Kamis, 28 November 2013

Abdullah bin Ziyad RA (Al Mujadzdzir), Sahabat yang Syahid di Perang Uhud

Abdullah bin Ziyad RA adalah seorang sahabat Anshar dari Bani Ghanm, suku Khazraj, dan salah seorang sahabat ahlul Badar. Ia lebih dikenal dengan nama al Mujadzdzir, sang Pembongkar Urat, karena terkenal sebagai tipe orang yang sangat kasar di masa jahiliah. Ketika terjadi perang Bu'ats, perang saudara antara suku Aus dan Khazraj di Madinah sebelum masa keislaman, ia membunuh Suwaid bin Shamit yang saat itu telah memeluk Islam. Tetapi kemudian ia menyertai tujuhpuluh lima orang Madinah yang berba'iat kepada Nabi SAW di Ba'iatul Aqabah ke dua untuk memeluk Islam.
Sebelum perang Badar mulai pecah, Nabi SAW berpesan untuk tidak membunuh Abbas bin Abdul Muthalib dan Abul Bakhtary bin Hisyam. Dua orang tokoh Quraisy ini tidak pernah memusuhi Nabi SAW ketika di Makkah, mereka juga membantu orang-orang muslim walaupun dengan diam-diam. Bahkan Abul Bakhtary salah satu orang yang berinisiatif dan berperan membatalkan piagam pemboikotan kaum Quraisy atas Bani Hasyim dan Bani Muthalib (yakni keluarga besar Nabi Muhammad SAW)
Dalam peperangan ini, Mujadzdzir bertemu dengan Abul Bakhtary, yang berperang bersisian dengan temannya, Junadah bin Malihah. Mujadzdzir berkata, "Wahai Abul Bakhtary, sesungguhnya Rasulullah SAW melarang kami membunuh engkau..!!"
"Bagaimana dengan temanku ini?" Tanya Abul Bakhtary.
"Tidak, demi Allah, kami tidak akan membiarkan temanmu..!!"
Karena tidak ada perintah lain dari Nabi SAW sehubungan dengan teman yang bersama Abul Bakhtary, jawaban itulah yang paling tepat disampaikan Mujadzdzir. Tetapi Abul Bakhtary berkata, "Demi Allah, kalau begitu aku akan mati bersama-sama temanku ini. Aku tidak ingin para wanita Quraisy mengatakan aku meninggalkan temanku karena ingin tetap hidup!!"
Setelah itu mereka berdua menyerang Mujadzdzir, dan tidak ada pilihan lain baginya kecuali melakukan perlawanan daripada harus mati konyol. Akhirnya mereka berdua tewas di tangan Mujadzdzir. Usai pertempuran, Mujadzdzir menghadap Nabi SAW sambil memohon maaf, ia berkata, “Wahai Rasulullah, demi Allah yang telah mengutus engkau dengan kebenaran, aku telah berusaha untuk hanya menawan Abul Bakhtary dan membawanya ke hadapan engkau. Tetapi ia tidak mau menyerah dan berkeras melakukan perlawanan sehingga dengan terpaksa saya membunuhnya!!”
Tampak penyesalan di wajah Nabi SAW, tetapi bagaimana lagi. Namanya pertempuran adalah membunuh atau terbunuh (kill or to be kill), dan tentunya bukan sepenuhnya kesalahan Mujadzdzir kalau ia tidak bisa memenuhi pesan Nabi SAW tersebut. 
            Dalam perang Uhud, Mujadzdzir menemui syahidnya di tangan Harits bin Suwaid, putra dari Suwaid bin Shamit yang telah dibunuhnya pada Perang Bu'ats. Sebenarnya mereka berdua berada di kubu yang sama, pasukan muslim, hanya saja Harits belum memeluk Islam. Harits berprasangka bahwa Mujadzdzir akan membunuhnya jika telah kembali ke Madinah, karena itu ia bertindak mendahuluinya dengan menikam Mujadzdzir hingga tewas, saat ia sedang berperang dengan kaum kafir Quraisy. Tetapi kemudian Harits menyesali tindakannya ini dan memeluk Islam. Ia juga gugur di Perang Uhud ini sebagai seorang muslim.

