Selasa, 31 Juli 2012

Ali bin Abi Thalib RA, Khulafaur Rasyidin Ke Empat, 10 sahabat yang Dijamin Masuk Surga

Tumbuh dalam Didikan Kenabian Nabi SAW
            Ali bin Abi Thalib masih sepupu Nabi SAW, putra dari Abi Thalib bin Abdul Muthalib, paman yang mengasuh beliau sejak usia delapan tahun. Pamannya ini bersama Khadijah, istri beliau menjadi pembela utama beliau untuk mendakwahkan Islam selama tinggal di Makkah, walau Abi Thalib sendiri meninggal dalam kekafiran. Ali bin Abi Thalib lahir sepuluh tahun sebelum kenabian, tetapi telah diasuh Nabi SAW sejak usia 6 tahun.
            Sebagian riwayat menyebutkan ia orang ke dua yang memeluk Islam, yakni setelah Khadijah, riwayat lainnya menyebutkan ia orang ke tiga, setelah Khadijah dan putra angkat beliau Zaid bin Haritsah. Bisa dikatakan ia tumbuh dan dewasa dalam didikan akhlakul karimah Nabi SAW dan bimbingan wahyu. Maka tidak heran watak dan karakter Ali bin Abi Thalib mirip dengan Nabi SAW. Dan secara keilmuan, ia mengalahkan sebagian besar sahabat lainnya, sehingga beliau SAW pernah bersabda, "Ana madinatul ilmu, wa Ali baabuuha…"  (Saya kotanya ilmu dan Ali adalah pintunya).
            Apalagi, ia kemudian dinikahkan dengan putri kesayangan Nabi SAW, Fathimah az Zahra, sehingga bimbingan pembentukan kepribadian Ali bin Abi Thalib oleh Nabi SAW terus berlanjut hingga kewafatan beliau.

