Kamis, 20 Agustus 2015

Hanzhalah bin Rahib RA (Ghasilul Malaikat), Sahabat yang Syahid di Perang Uhud

Hanzhalah bin Rahib adalah seorang sahabat Anshar dari suku Aus. Ia memeluk Islam sejak awal Islam didakwahkan di Madinah oleh utusan Nabi SAW, Mush’ab bin Umair. Tetapi keputusannya itu harus dibayar mahal, yakni perpisahan dengan ayahnya yang menentang keras dan sangat tidak setuju dengan kehadiran Islam di Madinah. Hal itu berbeda sekali dengan sikap mayoritas penduduk Madinah, baik dari suku Khazraj ataupun Aus, termasuk pemuka-pemukanya.
Ayah Hanzhalah, Abd Amr bin Shaify merupakan salah satu pemuka suku Aus. Ia lebih dikenal dengan nama Abu Amir, dan lebih sering lagi dipanggil dengan nama Rahib. Ketika Nabi SAW telah hijrah ke Madinah, dengan terang-terangan ia memusuhi beliau. Kemenangan kaum muslimin di Perang Badar tidak membuat Abu Amir luluh hatinya untuk memeluk Islam, justru ia meninggalkan Madinah dan pindah ke Makkah, di sana ia terus menghasut dan memberi semangat kaum Quraisy untuk membalas kekalahan dengan menyerang Madinah, hingga terjadilah Perang Uhud, dan ia bersama pasukan yang dipimpin Khalid bin Walid.
Dalam Perang Uhud, Hanzhalah mengetahui kalau ayahnya berada di pihak musuh, karena itu ia berusaha sebisa mungkin tidak bentrok langsung dengan ayahnya. Bagaimanapun juga masih tersisa penghargaan dan penghormatan terhadap ayahnya itu sehingga tidak mungkin ia akan mengayunkan pedang kepadanya. 
Dalam suatu kesempatan, Hanzhalah berhasil berhadapan dengan Abu Sufyan bin Harb, pimpinan utama pasukan Quraisy. Semangatnya memuncak, karena kalau ia berhasil membunuh pucuk pimpinannya, pengaruhnya akan besar sekali dalam melemahkan semangat pasukan musuh. Ia bertempur dengan garangnya dan menguasai keadaan, ketika posisinya di atas siap melakukan serangan terakhir untuk membunuh Abu Sufyan, tiba-tiba muncul Syaddad bin Aus (Ibnu Syu'ub) yang ketika itu masih kafir, dari arah belakangnya, yang langsung menikamnya sehingga ia tewas, gugur bersimbah darah menjemput kesyahidannya.
Usai pertempuran, seperti para syuhada lainnya, ia akan dimakamkan dengan pakaian yang dikenakan tanpa dimandikan lagi. Tetapi ketika tiba giliran akan dimakamkan, para sahabat kehilangan jenazahnya. Merekapun mencari-carinya, dan ditemukan di tempat agak tinggi, dan tampak masih basah dan ada sisa air di tanah. Melihat keadaannya itu, Nabi SAW bersabda, "Saudara kalian ini dimandikan oleh para malaikat, coba tanyakan kepada keluarganya mengapa ini terjadi?"
Beberapa sahabat mendatangi istri Hanzhalah, Jamilah binti Ubay bin Salul, saudari dari tokoh munafik Abdullah bin Ubay bin Salul, tetapi dia seorang muslimah yang baik. Ternyata mereka berdua ini masih pengantin baru. Ketika perang Uhud tersebut terjadi, sebenarnya mereka masih dalam masa bulan madu. Para sahabat mengabarkan tentang kesyahidan suaminya, dan peristiwa yang terjadi pada jenazahnya, serta perintah Nabi SAW untuk menanyakan sebabnya. Jamilah berkata, "Ketika mendengar seruan untuk jihad, ia seketika meninggalkan kamar pengantin kami, tetapi ia dalam keadaan junub (berhadats besar)…."
Ketika hal ini disampaikan kepada Nabi SAW, beliau bersabda, "Itulah yang menyebabkan malaikat memandikan jenazahnya…"
Karena itulah Hanzhalah bin Rahib mendapat gelaran "Ghasilul malaikat" (Orang yang dimandikan malaikat)  dan ia menjadi salah satu kebanggaan kaum Anshar, karena ‘karamah’ (kemuliaan) yang diperolehnya.

