Minggu, 09 November 2014

Umarah bin Yazid RA dan Enam Sahabat Anshar, Sahabat-sahabat yang Syahid di Perang Uhud

Setelah pasukan berkuda Khalid bin Walid mematahkan perlawanan Ibnu Jubair dan sembilan temannya yang tetap bertahan di atas bukit, kemudian menyerang kaum muslimin dari belakang, pasukan muslimin benar-benar centang-perenang. Ditambah lagi serangan dari pasukan inti Quraisy yang telah kembali ke arena pertempuran, pasukan muslimin jadi terpecah belah tidak karuan, bahkan banyak yang melarikan diri dan juga menyerah meletakkan senjatanya di tanah. Mereka yang masih mencoba bertahan juga diserang kepanikan karena keadaan yang begitu cepat berubah, sehingga ada yang secara tidak sengaja menyerang dan membunuh sesama muslim, seperti yang terjadi pada Al Yaman, ayah dari sahabat Hudzaifah.
Beberapa orang sahabat seperti Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Ali bin Abi Thalib dan beberapa lainnya yang telah terlanjur jauh di depan, berusaha untuk mundur karena pikiran mereka tertuju pada keselamatan Nabi SAW. Tetapi untuk itu mereka juga harus menyibak jalan dengan bertempur, karena pasukan Quraisy sepertinya ada di mana-mana. Apalagi mereka juga tidak tahu pasti dimana keberadaan beliau setelah keadaan menjadi kacau balau seperti itu.
Nabi SAW sendiri terpecil hanya dengan sembilan orang sahabat, tetapi keberadaan beliau belum diketahui oleh pasukan Quraisy karena beliau memakai baju besi, termasuk yang menutupi wajah beliau. Dua sahabat Muhajirin, yakni Thalhah bin Ubaidillah dan Sa’d bin Abi Waqqash, serta tujuh sahabat Anshar, di antaranya Umarah bin Yazid bin Sakan, yang jadi benteng terakhir beliau saat itu. Kalau saja keberadaan Nabi SAW tetap tidak diketahui, peperangan mungkin akan merata di segala lini, tetapi melihat keadaan pasukan muslimin yang seperti itu, beliau berseru keras, “Wahai kaum muslimin, kemarilah, aku adalah Rasulullah!!”
Dampak dari seruan itu ternyata luar biasa, kaum muslimin menyibak jalan pertempuran untuk bisa sampai ke sana, tetapi pada saat yang sama, kaum Quraisy memusatkan serangan ke tempat beliau berada. Melihat gelombang serangan yang begitu hebat, Nabi SAW bersabda, “Siapa saja yang melindungi aku, dia akan masuk surga dan menjadi pendampingku di surga!!”
Sembilan orang sahabat itu langsung bersiaga, salah satu dari sahabat Anshar langsung merangsek maju menghambat laju serangan kaum Quraisy. Setelah ia menemui syahidnya, salah seorang Anshar lainnya ganti menyerang untuk menghambat gerak pasukan Quraisy. Begitu seterusnya, satu persatu maju, hingga orang Anshar ke tujuh, Umarah bin Yazid bin Sakan. Ketika Umarah melakukan perlawanan, pasukan Quraisy telah sangat dekat dengan Nabi SAW. Thalhah dan Sa’d dengan susah payah menghalau panah dan lembing yang mengarah kepada Nabi SAW. Ketika Umarah akhirnya tewas terkapar menemui syahidnya, pipinya teregeletak di kaki Nabi SAW.
Setelah tewasnya Umarah inilah serangan kaum kafir Quraisy makin menjadi-jadi. Utbah bin Abi Waqqash, saudara dari Sa’d, berhasil menyerang Nabi SAW dengan batu hingga melukai lambung, gigi seri dan bibir beliau. Abdullah bin Syihab berhasil memukul dan melukai kening beliau. Dan akhirnya Abdullah bin Qami’ah berhasil memukul bahu dan pipi beliau hingga beliau jatuh terjerembab ke dalam suatu lubang, dan dua potongan besi menancap di pipi beliau. Dua sahabat Muhajirin yang tersisa itu hampir tidak mampu lagi bertahan, tetapi tiba-tiba Sa’d melihat dua orang berpakaian putih yang bertempur di sisi Rasulullah SAW, yang ia belum pernah melihat ‘orang’ itu, baik sebelum atau sesudah pertempuran itu. Dalam suatu riwayat, Nabi SAW menjelaskan bahwa dua orang itu adalah malaikat Jibril dan Mikail.
Ketika pada akhirnya Thalhah roboh, dua orang sahabat berhasil mencapai tempat Nabi SAW, yakni Abu Bakar dan Abu Ubaidah bin Jarrah. Kemudian beberapa orang menyusul seperti Abu Dujanah, Ali bin Abi Thalib, Sahl bin Hanif, Malik bin Sinan, seorang wanita Anshar, Nasibah (Nusaibah) binti Ka’ab al Maziniyah, atau yang lebih dikenal dengan Ummu Ammarah, Umar bin Khaththab, Qatadah bin Nu’man, Hathib bin Abi Balthaah, dan Abu Thalhah.     
    