Jiwa Perjuangan dan Kepahlawanan Ali bin Abi Thalib
            Salah satu yang terkenal dari Ali bin Abi Thalib adalah sifat ksatria dan kepahlawanannya. Bersama pedang kesayangannya yang diberi nama Dzul Fiqar, sebagian riwayat menyatakan pedangnya tersebut mempunyai dua ujung lancip, ia menerjuni hampir semua medan jihad tanpa sedikitpun rasa khawatir dan takut. Walau secara penampilan fisiknya Ali tidaklah kekar dan perkasa seperti Umar bin Khaththab misalnya, tetapi dalam setiap duel dan pertempuran dengan pedangnya itu ia hampir selalu memperoleh kemenangan. Tidak berarti bahwa ia tidak pernah terluka dan terkena senjata musuh, hanya saja luka-luka yang dialaminya tidak pernah menyurutkan semangatnya. Nabi SAW seolah mengokohkan kepahlawanannya dengan sabda beliau, "Tiada pedang (yang benar-benar hebat) selain pedang Dzul Fiqar, dan tiada pemuda (yang benar-benar ksatria dan gagah berani) selain Ali bin Abi Thalib…" (Laa fatan illaa aliyyun).
            Ali bin Abi Thalib tidak pernah ketinggalan berjuang bersama Rasulullah SAW menerjuni medan pertempuran. Ketika perang Badar akan dimulai, tiga penunggang kuda handal dari kaum musyrik Quraisy maju menantang duel. Mereka dari satu keluarga, Utbah bin Rabi'ah, Syaibah bin Rab'iah dan Walid bin Utbah. Tampillah tiga pemuda Anshar menyambut tantangan mereka, Auf bin Harits al Afra, Muawwidz bin Harits al Afra dan Abdullah bin Rawahah. Tetapi tokoh Quraisy ini menolak ketiganya, dan meminta orang terpandang dari golongan Quraisy juga. Nabi SAW memerintahkan Ubaidah bin Harits, Hamzah dan Ali bin Abi Thalib. Ali menghadapi Walid, sebagian riwayat menyatakan ia menghadapi Syaibah. Ini adalah pertempuran pertamanya, tetapi dengan mudah Ali mengalahkan lawannya, yang jauh lebih terlatih dan berpengalaman.
            Pada perang Uhud, ketika pemegang panji Islam, Mush'ab bin Umair menemui syahidnya, Nabi SAW memerintahkan Ali menggantikan kedudukannya. Tangan kiri memegang panji, tangan kanan mengerakkan pedang Dzul Fiqarnya, menghadapi serangan demi serangan yang datang. Tiba-tiba terdengar tantangan duel dari pemegang panji pasukan musyrik, yakni pahlawan Quraisy Sa’ad bin Abi Thalhah. Karena masing-masing sibuk menghadapi lawannya, tantangan tersebut tidak ada yang menanggapi, ia pun makin sesumbar, dan Ali tidak dapat menahan dirinya lagi. Setelah mematahkan serangan lawannya, ia meloncat menghadapi orang yang sombong tersebut, ia berkata, "Akulah yang akan menghadapimu, wahai Sa'ad bin Abi Thalhah. Majulah wahai musuh Allah…!!"
            Merekapun terlibat saling serang dengan pedangnya, di sela-sela dua pasukan yang bertempur rapat.  Pada suatu kesempatan, Ali berhasil menebas kaki lawannya hingga jatuh tersungkur. Ketika akan memberikan pukulan terakhir untuk membunuhnya, Sa'ad membuka auratnya dan Ali-pun berpaling dan berlalu pergi, tidak jadi membunuhnya. Ketika seorang sahabat menanyakan alasan mengapa tidak membunuhnya, ia berkata, "Ia memperlihatkan auratnya, sehingga saya malu dan kasihan kepadanya…"
            Usai pertempuran, Ali dikerumuni orang-orang yang berusaha mengobati lukanya, tetapi kesulitan karena begitu banyak luka yang dialaminya. Ketika Nabi SAW menghampiri, mereka berkata, "Wahai Rasulullah, kami merasa kesulitan, kalau kami obati satu lukanya, terbukalah luka lainnya…"
            Akhirnya beliau turun tangan ikut membalut luka, dan dengan berkah tangan beliau yang penuh mu'jizat, luka- lukanya dapat diobati dengan mudah. Setelah itu beliau bersabda, "Sesungguhnya seseorang yang mengalami semua ini karena membela agama Allah, sungguh telah berjasa besar dan diampuni dosa-dosanya…"
            Pada perang Khandaq, sekelompok kecil pasukan musyrik Quraisy berhasil menyeberangi parit, mereka ini antara lain, Amr bin Abdi Wudd, Ikrimah bin Abu Jahl dan Dhirar bin Khaththab. Segera saja Ali bin Abi Thalib  dan sekelompok sahabat yang berjaga pada sisi tersebut mengepung mereka. Amr bin Abdi Wudd adalah jagoan Quraisy yang jarang memperoleh tandingan. Siapapun yang melawannya kebanyakan akan kalah. Ia melontarkan tantangan duel, dan segera saja Ali bin Abi Thalib menghadapinya. Amr bin Wudd sempat meremehkan Ali karena secara fisik memang ia jauh lebih besar dan gagah. Setelah turun dari kudanya, ia menunjukkan kekuatannya, ia menampar kudanya hingga roboh. Namun semua ia tidak membuat Ali gentar, bahkan dengan mudah Ali merobohkan dan membunuhnya. Melihat keadaan itu, anggota pasukan musyrik lainnya lari terbirit-birit sampai masuk parit untuk menyelamatkan diri.
            Menjelang perang Khaibar, Nabi SAW bersabda sambil memegang bendera komando (panji peperangan), "Sesungguhnya besok aku akan memberikan bendera ini pada seseorang, yang Allah akan memberikan kemenangan dengan tangannya. Ia sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya, Allah dan Rasul-Nya pun mencintainya"
            Esoknya para sahabat berkumpul di sekitar Rasullullah SAW dan sangat berharap dialah yang akan ditunjuk Beliau untuk memegang bendera tersebut. Alasannya jelas, 'Sangat Mencintai Allah dan Rasul-Nya, Allah dan Rasul-Nya juga mencintainya', derajad apalagi yang lebih tinggi daripada itu, dan itu diucapkan sendiri  oleh beliau. Pandangan Rasulullah SAW berkeliling untuk mencari seseorang, para sahabat mencoba menunjukkan diri dengan harapan akan ditunjuk beliau.  Tetapi beliau tidak menemukan yang dicari, maka beliau bersabda, "Dimanakah Ali bin Abi Thalib?"
            Seorang sahabat menjelaskan kalau Ali sedang mengeluhkan matanya yang sakit. Nabi SAW menyuruh seseorang untuk menjemputnya, dan ketika Ali telah sampai di hadapan Rasulullah SAW, beliau mengusap mata Ali dengan ludah beliau dan mendoakan, seketika sembuh. Sejak saat itu Ali tidak pernah sakit mata lagi. Beliau menyerahkan panji peperangan kepada Ali. Ali berkata, "Wahai Rasulullah, aku akan memerangi mereka hingga mereka sama seperti kita!!"
            "Janganlah terburu-buru," Kata Nabi SAW, "Turunlah kepada mereka, serulah mereka kepada Islam. Demi Allah, lebih baik Allah memberi hidayah mereka melalui dirimu, daripada ghanimah berupa himar yang paling elok sekalipun!!"
            Sebagian riwayat menyebutkan, pemilihan Ali sebagai pemegang komando atau panji, setelah dua hari sebelumnya pasukan muslim gagal merebut atau membobol benteng Na'im, benteng terluar dari Khaibar. Khaibar sendiri memiliki delapan lapis benteng pertahanan yang besar, dan beberapa benteng kecil lainnya.
            Ketika perisainya pecah pada peperangan ini, Ali menjebol pintu kota Khaibar untuk menahan serangan panah yang bertubi-tubi, sekaligus menjadikannya sebagai tameng untuk terus menyerang musuh. Usai perang, Abu Rafi dan tujuh orang lainnya mencoba membalik pintu tersebut tetapi mereka tidak kuat. Dalam peperangan ini benteng Khaibar dapat ditaklukkan dan orang-orang Yahudi yang berniat menghabisi Islam justru terusir dari jazirah Arabia.
            Begitulah, hampir tidak ada peperangan yang tidak diterjuninya, dan Ali bin Abi Thalib selalu menunjukkan kepahlawanan dan kekesatriaannya, sekaligus kualitas akhlaknya sebagai didikan wahyu, didikan Nabi SAW. Sampai pernah diceritakan, dalam suatu pertempuran Ali sudah hampir membunuh musuhnya, tiba-tiba musuh tersebut meludahi wajahnya. Tampak tersirat kemarahan Ali, tetapi justru ia meninggalkan dan membiarkannya hidup. Sebagian anggota pasukan muslim melihatnya dengan heran menanyakan sikapnya tersebut. Ali menjawab, "Ketika aku bertempur dan akan membunuhnya, aku masih berjuang karena agama Allah. Tetapi ketika ia meludahiku dan ada sedikit kemarahan dalam diriku, aku takut membunuhnya itu karena (nafsu) kemarahanku yang muncul."

