Masa remaja
Mush'ab bin Umair adalah masa remaja yang paling diidamkan oleh umumnya remaja.
Ia hidup berlimpah kekayaan, tampan, cerdas, dimanjakan orang tua, diinginkan
oleh banyak wanita. Ia juga sangat dihargai oleh lingkungannya karena ia
berasal dari keluarga terpandang dan banyak memberikan solusi dalam
majelis-majelis ketika membahas suatu permasalahan.
Namun semua kelebihan dan fasilitas yang dipunyainya jadi
tak berarti ketika ia mulai mendengar adanya dakwah yang dibawa Nabi SAW.
Tekanan dan siksaan yang dilakukan kaum kafir Quraisy terhadap pemeluk Islam
tidak membuatnya gentar untuk mengenal lebih jauh ajaran agama baru ini.
Akhirnya cahaya hidayah membawanya ke rumah Arqam bin Abil Arqam (Darul Arqam),
dimana biasanya Rasulullah SAW mengajar sahabat-sahabat beliau, dan ia
berba’iat memeluk Islam. Lantunan ayat-ayat Al Qur'an membuat hatinya
bergemuruh, penuh gairah dan haru yang membludak, sampai akhirnya Rasullullah
SAW mengusap dadanya, sehingga hatinya menjadi tenang dan damai bagaikan lubuk
sungai yang dalam.
Hal yang
ditakutkan setelah menjadi Islam adalah ibunya. Ibunya, Khunas binti Malik
adalah sosok yang dominan, berkepribadian kuat, berpendirian yang tidak bisa
ditawar-tawar. Karena itu Mush'ab menyembunyikan keislamannya dari ibunya, dan
diam-diam ia selalu pergi ke rumah Arqam untuk memperdalam keislamannya. Namun
pada akhirnya ibunya tahu juga perubahan keyakinan anaknya dari seseorang
bernama Utsman bin Thalhah.
Tak pelak lagi,
Mush'ab diinterogasi ibunya di depan pembesar-pembesar Quraisy, namun kekuatan
iman telah menyatu-padu dalam hatinya sehingga tak mungkin ia kembali ke kepada
agama jahiliah. Bahkan ia berdiri tegar di depan ibunya yang selama ini
dihormati dan ditakutinya sambil membacakan ayat-ayat Al Qur'an. Dalam puncak
kemarahannya, ibunya mengurung Mush'ab dalam ruangan sempit dan terpencil
dengan penjagaan ketat.
Ketika Nabi SAW
menitahkan sahabat-sahabatnya untuk hijrah ke Habsyi, Mush'ab berhasil
memperdaya penjaganya dan lolos untuk mengikuti beberapa sahabat hijrah ke
Habsyi. Sungguh harga yang mahal untuk mempertahankan keimanan. Kemewahan dan
kemegahan masa remaja ditukar dengan hidup merana dan terlunta di negeri orang.
Memang kenikmatan batin karena manisnya iman tidak akan bisa dijual dengan
sebanyak apapun kemewahan dunia ini.
Tetapi hidup
dalam ketenangan beribadah di Habsyi tidaklah menjamin ketenangan jiwanya.
Kerinduannya untuk memandang dan bersama Nabi SAW, dirasakannya jauh lebih
pedih daripada siksaan fisik yang dirasakannya ketika di Makkah. Karena itu
Mush’ab memutuskan untuk kembali ke Makkah. Begitu menginjakkan kaki di tanah
kelahirannya, orang-orang suruhan ibunya telah bersiap menangkapnya kembali.
Mush’ab mengancam akan membunuh mereka jika berani mendekatinya. Ibunya yang juga
hadir tidak bisa berbuat apa-apa, tetapi karena kekerasan hatinya, ia berkata,
“Pergilah sesuka hatimu, aku bukan ibumu lagi!!”
Mush’ab berkata
dengan linangan air mata, “Wahai ibu, aku telah menyampaikan nasehat kepada
ibu, dan sungguh aku merasa sangat kasihan kepada ibu. Bersaksilah bahwa tiada
Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya….!!”
Mendengar
ucapannya itu, sang ibu memandangnya dengan mata menyala penuh amarah, dan
berkata, “Demi bintang, sekali-kali aku tidak akan masuk agamamu itu. Otakku
bisa jadi rusak dan perkataanku tidak akan didengar orang lagi!!”
Beberapa waktu
kemudian Mush'ab hadir dalam majelis Nabi SAW bersama para sahabat-lainnya. Melihat
penampilannya yang memang baru datang dari Habsyi, mereka menundukkan dan
memejamkan mata, sebagian menangis haru melihat Mush'ab yang memakai jubah
usang bertambal-tambal. Rasanya belum lama berselang ketika mereka melihat
Mush'ab yang bagaikan bunga di taman, begitu cemerlang memikat dan menebarkan
aroma wewangian di sekitarnya. Tetapi justru inilah yang memunculkan pujian
Rasulullah SAW atas dirinya, Beliau bersabda, "Dahulu saya lihat Mush'ab
ini tak ada yang mengimbangi dalam memperoleh kesenangan dari orang tuanya
tetapi semua itu ditinggalkan karena cintanya pada Allah dan RasulNya."
Dakwah Nabi SAW
pada beberapa kelompok suku yang sedang melaksanakan haji, kebanyakan mengalami
penolakan. Tetapi enam orang dari Suku Khazraj yang dipimpin oleh As'ad bin
Zurarah dari Bani Najjar menerima ajakan Rasulullah dengan baik. Pada musim
haji berikutnya, dua belas orang datang lagi dan berba'iat pada Nabi SAW, tujuh
orang di antaranya baru masuk silam. As'ad bin Zurarah yang juga memimpin
rombongan ini meminta Rasullullah SAW mengirim seseorang yang mampu memberikan
pengajaran dan memimpin dakwah di Madinah.