Anas bin Nadhar RA, Sahabat yang Syahid di Perang Uhud

            Anas bin Nadhar adalah saudara kandung Malik bin Nadhar, ayah dari Anas bin Malik, sahabat Nabi SAW yang banyak meriwayatkan hadits. Hanya saja tidak sepertinya kebanyakan orang Madinah, saudaranya itu memilih untuk tetap dalam agama jahiliahnya. Ia akhirnya tewas dalam kekafiran, walau tidak dalam permusuhan dengan Nabi SAW dan Islam. 
Perang Badar bisa dikatakan terjadi tanpa sengaja, karena pada awalnya pasukan berkekuatan 313 orang sahabat itu dimaksudkan untuk mencegat kafilah dagang Quraisy yang pulang dari Syam. Nabi SAW tidak mewajibkan atau menyeru jihad, karena itu beberapa sahabat tidak mengikutinya, termasuk Anas bin Nadhar. Tetapi begitu mereka mengetahui terjadi pertempuran seru dengan pasukan Quraisy lainnya di Badr, mereka yang tertinggal itu merasa menyesal, termasuk Anas bin Nadhar.
Ketika pasukan Muslim kembali dari Badr dengan kemenangan, Anas menyongsong Nabi SAW dan berkata, "Wahai Rasullullah, saya tidak ikut dalam permulaan perang melawan orang-orang musyrik. Sungguh, kalau (kehendak) Allah mengikutkan saya memerangi orang-orang musyrik, niscaya Allah mengetahui apa yang aku perbuat."
Dalam Perang Uhud, kelompok yang tertinggal dalam Perang Badr itulah yang mengusulkan agar menghadapi pasukan kafir Quraisy di luar Madinah, meskipun Nabi SAW menginginkan bertahan di dalam Kota Madinah. Tetapi mereka memang menunjukkan semangatnya yang membara untuk membela dan menegakkan panji ‘Laa ilaaha illallaah”. Ketika kaum muslimin berbalik mengalami kekalahan, Anas bin Nadhar melewati beberapa orang yang kehilangan semangat karena mendengar kabar Rasullullah SAW telah wafat terbunuh, mereka meletakkan senjatanya di tanah. Melihat hal itu, Anas berkata, "Wahai kalian ini, jika Nabi SAW telah wafat terbunuh, maka Allah Tuhannya Muhammad tidak akan pernah mati, lalu apa yang bisa kalian kerjakan dalam hidup ini jika beliau telah wafat? Berperanglah kalian demi sesuatu yang Nabi berperang untuknya, dan matilah kalian demi sesuatu yang beliau wafat karenanya…!!"
Sesaat kemudian ia berdoa, "Ya Allah, aku memohonkan ampun kepada-Mu atas apa yang mereka  katakan, dan aku berlepas diri dari apa yang diperbuat oleh orang-orang musyrik itu!"
Setelah itu ia meloncat untuk meneruskan jihadnya. Ia sempat bertemu Sa'd bin Mu'adz dan berkata, "Wahai Sa'd, sungguh aku mencium bau surga di balik Bukit Uhud ini."
            Anas bertempur dengan perkasa menerjang barisan musuh hingga menemui syahidnya. Setelah pertempuran selesai, tidak ada yang bisa mengenali jasad Anas, sampai akhirnya saudara perempuannya, Bisyamah yang tahu ciri-ciri khusus Anas yang bisa mengenalinya. Tak kurang dari delapan puluh tusukan tombak dan luka sayatan pedang yang ada di wajah dan tubuhnya, sehingga ia tidak mudah dikenali siapa dirinya.