Sebagian Kisah Pancaran Akhlak Ali bin Abi Thalib
            Salah satu bentuk didikan Nabi SAW yang jelas-jelas mencerminkan kepribadian beliau pada diri Ali adalah kesederhanaan (zuhud)-nya. Beberapa orang sahabat sering melihat Ali bin Abi Thalib menangis pada malam-malamnya, sambil berbicara sendiri, "Wahai dunia, apakah engkau hendak menipuku? Apakah kamu mengawasiku? Jauh sekali…jauh sekali… Godalah orang selain aku, sesungguhnya aku telah menceraikanmu dengan thalak tiga. Umurmu pendek, majelis-majelismu sangat hina, kemuliaan dan kedudukanmu sangat sedikit dan tidak berarti (akan habis). Alangkah sengsaranya aku, bekalku sedikit sedangkan perjalanan sangat jauh dan jalannya sangat berbahaya."
            Itulah prinsip-prinsip mendasar dari akhlak Ali bin Abi Thalib, yang secara umum mewarnai jalan kehidupannya, termasuk ketika ia menjabat sebagai khalifah.

Bekerja pada Orang Yahudi
            Suatu ketika Rasullullah SAW mengunjungi kedua cucunya, Hasan dan Husain, tetapi di sana beliau hanya menjumpai putrinya, Fathimah Ketika beliau bertanya tentang keberadaan kedua cucunya, Fathimah berkata  kalau keduanya sedang mengikuti ayahnya, Ali bin Abi Thalib, yang sedang bekerja menimba air pada orang Yahudi karena pada hari itu memang tidak ada persediaan makanan bagi mereka sekeluarga.
            Rasulullah SAW menjumpai Ali di kebun orang Yahudi itu, ia menimba air untuk menyiram tanaman di kebun tersebut dengan upah satu butir kurma untuk satu timba air. Hasan dan Husain sendiri sedang bermain-main di suatu ruang sementara tangannya sedang menggenggam sisa-sisa kurma. Nabi SAW berkata kepada Ali, "Wahai Ali, apa tidak sebaiknya engkau bawa pulang anak-anakmu sebelum terik matahari akan menyengat mereka?"
            Ali menjawab, "Wahai Rasulullah, pagi ini kami tidak memiliki sesuatu pun untuk dimakan, karena itu biarkanlah kami disini hingga bisa mengumpulkan lebih banyak kurma untuk Fathimah."
            Rasulullah SAW akhirnya ikut menimba air bersama Ali, hingga terkumpul beberapa butir kurma untuk bisa dibawa pulang.        

Pengadilan Atas Kepemilikan Baju Besi
            Ketika menjadi khalifah, Ali bin Abi Thalib telah kehilangan baju besinya pada perang Jamal. Suatu ketika ia berjalan-jalan di pasar, ia melihat baju besinya ada pada seorang lelaki Yahudi. Ali menuntut haknya atas baju besi itu dengan menunjukkan ciri-cirinya, tetapi si Yahudi bertahan bahwa itu miliknya.
            Ali mengajak si Yahudi menemui kadhi (hakim) untuk memperoleh keputusan yang adil. Yang menjadi kadhi adalah Shuraih, seorang muslim. Ali menyampaikan kepada kadhi tuntutan kepemilikannya atas baju besi yang sedang dibawa oleh si Yahudi.  Ia menunjukkan ciri-cirinya, dan membawa dua orang saksi, Hasan putranya sendiri dan hambanya yang bernama Qanbar.
            Mendengar penuturan Ali, yang tak lain adalah Amirul Mukminin yang menjadi ‘Presiden’ kaum muslimin saat itu, Shuraih berkata dengan tegas, "Gantikan Hasan dengan orang lain sebagai saksi, dan kesaksian Qanbar saja tidak cukup!"
            "Apakah engkau menolak kesaksian Hasan?" Tanya Ali kepada Shuraih, "Padahal Rasulullah pernah bersabda Hasan dan Husain adalah penghulu pemuda di surga?"
            "Bukan begitu Ali," Kata Shuraih, ia sengaja tidak menyebut Amirul Mukminin, karena begitulah kedudukannya di depan hukum, ia meneruskan, "Engkau sendiri pernah berkata bahwa tidak sah kesaksian anak untuk bapaknya."
            Karena Ali tidak bisa menunjukkan saksi lain yang menguatkan kepemilikannya atas baju besi itu, Shuraih memutuskan baju besi itu milik si Yahudi, dan Ali menerima keputusan tersebut dengan lapang dada.
            Si Yahudi begitu takjub dengan peristiwa ini. Ia-pun mengakui kalau baju itu ditemukannya di tengah jalan, mungkin terjatuh dari unta milik Ali. Ia langsung mengucapkan syahadat, menyatakan dirinya masuk Islam, dan mengembalikan baju besinya kepada Ali. Tetapi karena keislamannya ini, justru Ali menghadiahkan baju besi tersebut kepadanya, dan menambahkan beberapa ratus uang dirham. Lelaki ini selalu menyertai Ali sehingga ia terbunuh syahid dalam perang Shiffin.

