshar Madinah. Ia juga termasuk dari Ahlu Badar, sahabat yang mengikuti perang Badar dan mendapat pujian Allah dalam Al Qur'an dan jaminan masuk surga.
Ketika akan berangkat ke perang Uhud, seakan-akan telah mendapat firasat menemui syahid, ia berkata kepada anaknya, Jabir bin Abdullah, "Wahai anakku, sungguh tidak kulihat diriku kecuali aku akan menemui ajal dalam pertempuran ini. Aku tidak rela ada seseorang yang mencintai Rasulullah SAW, yang cintanya lebih besar daripada cintamu kepada beliau, anakku!! Selain itu, aku mempunyai hutang, maka lunasilah hutang-hutang tersebut. Dan aku wasiatkan agar engkau menjaga saudaramu sebaik-baiknya…..!!"
Dalam perang Uhud, Nabi SAW menempatkan limapuluh orang pemanah ulung di atas bukit, yang menjadi titik pertahanan pasukan muslimin dari serangan pasukan kaum kafir Quraisy. Abu Jabir termasuk dalam pasukan pemanah yang dipimpin oleh Abdullah bin Jubair ini. Nabi SAW berpesan agar mereka tetap tinggal di bukit itu, baik dalam keadaan menang atau kalah. Apapun keadaannya mereka harus tetap berahan di atas bukit itu, kecuali jika beliau sendiri yang memerintahkan mereka untuk turun.
Pertempuran berlangsung beberapa lama, dan pasukan Quraisy dapat dipukul mundur. Mereka berlari meninggalkan gelanggang sekaligus meninggalkan barang-barangnya terserak di medan pertempuran Uhud. Bagaimanapun nyawa lebih penting daripada barang-barang berharga yang dibawanya dalam pertempuran. Para pemanah di atas bukit tampaknya tergiur dengan barang-barang orang Quraisy, dan mereka turun bukit untuk mengambilnya. Abdullah bin Jubair berteriak mengingatkan pesan Nabi SAW, tetapi mereka mengabaikannya, tinggallah hanya sekitar sepuluh orang, termasuk Abu Jabir yang bertahan di atas bukit.
Sekelompok pasukan berkuda Quraisy di bawah pimpinan Khalid bin Walid, yang sebenarnya telah cukup jauh meninggalkan Uhud melihat keadaan itu. Ia menyadari, kekalahan pasukannya yang lebih besar dan lebih banyak jumlahnya tidak terlepas dari peran para pemanah di atas bukit tersebut. Dengan berkurangnya kekuatan pertahanan di bukit tersebut, Khalid bin Walid yakin bahwa ia bisa membalikkan keadaan. Maka ia memerintahkan pasukannya bergerak menaiki bukit tersebut.
Ibnu Jubair, Abu Jabir dan sekitar delapan kawannya menghujani mereka dengan panah untuk menghadang gerakannya, tetapi itu tidak banyak berarti karena panah yang mereka lontarkan tak ubahnya gerimis saja. Dalam sekejab mereka berhadapan dan terjadilah pertempuran tidak seimbang, mereka berjuang mati-matian menghambat laju Khalid dengan tombak dan pedangnya, tetapi akhirnya mereka semua tewas mengenaskan dengan luka-luka yang sangat parah, termasuk Abu Jabir.
Pasukan Khalid bin Walid turun dari bukit dan menyerang pasukan muslim sehingga mereka porak poranda. Melihat manuver Ibnu Walid tersebut, pasukan Quraisy lainnya segera kembali ke arena pertempuran dan menyerbu dengan gencarnya sehingga keadaan berbalik jadi kekalahan bagi pasukan muslimin, bahkan keadaan Rasulullah SAW sangat kritis, beliau terluka parah dan terjatuh ke dalam suatu lubang.