Note:sn363

Tsabit bin ad Dahdahak RA, Sahabat yang Syahid di Perang Uhud

Tsabit bin ad Dahdahak, atau dalam beberapa riwayat lain disebut Tsabit bin ad Dahdah, adalah seorang sahabat Anshar. Pada perang Uhud, ketika terjadi kekacauan dan kebingungan pasukan muslim karena berhembusnya berita bahwa Nabi SAW telah terbunuh, Tsabit berteriak keras, "Wahai orang-orang Anshar, mendekatlah kepadaku! Aku adalah Tsabit bin ad Dahdahak, sekiranya Muhammad SAW telah tewas, sesungguhnya Allah Maha Hidup, tidak akan mati. Karena itu berperanglah semata-mata untuk agama kalian. Sungguh Allah akan memenangkan dan memberikan pertolongan kepada kalian…"
Beberapa sahabat Anshar lainnya bergabung dengan Tsabit, mereka menyerang pasukan musyrik dengan garangnya. Sekelompok pasukan Quraisy bersenjata lengkap, antara lain Khalid bin Walid, Amr bin Ash, Ikrimah bin Abu Jahal, Dhirar bin Khaththab dan lain-lainnya lagi menghadapi para sahabat Anshar ini. Akhirnya Khalid bin Walid melepaskan tombaknya dan mengenai Tsabit sampai tembus dan tewas seketika. Para sahabat Anshar yang mengikutinya pada akhirnya menemui syahid juga.
Menurut sebagian riwayat, para sahabat Anshar ini merupakan orang-orang yang terakhir menemui syahidnya di Perang Uhud. Riwayat lainnya menyebutkan, tujuh orang sahabat Anshar di sekitar Nabi SAW, yang terakhir Umarah bin Yazid bin as Sakan, yang menjadi syahid-syahid terakhir di peperangan itu. Atau bisa jadi menjadi syahid dalam waktu yang hampir bersamaan karena keadaan pasukan muslim saat itu terpecah-pecah dan porak poranda. Setelah itu keadaan berbalik, pasukan muslim kembali menyusun kekuatan, setelah tahu dan yakin bahwa Nabi SAW masih hidup walaupun dalam keadaan terluka. Dan akhirnya mereka berhasil mengusir pasukan kafir Quraisy. 

Note:sn345

Harits bin Suwaid RA, Sahabat yang Syahid di Perang Uhud

Pasukan muslimin yang mengikuti Rasulullah SAW dalam Perang Uhud tidak semuanya dari kaum muslimin (kaum Muhajirin atau Anshar), tetapi ada juga orang-orang Madinah yang masih musyrik, orang Yahudi, termasuk kaum Munafiqin yang dipimpin oleh Abdullah bin Ubay bin Salul. Tetapi keikutsertaan mereka dalam pertempuran tersebut ada juga yang membawa berkah dan hidayah, yakni memeluk Islam dan kemudian syahid, padahal belum ada ibadah yang dilakukannya dalam Islam, kecuali membaca dua kalimat Syahadat saja, salah satu di antara mereka adalah Harits bin Suwaid.
Harits bin Suwaid adalah putra dari Suwaid bin Shamit, seorang sahabat Nabi SAW yang telah memeluk Islam dan menjumpai syahidnya ketika Islam belum didakwahkan di Madinah. Suwaid merupakan orang yang terkemuka dari kaumnya, bernasab mulia dan mempunyai kedudukan tinggi, serta seorang penyair yang cerdas sehingga memperoleh gelar Al Kamil (Sang Sempurna) dari penduduk Yatsrib. Ketika terjadi Perang Bu’ats, perang saudara  antara suku Aus dan Khazraj, ia tewas di tangan Abdullah bin Ziyad, atau dikenal dengan Al Mujadzdzir. Karena itulah Harits menyimpan rasa dendam kepada pembunuh ayahnya tersebut. Tetapi ia tidak berani ‘menantang’ langsung, karena Al Mujadzdzir seorang yang berwatak kasar dan pemberani. Gelar atau nama Al Mujadzdzir, yang artinya Sang Pembongkar Urat, disematkan kepadanya karena wataknya tersebut, khususnya di masa jahiliahnya. Ketika telah memeluk Islam, berangsur wataknya tersebut berangsur berkurang.
Ketika berangkat ke Uhud, Harits bin Suwaid belum memeluk Islam, ia hanya ‘ikut-ikutan’ saja, karena kebanyakan dari kaumnya yang tinggal di Madinah adalah kaum wanita dan anak-anak, serta orang-orang tua dan lemah. Ketika bertempur dalam kubu yang sama melawan kaum kafir Quraisy, entah mengapa Harits berprasangka bahwa Al Mujadzdzir akan membunuhnya jika mereka telah kembali ke Madinah, apalagi saat itu ia belum memeluk Islam. Perasaan itu begitu menghantuinya, sehingga pada suatu kesempatan, ketika Al Mujadzdzir sibuk berperang dengan orang kafir, Harits menikamnya sehingga tewas.
Ternyata setelah menewaskan ‘pembunuh’ ayahnya tersebut, perasaaanya bukannya jadi tenang, justru timbul penyesalan yang luar biasa. Ia segera menghadap Nabi SAW menunjukkan penyesalannya, sekaligus menyatakan dirinya memeluk Islam. Kemudian ia kembali ke medan pertempuran dan akhirnya gugur sebagai syahid.  