“Engkau Bebas karena Allah!!”
            Suatu ketika Ali memanggil salah seorang budaknya, tetapi tidak ada jawaban. Sampai dua dan tiga kali ia mengulanginya tetapi belum juga datang. Maka Ali mencari keberadaan budaknya tersebut, yang ternyata tidak jauh dari tempat itu. Dengan heran Ali berkata,”Tidakkah engkau mendengar panggilanku, wahai Ghulam!!”
            Dengan santai budaknya itu berkata, “Ya, saya mendengar!!”
            “Mengapa engkau tidak memenuhi panggilanku??”
            Jawabannya sungguh mengejutkan, budak itu berkata, “Saya sangat mengenalmu, dan saya merasa tidak bakal dihukum, karena itu saya membiarkan saja panggilan itu!!”
            Bagi Ali, seorang budak dimaksudkan untuk memudahkan kehidupan, khususnya untuk merambah jalan akhirat, kalau sikapnya seperti itu justru akan mengotori hati saja. Karena itu ia berkata, “Engkau bebas karena Allah, engkau aku merdekakan!!”

Karena Ali Memuliakan Seorang Lanjut Usia
            Suatu ketika di shalat jamaah subuh, tiba-tiba Nabi SAW ruku’ dalam waktu cukup lama. Bukan karena apa, tetapi malaikat Jibril datang dan menggelar salah satu sayapnya di punggung beliau sehingga beliau tidak bisa bangkit. Setelah Jibril pergi barulah beliau bisa i’tidal dan meneruskan shalat hingga selesai. Usai shalat para sahabat terheran-heran, dan salah satunya bertanya, “Apa yang terjadi, wahai Rasulullah, sehingga engkau memperpanjang ruku begitu lama yang sebelumnya belum pernah engaku lakukan??”
            Nabi SAW menceritakan tentang malaikat Jibril yang menahan beliau dalam ruku. Sahabat itu bertanya lagi, “Mengapa bisa seperti itu??”
            Nabi SAW bersabda, “Aku tidak tahu!!”
            Tidak berapa lama Jibril datang lagi dan berkata, “Wahai Muhammad, Ali tergesa-gesa untuk ikut berjamaah, tetapi di depannya ada seorang lelaki tua nashrani yang berjalan sangat pelan. Ali tidak mau mendahuluinya karena sangat memuliakan lelaki tua itu!! Karena itu Allah memerintahkan aku untuk menahanmu dalam ruku,  agar Ali dapat ikut jamaah!!”
            Nabi SAW tampak terkagum-kagum dengan penjelasan Jibril tersebut, tetapi Jibril meneruskan, “Yang lebih mengagumkan lagi, Allah memerintahkan malaikat Mikail untuk menahan perputaran matahari dengan sayapnya, sehingga waktu subuh tidak habis karena menunggu Ali hadir!!”
            Nabi SAW memanggil Ali. Ketika Nabi SAW meng-konfirmasi hal itu, Ali berkata dengan tenangnya seolah-olah tidak ada sesuatu yang ajaib terjadi, “Benar, ya Rasulullah, lelaki tua itu sangat pelan jalannya dan aku tidak suka untuk mendahuluinya karena memuliakannya. Tetapi ternyata ia tidak datang untuk shalat, untungnya engkau masih dalam keadaan ruku’ sehingga aku tidak tertinggal shalat jamaah bersamamu!!”
            Nabi SAW hanya tersenyum, dan menceritakan duduk permasalahannya kepada para sahabat. Setelah itu beliau bersabda, “Inilah derajad orang yang memuliakan seorang lanjut usia, walau ia bukan seorang muslim!!”