Note:sn346347

Abdullah Bin Jubair RA dan Sembilan Pemanah di Bukit, Sahabat-sahabat yang Syahid di Perang Uhud

Ketika berlangsungnya Perang Uhud, Nabi SAW menerapkan strategi bertahan (defensif). Tidak hanya karena jumlah pasukannya yang lebih kecil daripada kaum Quraisy, tetapi terlebih karena pasukan muslimin baru saja mengalami ‘hantaman psikologis’ karena Abdullah bin Ubay bersama 300 pengikutnya tiba-tiba mundur (desersi), kembali ke Madinah, setelah melihat pasukan Quraisy yang berkekuatan 3.000 orang. Sisa 700 pasukan muslimin yang sempat terguncang akhirnya kembali tegar, apalagi dengan turunnya firman Allah, QS Ali Imran ayat 121-125, yang memerintahkan mereka untuk tidak bergantung kepada manusia, tetapi lebih tawakkal kepada Allah, seperti ketika terjadinya Perang Badar.
Nabi SAW menempatkan satu pasukan di sayap kanan yang dipimpin oleh Mundzir bin Amr. Di sayap kiri ada dua pasukan yang dipimpin Zubair bin Awwam dan Miqdad bin Aswad, dan bertugas menghadang laju pasukan berkuda (kavaleri) Quraisy yang dipimpin Khalid bin Walid. Sedangkan pada barisan terdepan terdapat para tokoh pemberani dari kaum Muhajirin dan Anshar, seperti Hamzah bin Abdul Muthalib, Umar bin Khaththab, Ali Bin Abi Thalib, Abu Dujanah, Sa’d bin Muadz, Usaid bin Hudhair, dan lain-lainnya.
Di belakang pasukan muslimin adalah gunung Uhud, dan di suatu bukit yang (di kemudian hari) disebut Jabal Rumat, Nabi SAW menempatkan 50 orang pemanah ulung yang dipimpin oleh Abdullah bin Jubair bin Nu’man al Anshary al Ausy. Beliau berpesan, “Lindungilah kami dengan anak panah kalian, agar musuh tidak menyerang kami dari belakang. Tetaplah di tempatmu, entah kita menang (di atas angin) ataupun terdesak, agar kita tidak diserang dari arahmu!!”
Sekali lagi beliau menegaskan perintahnya, “Lindungilah punggung kami, jika kalian melihat kami sedang bertempur, maka kalian tidak perlu membantu kami. Jika kalian melihat kami tengah mengumpulkan harta rampasan, maka janganlah kalian turun bergabuing bersama kami!!”
Seolah-olah Nabi SAW telah memperoleh gambaran akan apa yang akan terjadi dalam pertempuran itu, sehingga beliau begitu menekankan perintah tersebut. Dalam riwayat lainnya disebutkan, bahwa beliau bersabda, “Jika kalian melihat kami sedang disambar burung sekalipun, janganlah kalian meninggalkan tempat itu, kecuali jika ada utusanku yang datang menjemput kalian. Jika kalian melihat kami telah mengalahkan musuh sekalipun, tetaplah di sana, janganlah meninggalkan tempat itu, hingga ada utusanku yang datang kepada kalian!!
Strategi bertahan yang diterapkan Nabi SAW terbukti ampuh. Begitu pecah peperangan, pasukan berkuda Quraisy yang terkenal handal, yang dipimpin seorang ahli startegi pertempuran, Khalid bin Khalid mencoba merangsek dari sayap kiri, tetapi mengalami kegagalan. Mereka tidak mampu menembus dua pasukan yang dipimpin Zubair dan Miqdad, karena pada saat yang sama, Ibnu Jubair dan pasukannya di atas bukit menghujani dengan anak panah.