Pilihan Nabi SAW
jatuh pada Mush'ab bin Umair. Walaupun masih muda, pengalamannya di masa
jahiliah dalam majelis-majelis dan kepandaiannya saat berguru pada Rasullullah SAW
tentunya menjadi pertimbangan beliau untuk memilihnya dalam tugas mulia ini. Di
Madinah, Mush’ab tinggal bersama As'ad bin Zararah.
Bersama As'ad,
Mush’ab mendatangi berbagai kabilah, rumah-rumah dan mejelis-majelis untuk
mengajak mereka memeluk Islam. Saat berdakwah pada kabilah Abdul Asyhal , ia
sempat disergap oleh Usaid bin Hudlair, pemuka kabilah tersebut karena dianggap
mengacau dan membuat anak buahnya menyeleweng dari agamanya Tetapi dengan
kemampuan diplomasinya dan wajahnya yang teduh serta tenang, Mush’ab mampu
meredam kemarahan Usaid, dan memaksanya untuk duduk mendengarkan.
Mush'ab pun
membacakan ayat-ayat Qur'an dan menjelaskan risalah yang dibawa oleh Rasulullah
SAW. Dengan gaya bahasa yang halus penuh ketulusan, Mush'ab mampu menyentuh
hati nurani Usaid yang terdalam, dan membawanya pada hidayah Allah untuk
memeluk Islam, yang dalam beberapa jam kemudian disusul dengan keislaman Sa’ad
bin Mu’adz, tokoh Bani Abdul Asyhal lainnya. Keislaman dua pemukanya ini
dikiuti oleh hampir seluruh anggota kabilah tersebut.
Tersebarnya
kabar tentang keislaman Usaid bin
Hudlair dan Sa’ad bin Mu’adz membuat tokoh-tokoh Madinah lainnya mencari tahu
tentang agama baru ini. Beberapa pemuka kabilah di Madinah akhirnya memeluk
Islam, antara lain Sa'ad bin Ubadah dan Amr bin Jamuh, dimana tokoh ini membuat
pemusnahan banyak berhala yang selama ini dijadikan sesembahan.
Masyarakat Madinahpun makin
banyak yang masuk Islam menyusul tokoh-tokohnya. Mereka berpendapat,
"Kalau Usaid bin Hudlair, Sa'ad bin Ubadah dan Sa'ad bin Mu'adz telah
masuk Islam, apalagi yang kita tunggu? Marilah kita datang ke Mush'ab untuk
menyatakan keislaman."
Pada Perang
Uhud, Mush'ab bin Umair dipilih oleh Rasulullah sebagai pembawa bendera. Dengan
strategi yang jitu dan pengaturan pasukan yang sempurna oleh Nabi SAW, pasukan
Quraisy pun kocar-kacir berlarian meninggalkan harta benda di medan pertempuran. Tetapi ketidak-disiplinan
sebagian besar dari 50 pasukan pemanah yang ditempatkan Nabi di atas bukit,
membuat situasi berbalik. Hampir 40 orang turun untuk mengambil ghanimah dan
membiarkan pertahanan dari bukit terbuka. Peringatan Abdullah bin Jubair,
komandan pasukan pemanah untuk tetap tinggal di atas bukit diabaikan begitu
saja.
Khalid bin Walid
yang memimpin satu kelompok pasukan Quraisy melihat situasi ini, dan ia
bergerak menaiki bukit. Sekitar sepuluh orang yang bertahan di atas bukit tak
mampu menahan gempuran Khalid dan mereka syahid semua. Kemudian Khalid
menggempur pasukan Islam di bawahnya, bahkan serangan-pun mengarah pada Nabi
SAW. Mush'ab melihat keadaan bahaya yang mengancam Nabi SAW, ia bergerak cepat
dengan bendera di tangan kiri yang diangkat tinggi, tangan kanan mengayun
pedang dan mulutnya bergemuruh dengan takbir, mencoba membendung arus musuh
yang mendatangi Rasullullah SAW.
Tetapi kekuatan
yang tidak berimbang mematahkan serangan Mush’ab, tangan kanannya ditebas Ibnu
Qumai'ah hingga putus, Mush'ab hanya berkata, "Muhammad tidak lain hanya
seorang Rasul, sebagaimana Rasul-rasul yang telah mendahuluinya."
Kemudian bendera
dikepit dengan sisa lengan kanannya, dan tangan kirinya mengayun pedang
menyerang musuh yang terus berdatangan. Ketika tangan kiri itu ditebas juga
hingga putus dan bendera jatuh. Lagi-lagi Umair mengulang ucapannya,
"Muhammad tidak lain hanyalah seorang Rasul, sebagaimana Rasul-rasul yang
telah mendahuluinya."
Namun demikian
dengan kedua pangkal lengannya, Mush’ab masih berusaha menegakkannya bendera
itu, sampai akhirnya sebuah tombak menusuk tubuhnya hingga patah, dan gugurlah
Mush'ab sebagai syahid.
Setelah perang Uhud berakhir, Nabi SAW berdiri di
dekat jasad Mush'ab dengan mata berkaca. Sesosok tubuh yang masa mudanya
dibalut dengan pakaian halus, mahal dan wangi, kini jasadnya hanya tertutup
kain burdah yang begitu pendek, jika ditutup kepalanya, kakinya akan terbuka,
jika ditutup kakinya, kepalanya yang terbuka. Maka Nabi bersabda,
"Tutupkanlah ke bagian kepalanya, dan tutupilah kakinya dengan rumput
idzkir."