Ali di Jalan Zakaria dan Fathimah di Jalan Maryam 
            Suatu ketika Ali bertanya kepada istrinya, “Wahai Fathimah, ada makanan untuk kusantap hari ini?”
            Fathimah berkata, “Tidak ada, aku berpagi hari dalam keadaan tidak ada makanan untukmu, begitu juga untukku dan kedua anak kita!!”
            “Tidakkah engkau menyuruhku untuk untuk mencari makanan?” Tanya Ali.
            “Aku malu kepada Allah untuk meminta kepadamu yang engkau tidak memilikinya!!”
            Kemudian Ali keluar rumah, ia yakin dan khusnudzon kepada Allah dan meminjam uang satu dinar untuk membeli makanan bagi keluarganya. Tetapi belum sempat membelanjakan uang satu dinar itu, ia melihat sahabat Nabi SAW lainnya, Miqdad al Aswad, sedang berjalan sendirian di padang pasir yang panas. Ali menghampirinya dan berkata, “Wahai Miqdad, apa yang menggelisahkanmu??”
            Miqdad berkata, “Wahai Abul Hasan, janganlah mengganggu aku, janganlah menanyakan kepadaku sesuatu yang di belakangku (peristiwa yang menimpa sebelumnya)!!”
            Ali berkata lagi, “Wahai Miqdad, tidak seharusnya engkau menyembunyikan keadaanmu dari aku!!”
            “Baiklah kalau engkau memang memaksa, demi Dzat yang memuliakan Muhammad dengan kenabian, tidak ada yang menggelisahkan aku dalam perjalanan ini, kecuali karena aku meninggalkan keluargaku dalam keadaan kelaparan. Ketika aku mendengar tangisan mereka, bumi serasa tidak mampu memikulku, aku pergi dengan tidak mempunyai muka (sangat malu)!!”
            Miqdad enggan menceritakan keadaannya karena ia sangat mengenal Ali. Keadaan Ali tidaklah lebih baik daripada dirinya, apalagi ia seorang yang sangat perasa dan pemurah. Dan hasil dari ceritanya itu langsung tampak. Ali mengucurkan air mata hingga membasahi jenggotnya. Dengan terbata ia berkata, “Aku bersumpah dengan Dzat yang engkau bersumpah dengan-Nya, tidaklah menggelisahkanku kecuali seperti yang menggelisahkan engkau juga, untuk itu aku telah meminjam uang satu dinar, ini untukmu saja, ambillah!! Aku dahulukan engkau daripada diriku sendiri!!”
            Miqdad menerima uang itu dengan gembira, dan Ali berlalu pergi ke Masjid untuk shalat zhuhur karena waktunya hampir menjelang. Ia tetap tinggal di masjid hingga shalat ashar dan maghrib. Usai shalat mangrib, tiba-tiba Nabi SAW menghampirinya dan berkata, “Wahai Abul Hasan, apakah kamu punya makanan untuk kita makan malam??”
            Pada masa Nabi SAW, beliau lebih sering mengerjakan shalat jamaah isya’ pada akhir waktu, yakni menjelang tengah malam. Karena itu setelah shalat magrib biasanya para sahabat pulang dahulu. Ali tersentak kaget mendengar pertanyaan beliau, ia tidak bisa berkata apa-apa karena malu kepada Nabi SAW. Karena ia diam saja, beliau bersabda lagi, “Jika kamu berkata ‘tidak’ maka aku akan pergi. Jika engkau berkata ‘ya’ maka aku akan pergi bersamamu!!”
            “Baiklah, ya Rasulullah, marilah ke rumah saya!!”
            Mereka berjalan beriringan ke rumah Ali, dan Fathimah langsung menyambut ketika mengetahui kedatangan Rasulullah SAW, dan mengucap salam. Beliau menjawab salam putri tercintanya itu sambil mengusap kepalanya, kemudian bersabda, “Bagaimana engkau malam ini? Sudah siapkah makan malam untuk kita? Semoga Allah mengampunimu, dan Dia telah melakukannya!!”
            Fathimah mengambil mangkuk besar berisi makanan, yang beberapa waktu sebelumnya tiba-tiba saja telah berada di rumahnya tanpa tahu siapa yang membawakannya. Ali mencium aroma makanan yang sangat lezat, yang belum pernah rasanya ia menemukan makanan seperti itu. Ia memandang tajam kepada istrinya, sebuah pertanyaan keras dan kemarahan bercampur dalam pandangannya itu. Fathimah berkata, “Subkhanallah, alangkah tajamnya pandanganmu!! Apakah aku telah berbuat kesalahan sehingga engkau tampak begitu murka?”
            Ali berkata, “Apakah ada dosa yang lebih besar daripada yang engkau perbuat hari ini? Tadi pada aku menjumpaimu dan engkau bersumpah tidak memiliki makanan apapun, bahkan sudah dua hari lamanya!!”
            Fathimah menengadah ke langit sambil berkata, “Tuhanku Maha Tahu, bahwa aku tidaklah berkata kecuali kebenaran semata!!”
            Nabi SAW tersenyum melihat pertengkaran kecil tersebut. Sambil meletakkan tangan di pundak Ali dan mengguncang-guncangkannya, beliau bersabda, “Wahai Ali, inilah pahala dinarmu, inilah balasan dinarmu. Allah memberi rezeki kepada siapa saja yang dikehendakinya!!”
            Sesaat kemudian Nabi SAW menangis penuh haru, dan bersabda, “Segala puji bagi Allah, Dzat yang telah mengeluarkan kalian berdua di dunia ini, yang telah memperjalankan engkau, wahai Ali di jalan (Nabi) Zakaria, dan memperjalankan engkau, wahai Fathimah di jalan Maryam!!”

Utsman bin Affan RA, Dzun Nurain, Khulafaur Rasyidin Ke Tiga, 10 sahabat yang Dijamin Masuk Surga