Usai perang Uhud, ketika Nabi SAW dan para sahabat memeriksa jenazah para syahid, mereka mendapati wajah Abu Jabir seperti disayat-sayat. Memang, dalam pertempuran Uhud ini kaum kafir Quraisy seakan melampiaskan dendam kekalahannya di perang Badar, salah satunya dengan cara merusak jenazah para syahid, seperti yang juga terjadi pada jenazah Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Nabi SAW.
Jabir bin Abdullah, saudara-saudaranya, dan beberapa kaum muslimin lainnya mendatangi Uhud setelah pasukan Quraisy meninggalkan arena pertempuran. Ia menangisi jasad ayahnya karena keadaannya yang sangat mengenaskan. Bahkan Fathimah, putri Nabi SAW sempat menjerit melihat keadaan wajah Abu Jabir. Melihat reaksi mereka ini, Nabi SAW bersabda, "Janganlah kalian menangis, sesungguhnya para malaikat terus menerus menaunginya dengan sayap-sayap mereka…!"
Beberapa hari berselang setelah perang Uhud tersebut, Jabir bin Abdullah mendatangi Nabi SAW dan mengatakan bahwa ayahnya yang telah syahid tersebut meninggalkan hutang, dan juga banyak tanggungan keluarga. Ia menyangka ayahnya akan terhalang memperoleh pahala karena tanggungan yang ditinggalkannya tersebut, sebagaimana pernah disabdakan beliau. Tetapi Nabi SAW dengan tersenyum bersabda kepadanya, "Maukah aku beritahukan kabar gembira tentang apa yang dijumpai ayahmu di sisi Allah."
"Tentu, ya Rasulullah, " Kata Jabir.
Kemudian Nabi SAW menceritakan bahwa Allah SWT menjadikan Abu Jabir hidup lagi dan mengajaknya berbicara langsung, padahal tidak ada seorangpun yang diajak berbicara oleh Allah melainkan dari balik tabir. Allah berfirman kepadanya, "Wahai hamba-Ku, apa yang engkau inginkan!!"
"Ya Allah," Kata Abu Jabir, "Kembalikanlah aku ke bumi agar aku dapat berjuang dan sekali lagi gugur syahid di jalan-Mu…!!"
Allah berfirman kepadanya, "Telah tetap ketentuan-Ku, bahwa siapapun yang telah mati, tidak akan dikembalikan lagi ke bumi…!!"
"Kalau memang demikian, Ya Allah, sampaikanlah keadaanku ini kepada orang-orang di belakangku," Kata Abu Jabir.
Maka turunlah Surah Ali Imran ayat 169-170 sebagai realisasi permintaan Abdullah bin Amr ini. Yakni Allah berfirman, “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
Sebagian riwayat lain menyebutkan, asbabun nuzul ayat tersebut adalah kesedihan sebagian besar sahabat karena syahidnya para sanak saudara mereka dalam Perang Uhud, dan tubuhnya dirusak oleh orang-orang kafir Quraisy. Seolah-olah Allah memberikan hiburan kepada para sahabat yang masih hidup, sekaligus memberi motivasi dan semangat untuk terus berjihad di jalan Allah.
Abu Jabir dimakamkan dalam satu lubang dengan sahabatnya yang juga syahid di Perang Uhud, yakni Amr bin Jamuh. Nabi SAW menyatakan bahwa dua orang itu bersahabat dan saling sayang menyayangi selagi hidup di dunia, sehingga sudah sepantasnya jika mereka tetap bersama dalam satu pemakaman.

Amr bin Jamuh RA, Sahabat yang Syahid di Perang Uhud

Amr bin Jamuh RA adalah pemuka dari Bani Salimah (Salamah), termasuk suku Khazraj. Ia terkenal sebagai orang yang sangat dermawan. Suatu ketika Nabi SAW pernah bertanya kepada penduduk Bani Salimah, “Siapakah pemimpin kalian?”
Mereka berkata, “Jaddu bin Qeis, hanya saja ia seorang yang sangat kikir!!”