Dengan keadaan yang kokoh, dimana pasukan muslimin tidak bisa dimasuki musuh dari arah manapun sehingga tetap menyatu, pasukan musyrik mengalami kekalahan telak. Mereka lari tunggang-langgang dari arena peperangan, termasuk pasukan Khalid bin Walid, dan meninggalkan harta dan barang bawaannya berserak di arena pertempuran demi menyelamatkan nyawanya. Panji pertempuran mereka tergeletak setelah sepuluh atau sebelas kali pembawanya yang mencoba tetap mengibarkannya tewas terbunuh. Tentunya semua itu tidak terlepas dari pertolongan Allah SWT, di samping strategi dan kedisiplinan yang dijalankan oleh seluruh pasukan muslimin.
Ketika pertempuran hampir usai dan kemenangan hampir pasti di tangan, Nabi SAW tetap saja memerintahkan agar pasukan bersiaga di tempatnya masing-masing. Tetapi beberapa orang pemanah di atas bukit, yang area pemandangannya memang lebih luas, tiba-tiba berteriak, “Harta rampasan, harta rampasan!! Teman-teman, kita ini telah menang, apalagi yang kita tunggu!!”
Mungkin memang tidak salah apa yang dikatakannya bahwa mereka telah menang, tetapi yang dilupakan, mereka harus disiplin dan taat pada perintah komandannya. Abdullah bin Jubair dengan tegas berkata, “Apakah kalian telah lupa apa yang dipesankan Rasulullah kepada kalian??”
Tetapi mayoritas dari mereka tidak memperdulikan peringatan itu. Tampaknya perasaan cinta duniawiah (hubbud dunya) masih ada di hatinya. Mereka berkata, “Demi Allah, kami benar-benar akan bergabung dengan mereka (pasukan inti) agar kami mendapatkan bagian dari rampasan perang ini…!”
Empatpuluh orang segera beranjak pergi meninggalkan bukit. Ibnu Jubair dengan sembilan temannya yang tersisa berusaha keras menahannya tetapi tetap saja mereka pergi, sehingga hanya tinggal mereka saja yang bertahan. Keadaan itu ternyata tidak lepas dari pengamatan Khalid bin Walid, walau sebenarnya ia dan bala tentara Quraisy lainnya telah cukup jauh meninggalkan arena pertempuran. Ia memerintahkan pasukan berkudanya kembali ke arah Uhud, mengambil jalan memutar hingga langsung berhadapan dengan pasukan panah Ibnu Jubair, yang tentu saja tidak mampu menahan laju serangan seperti sebelumnya. Satu persatu mereka terkapar bersimbah darah menemui syahidnya, demi mematuhi perintah Rasulullah SAW untuk tetap bertahan di atas bukit, apapun yang terjadi.
Kemudian Khalid bin Walid menyerang pasukan muslimin dari arah belakang hingga mereka porak poranda. Pergerakan ini ternyata diikuti oleh pasukan Quraisy lainnya, yang segera kembali ke arena pertempuran dan memborbardir kaum muslimin dengan serangan dari segala arah. Seorang wanita Quraisy bernama Amrah binti Alqamah al Haritsiyah segera mengambil panji pertempuran Quraisy dan mengibarkannya sehingga semangat mereka kembali menyala. Kemenangan kaum muslimin yang tinggal sedikit saja diraih, berbalik menjadi kekalahan hanya karena ketidak-disiplinan dan ketidak patuhan 40 orang pemanah di bukit terhadap perintah Rasulullah SAW.  

Note:sn341344