Kisah Keislamannya
            Utsman bin Affan berasal dari kalangan bangsawan Suku Quraisy, kaya raya dan pengusaha yang sukses. Ia termasuk kelompok sahabat yang pertama-tama memeluk Islam. Dalam perjalanan pulang dari perniagaannya di Syam, di sebuah tempat teduh antara Ma'an dan Zarqa, ia tertidur dan bermimpi. Dalam mimpinya itu ia mendengar seorang penyeru berkata, “Bangunlah kalian, karena Ahmad telah bangkit di Makkah!!
            Utsman langsung terbangun karena seruan dalam mimpinya itu. Ia bertanya-tanya ada apa gerangan di Makkah?? Ia segera mengajak teman-temannya untuk segera pulang. Setibanya di Makkah, ia segera menemui sahabatnya, Abu Bakar dan menceritakan mimpinya. Ternyata Abu Bakar telah memeluk Islam, dan menceritakan tentang dakwah baru yang disampaikan Nabi SAW. Utsman yang sebelumnya memang begitu takjub dan terpesona dengan ketinggian dan kemuliaan akhlak Nabi SAW, segera saja meminta Abu Bakar mengantarnya menghadap Rasulullah SAW untuk berba'iat memeluk Islam.
Ketika keislamannya diketahui keluarganya, pamannya yang bernama Hakam bin Abul Ash bin Umayyah menangkap dan mengikatnya dengan tali, kemudian berkata, "Apakah kamu membenci agama nenek moyangmu dan lebih suka pada agama baru tersebut? Demi Allah, aku tidak akan melepaskan ikatanmu selamanya, jika kau tidak kembali ke agama nenek moyangmu!!"
            Tetapi keimanan telah merasuki jiwanya sehingga dengan tegas ia berkata, "Demi Allah aku tidak akan meninggalkan agama ini selama-lamanya, dan tidak akan berpisah dengannya apapun resikonya."
Melihat keteguhannya yang rasanya tidak akan tergoyahkan, akhirnya Hakam melepaskan ikatannya.

Tidak Disusahkan Hartanya dengan Hisab  
Utsman bin Affan merupakan sahabat yang pengusaha dan kaya-raya sebagaimana Abdurrahman bin Auf. Mereka berdua juga sangat dermawan, dan termasuk dari sepuluh orang yang dijamin masuk surga semasa hidupnya. Hanya saja tentang Abdurrahman bin Auf, Nabi SAW pernah bersabda bahwa ia akan masuk surga perlahan-lahan, dalam riwayat lain, dengan merangkak, karena hisab kekayaannya. Sebagaimana Nabi Sulaiman AS adalah nabi yang perlahan-lahan masuk surga karena hisab kekayaannya. Karenanya Nabi SAW menyatakan, “Abdurrahman bin Auf adalah Sulaimannya ummatku!!”
Tetapi menyangkut Utsman bin Affan, beliau justru menyatakan, "Tidak ada yang membahayakan Utsman, setelah apa yang dilakukannya hari ini…."
Ungkapan ini disabdakan Nabi SAW setelah apa yang dibelanjakan Utsman bin Affan di jalan Allah untuk perang Tabuk. Pasukan yang dibentuk untuk menghadapi serangan pasukan Romawi ini disebut dengan Jaisyul Usrah (Pasukan di Masa Sulit), karena waktu itu musim panas, kekeringan dan paceklik melanda jazirah Arab. Tidak mudah menghimpun dana dan perbekalan sementara kebanyakan kaum muslimin sendiri dalam kesulitan menjalani hidup sehari-hari.
Utsman bin Affan yang tengah mempersiapkan kafilah dagang ke Syam dengan 200 ekor unta lengkap barang dan perbekalannya berikut uang sebanyak 200 uqiyah,  langsung dibelokkan ke masjid Nabi SAW untuk pasukan Tabuk. Itu belum cukup juga, ia menambah dan menambah hingga mencapai 900 unta dan 100 kuda, riwayat lain menyebutkan sebanyak 940 unta dan 60 kuda, lengkap dengan perlengkapan dan perbekalannya. Masih belum puas bersedekah, Utsman datang ke kamar Nabi SAW dan menyerahkan 700 uqiyah emas, riwayat lain menyebutkan 1000 atau 10.000 dinar, yang langsung diterima oleh tangan Rasulullah SAW sendiri.
Ungkapan dan sabda Nabi SAW tersebut mungkin merupakan puncak kekaguman dan penghargaan beliau atas pengorbanan Utsman atas kekayaannya, demi kepentingan ummat dan agama Islam.
Tentunya bukan sekedar peristiwa menjelang Perang Tabuk itu kedermawanan Utsman bin Affan. Pada awal hijrah ke Madinah, kaum Muhajirin mengalami kesulitan air. Sebenarnya ada mata air yang mengeluarkan air tawar yang segar dan enak yang disebut Sumur Raumah. Sayangnya mata air ini dikuasai oleh orang Yahudi, yang menjualnya satu geriba air dengan segantang gandum. Kaum Muhajirin yang kebanyakan meninggalkan kekayaannya di Makkah tentu saja tak mampu membayarnya.
Nabi SAW mengharapkan ada sahabat yang membeli telaga tersebut untuk kepentingan umat muslim, maka tampillah Utsman bin Affan memenuhi harapan Nabi SAW. Pada awalnya si Yahudi menolak menjualnya, maka Utsman bersiasat dengan membeli separuhnya saja. Si Yahudi setuju dengan harga 12.000 dirham, dengan pembagian, satu hari untuk Utsman dan satu hari untuk si Yahudi.
Ketika giliran waktu untuk Utsman, kaum muslimin dan masyarakat Madinah yang membutuhkan air dipersilahkan untuk mengambilnya dengan gratis dan tanpa batas. Karena itu mereka menampung untuk dua hari. Ketika tiba giliran waktu untuk si Yahudi, tak ada lagi orang yang membeli air darinya sehingga ia kehilangan pendapatannya dari telaga tersebut. Akhirnya ia menjual bagiannya tersebut kepada Utsman seharga 8.000 dirham, sehingga masyarakat Madinah bisa memperoleh air segar telaga tersebut kapan saja dengan cuma-cuma.
Ketika kaum muslimin di Madinah makin banyak dan masjid tidak lagi bisa menampung, Nabi SAW bermaksud melakukan perluasan dengan membeli tanah dan bangunan di sekitar masjid. Tampillah Utsman untuk merealisasikan maksud Nabi SAW tersebut, dan tanpa segan ia mengeluarkan 15.000 dinar. Begitupun setelah Fathul Makkah, Nabi SAW bermaksud memperluas Masjidil Haram dengan membeli tanah dan bangunan sekitar masjid, sekali lagi Utsman tampil memenuhi harapan Nabi SAW dengan mengeluarkan sedekah 10.000 dinar.
Masih banyak lagi kisah kedermawanan Utsman sehingga tak heran jika Nabi SAW bersabda, “Setiap nabi mempunyai teman karib di surga, dan teman karibku adalah Utsman!!”
Satu peristiwa lagi di jaman Khalifah Abu Bakar, saat itu paceklik melanda kota Madinah, kaum musliminpun mengalami berbagai kesulitan. Ketika dilaporkan kepada Abu Bakar, ia berkata, "Insya Allah, besok sebelum sore tiba, akan datang pertolongan Allah…"
Pagi hari esoknya, datanglah kafilah dagang Utsman dari Syam yang penuh dengan bahan makanan pokok. Berkumpullah para pedagang, termasuk dari kaum Yahudi yang biasa memonopoli perdagangan bahan makanan, mereka berlomba melakukan penawaran. Utsman berkata, "Berapa banyak kalian akan memberi saya keuntungan?"
"Sepuluh menjadi duabelas." Kata seorang pedagang.
"Ada yang lebih tinggi?" Tanya Utsman.
"Sepuluh menjadi limabelas." Pedagang lain menawar.
"Siapa yang berani menawarnya lebih dari itu, padahal seluruh pedagang Madinah berkumpul di sini?" Utsman menegaskan, tidak ada jawaban.
           Utsman bertanya, "Ada yang berani memberi keuntungan sepuluh menjadi seratus, atau sepuluh kali lipat?"
"Apa ada yang  mau membayar sebanyak itu?"
"Ada, yakni Allah SWT…." Kata Utsman dengan tegas.
Para pedagang itupun berlalu pergi, dan Utsman membagi-bagikannya dengan cuma-cuma kepada warga fakir miskin Madinah dan mereka yang memerlukannya. 