Note:spr174

Suwaid bin Shamit RA

Suwaid bin Shamit adalah penduduk Yatsrib (Nama kota Madinah di masa jahiliah), ia merupakan orang yang terkemuka dari kaumnya, suku Aus, bernasab mulia dan mempunyai kedudukan tinggi. Ia juga seorang penyair yang cerdas sehingga memperoleh gelar Al Kamil (Sang Sempurna) dari penduduk Yatsrib. Ia termasuk sahabat yang memeluk Islam pada masa awal, yakni ketika beliau masih berada di Makkah, dan Islam belum didakwahkan di Madinah. Sayangnya ia tidak sempat bergaul dengan Nabi SAW dan mengalami masa masa perjuangan dan keemasan Islam di Madinah.
Ketika Suwaid sedang melaksanakan ibadah haji dan umrah di Makkah (tentunya dengan cara dan tradisi lama, yakni kebiasaan jahiliah), Nabi SAW mendatangi dirinya dan mengajaknya memeluk Islam. Sebagai seorang yang cerdas dan memiliki pengetahuan luas, Suwaid justru berkata, “Boleh jadi apa yang ada padamu itu sama dengan yang ada padaku…!!"
Nabi SAW bersabda, "Apa yang ada padamu?"
"Hikmah al Luqman!!" Kata Suwaid.
"Tunjukkan padaku!!" Kata beliau.
Suwaid mulai melantunkan apa yang dimiliki dan diketahuinya dengan rangkaian syair-syair yang sangat indah  dan memikat perhatian. Setelah ia selesai, Nabi SAW berkata, "Sungguh suatu kata-kata yang baik, namun yang ada padaku jauh lebih baik dan utama dari kata-katamu itu. Ini adalah Al Qur'an yang diturunkan Allah kepadaku, petunjuk dan cahaya…"
Kemudian Nabi SAW mulai membacakan beberapa ayat-ayat Al Qur'an kepada Suwaid. Ia tampak sangat terpesona dan khusyu' mendengar bacaan beliau. Sebagai seorang ahli syair yang cerdas, Suwaid tahu betul bahwa rangkaian kata dan kalimat seperti itu tidak mungkin disusun dan dibuat oleh manusia, sehebat apapun kemampuan  dan kecerdasannya. Setelah Nabi SAW selesai membacakan Al Qur'an, Suwaid berkata, "Ini adalah kata-kata yang benar-benar bagus..!!"
Setelah itu Suwaid menjabat tangan Nabi SAW dan berba'iat memeluk Islam. Suwaid pulang ke Yatsrib, dan tak lama setelah itu terjadi perang Bu'ats, perang saudara antara Suku Aus dan Khazraj, dan ia terbunuh dalam peperangan tersebut di tangan Abdullah bin Ziyad, atau yang lebih dikenal dengan nama Al Mujadzdzir. Riwayat lain menyebutkan, pembunuhan Suwaid bin Shamit oleh Al Mujadzdzir itulah yang memicu terjadinya Perang Bu’ats.