Maka Nabi SAW bersabda, “Penyakit apa lagi yang lebih parah daripada kikir? Kalau begitu pemimpin kalian adalah Amr bin Jamuh!!”
Kisah keislamannya termasuk unik. Semua itu berasal dari keisengan dua pemuda Bani Salimah yang terlebih dahulu telah memeluk Islam, yang salah satunya adalah anaknya sendiri, yaitu Muadz bin Amr bin Jamuh dan Muadz bin Jabal, keduanya memeluk Islam dan berba'iat kepada Nabi SAW di Aqabah. Suatu malam, dua orang pemuda ini masuk ke rumah Amr dan mengambil berhala sesembahannya. Berhala yang biasa dipanggil "manat" itu dilemparkan ke lubang pembuangan kotoran dalam keadaan menungging, kepala menghunjam ke kotoran.
Keesokan harinya, Amr marah-marah karena kehilangan tuhannya, iapun mencarinya dan menemukannya di lubang kotoran. Setelah mengambil dan membersihkannya, Amr meletakkan kembali di tempatnya semula dan berkata kepada berhala itu, "Demi tuhan, jika aku tahu siapa yang melakukan kekejian ini kepadamu, aku pasti akan membalasnya."
Pada malam harinya, kedua pemuda ini mengulang perbuatannya, dan membuangnya pada tempat yang sama. Pada pagi harinya, Amr terbangun dalam keadaan marah-marah karena sekali lagi kehilangan tuhannya. Ia kembali mencarinya dan menemukannya di tempat yang sama. Ia membersihkan dan menempatkannya kembali seperti semula. Kejadian ini berulang sampai beberapa kali. Karena jengkel hal itu terus berulang tanpa tahu siapa yang melakukannya, ia meletakkan pedang di pundak berhala tersebut dan berkata, "Sesungguhnya aku tidak tahu siapa yang bertanggung jawab atas perbuatan ini. Jika engkau memang mempunyai kekuatan, pertahankanlah dirimu sendiri dengan pedang ini."
Kedua pemuda inipun kembali mengambil berhala tersebut. Melihat ada pedang tergantung, keisengannya-pun bertambah, mereka menggantungkan pula bangkai anjing pada berhala itu, dan kali ini membuangnya pada lubang kotoran dari Bani Salimah yang digunakan oleh orang banyak. Sama seperti sebelumnya, berhala itu dalam keadaan menungging.
     Pagi harinya ketika Amr terbangun dan tidak menemukan berhalanya, ia mencari ke tempat biasa, tetapi ia tidak menemukannya di sana. Ketika ia melihat kerumunan orang di lubang kotoran yang lainnya, ia menghampirinya, dan ia mendapati "tuhannya" terhunjam ke kotoran dengan pedang dan bangkai anjing di pundaknya. Akhirnya Amr sadar bahwa berhala yang selama ini disembahnya tidak mempunyai kekuatan apa-apa, bahkan untuk mempertahankan dirinya sendiri walaupun senjata tersedia, ternyata ia tidak mampu.
Beberapa orang Bani Salimah lainnya yang telah memeluk Islam menghampirinya dan menceritakan tentang agama Islam kepadanya, dan akhirnya ia memeluk Islam.
Amr bin Jamuh RA adalah seorang sahabat yang kakinya pincang. Anak-anaknya selalu menyertai Nabi SAW dalam perjuangan membela Islam. Dalam perang Uhud, ia ingin ikut serta seperti anaknya, tetapi kaum kerabatnya melarang, keadaan kakinya dijadikan alasan agar ia tinggal saja di Madinah. Bahkan ketika ia menghadap langsung kepada Nabi SAW untuk meminta ijin, beliau juga menyarankan hal yang sama. Ia hanya bisa berkata, "Sungguh menyedihkan, anak-anakku masuk surga sedangkan aku ketinggalan di belakang."