Sikap Rasulullah SAW kepada Utsman
            Kasih sayang dan penghargaan Nabi SAW kepada Utsman tidaklah semata-mata karena kedermawanannya. Sejak awal ia memutuskan memeluk Islam, ia langsung dikucilkan oleh kaum kerabat dan lingkungannya. Walau ia hidup dalam kelimpahan harta, ia benar-benar hidup terasing tanpa perhatian dari keluarga besarnya. Karena itulah Nabi SAW langsung menikahkan dengan putri beliau, Ruqayyah.
            Ketika tekanan dan ancaman kaum kafir Quraisy makin meningkat kepada para pemeluk Islam, beliau memerintahkan sekelompok sahabat untuk Hijrah ke Habasyah. Utsman dan istrinya termasuk dalam rombongan muhajir pertama ini. Bahkan terhadap Utsman ini, walau ia bukan pemimpin rombongan hijrah, Nabi SAW bersabda, “Utsman adalah muhajir pertama kepada Allah setelah Nabi Luth AS!!”
            Kehidupan mereka di Habasyah sebenarnya cukup tenang di bawah perlindungan Najasyi, bahkan akhirnya Najasyi memeluk Islam, tetapi Utsman tidak cukup tenang tinggal berjauhan dengan Nabi SAW. Karena itulah ketika beliau dan kaum muslimin lainnya telah hijrah ke Madinah, tanpa berfikir panjang lagi ia mengemasi barang-barangnya untuk segera berhijrah lagi ke Madinah. Tetapi belum lama tinggal di Madinah, ketika terjadinya perang Badar, istrinya jatuh sakit dan kemudian meninggal dunia, tepat ketika pasukan muslim pulang dari Badar dengan membawa kemenangan.
            Tampaknya Rasulullah SAW tidak ingin Utsman dirundung kesedihan terlalu lama karena ditinggal istri tercintanya, Ruqayyah. Tidak lama kemudian beliau menikahkan Utsman dengan adik Ruqayyah, Ummi Kultsum. Itulah sebabnya Utsman mendapat gelar Dzun Nurain, yang memiliki dua cahaya. Yakni dua cahaya hati Nabi SAW yang telah menjadi istrinya.
            Hanya beberapa bulan menjadi istri Utsman, Ummi Kultsum meninggal pada tahun yang sama dengan kakaknya. Tetapi sebagian riwayat lain menyebutkan, Ummi Kultsum wafat pada tahun 9 hijriah. Nabi SAW sangat sedih, bukan sekedar karena kehilangan putrinya, tetapi terlebih karena beliau tidak memiliki putri lagi untuk bisa dinikahkan dengan Utsman. Beliau dengan penuh sesal berkata, “Sekiranya aku mempunyai putri yang ketiga (yang belum menikah), tentulah aku akan menikahkannya dengan Utsman!!”
            Dalam riwayat lainnya, untuk mengungkapkan kasih sayangnya kepada Utsman, beliau bersabda, “Seandainya aku memiliki empatpuluh orang putri, tentulah aku akan menikahkannya dengan Utsman, satu persatu setelah lainnya (meninggal)!!”
            Sikap beliau yang begitu luar biasa terhadap Utsman, tidak lain karena Utsman adalah seorang yang sangat saleh, khusyu’, penuh kasih sayang kepada orang lain dan rasa malunya yang begitu tinggi, yang juga mencerminkan ketinggian imannya. Penghargaan Nabi SAW atas sikap pemalu Utsman tercermin dalam kisah berikut ini.
            Suatu ketika Rasulullah SAW sedang berbaring santai bersama Aisyah, gamis beliau agak terangkat sehingga terlihat betis beliau. Datang Abu Bakar minta ijin untuk masuk. Nabi SAW mengijinkannya dan beliau masih tetap dalam posisi seperti itu. Setelah berbincang-bincang beberapa lamanya, Abu Bakar pulang. Sesaat kemudian datang Umar bin Khaththab minta ijin bertemu. Beliau mengijinkannya dan melayani perbincangan dengan Umar dalam posisi santai seperti semula. Setelah Umar pulang, datanglah Utsman meminta ijin untuk bertemu. Segera saja Nabi SAW duduk dan merapikan pakaian beliau serta menutup betis beliau yang terbuka dengan gamis, barulah beliau mengijinkan Utsman masuk.
            Setelah Utsman pulang, Aisyah bertanya, ‘Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak bersiap-siap untuk kedatangan Abu Bakar dan Umar, sebagaimana engkau menyambut kedatangan Utsman?”
            Beliau bersabda, “Utsman adalah seorang yang sangat pemalu (peka perasaannya). Jika ia masuk dan aku dalam keadaan berbaring seperti sebelumnya, ia pasti akan merasa malu (risih) dan akan segera pulang sebelum menyelesaikan/menyampaikan keperluannya. Wahai Aisyah, tidakkah aku patut merasa malu kepada seseorang yang disegani para malaikat!!”    