Istrinya, Ummu Walad yang memang sangat mencintai Nabi SAW dan Islam, sangat gencar mendorong anggota keluarganya untuk mengikuti perang Uhud. Karena itu ketika ia kembali ke rumah dan mendapati suaminya di sana, ia jadi uring-uringan. Ia berkata, "Wahai suamiku, aku tidak percaya mereka melarangmu mengikuti pertempuran itu. Tampaknya engkau saja yang takut menyertai mereka dalam pertempuran."
Mendengar penuturan istrinya itu, ia berangkat lagi untuk menemui Nabi SAW. Setelah keluar pintu rumahnya ia menghadapkan wajah ke kiblat dan berdoa, "Ya Allah, janganlah Engkau kembalikan aku kepada keluargaku….!"
Ia mengucapkan doanya itu dua kali, dan Ummu Walad mendengarnya. Ia melangkahkan kaki menuju masjid, dan setelah bertemu Nabi SAW, ia berkata, "Wahai Rasulullah, aku sangat menginginkan gugur syahid di medan pertempuran, tetapi kaum kerabatku selalu melarangnya. Aku tidak bisa lagi menahan keinginanku, ya Nabiyallah ijinkanlah aku mengikuti pertempuran ini. Aku berharap dapat berjalan-jalan di surga dengan kakiku yang pincang ini."
Nabi SAW menasehatinya untuk tetap tinggal karena ia mempunyai udzur syar'i untuk tidak mengikuti jihad atau pertempuran. Tetapi Amr tetap memaksa, sehingga akhirnya Rasulullah SAW mengijinkannya.
Dalam perang Uhud itu, ia  berjuang bersisian dengan anaknya, Walad bin Amr, dengan gigih ia menyerang musuh, sambil terus berteriak, "Demi Allah, aku sangat mencintai surga!"
Dua orang anak dan bapak ini akhirnya menemui syahidnya. Usai pertempuran, istrinya, Ummu Walad mendatangi medan perang Uhud, menaikkan dua jenazah orang terkasihnya itu ke atas untanya, dan juga jenazah saudaranya, Abdullah, untuk dibawa ke Madinah. Tetapi untanya ini tak mau bergerak, walau dipukul dan dicambuk.
Melihat hal itu, Nabi SAW bersabda, "Sesungguhnya unta ini diperintahkan berlaku demikian. Apakah Amr mengatakan sesuatu ketika meninggalkan rumah?"
"Benar, ya Rasulullah," Kata Ummu Walad, "Sebelum meninggalkan rumah untuk menyertai pertempuran ini, ia menghadapkan wajah ke kiblat dan berdoa agar tidak dikembalikan kepada keluarganya."
Mendengar penjelasannya itu, Rasulullah SAW memerintahkan agar memakamkan tiga syuhada ini di bukit Uhud. Amr bin Jamuh dimakamkan dalam satu lobang dengan Abdullah bin Amr bin Haram, atau yang lebih dikenal dengan nama Abu Jabir (ayah dari sahabat Jabir bin Abdullah, yang banyak meriwayatkan Hadits Nabi SAW). Keduanya saling mengasihi dan selalu bersama-sama dalam kehidupan dunia, dan masih terikat saudara. Istrinya Ummu Walad adalah saudara Abu Jabir.
            Empatpuluh enam tahun berselang setelah Perang Uhud itu, Muawiyah menggali sebuah mata air dan mengalirkannya melewati bekas medan perang Uhud itu. Beberapa makam syuhada Uhud tergenang air dan jasadnya keluar, termasuk makam Amr bin Jamuh dan Abu Jabir. Tetapi dengan kekuasaan Allah, jasad mereka itu dalam keadaan utuh, bahkan darahnya masih merah seolah-olah baru saja terluka tersayat pedang. Mereka berdua seperti tengah tertidur lelap saja. Abu Jabir memindahkan jasad ayah dan pamannya itu ke makam Baqi di Kota Madinah.