Umar bin Khaththab al Faruq RA, Khulafaur Rasyidin Ke Dua, 10 sahabat yang Dijamin Masuk Surga

Apa yang Dikatakan Rasullullah SAW tentang Umar bin Khaththab
            Hampir dipastikan semua umat islam akan mengenal sosok Umar bin Khaththab RA, keberanian, keadilan, kecerdasan, sikap kritis, keras dan ketegasannya,  sekaligus kelembutan, kesedihan dan mudah tersentuh, adalah dua kondisi berlawanan yang menyatu dalam pribadi Umar. Terutama keberaniannya, telah terkenal sejak dia belum memeluk Islam, jagoan dan ahli berkelahi yang selalu memenangkan pertandingan adu kekuatan di Pasar Ukazh. Namun keberanian dan kekuatan ini pulalah yang akhirnya mengantarkan pada Hidayah Allah SWT, ketika membentur keberanian dan kekuatan iman yang dimiliki adiknya, Fathimah binti Khaththab.
            Kisah keislamannya ini berawal ketika tokoh-tokoh kafir Qureisy seperti Abu Jahal bin Hisyam, Uqbah bin Nafik dan lain-lainnya gagal membunuh Nabi SAW, sementara dakwah islam semakin meluas, dan beberapa orang sahabat berhasil hijrah ke Habsyi, dan beribadah dengan tenang di bawah lindungan Raja Najasyi. Sebagai jagoan terkuat di Makkah, Umar merasa harus ia sendiri yang membunuh Muhammad, yang dianggapnya telah murtad dan memecah belah kaum Quraisy serta memaki dan menghina agama nenek moyangnya.
            Umar berniat pergi ke rumah Al Arqam, tempat Nabi SAW mengajarkan Islam kepada sahabat-sahabat beliau. Di tengah perjalanan ia bertemu Nu'aim bin Abdullah, yang menanyakan kepergiannya dengan pedang terhunus. Begitu mengetahui niatnya untuk membunuh Rasullullah SAW, Nu'aim justru mencela Umar, "Hendaknya engkau meluruskan urusan keluargamu dulu sebelum urusan Bani Manaf. Sesungguhnya adikmu sendiri Fathimah binti Khaththab dan suaminya yang juga anak pamanmu, Sa'id bin Zaid telah mengikuti ajaran      Muhammad, merekalah yang harus engkau selesaikan urusannya."
            Betapa geramnya Umar mendengar penjelasan Nu'aim bin Abdullah, dibelokkanlah langkahnya menuju rumah Sa'id bin Zaid dengan kemarahan yang memuncak. Saat itu, di rumah Sa'id juga ada Khabbab ibnu Aratt yang sedang mengajarkan ayat-ayat Al Qur'an pada mereka. Mendengar kedatangan Umar, Khabbab langsung bersembunyi, Sa'id membukakan pintu dan Fathimah menyembunyikan lembaran mushaf Al Qur'an.
Begitu melihat Sa'id, kemarahan Umar tidak bisa dibendung lagi, seolah kemarahannya kepada Nabi SAW ditumpahkan semua kepada adik iparnya tersebut. Dibentaknya Sa''id sebagai murtad dan memukulnya hingga terjatuh. Fathimah mendekat untuk membela suaminya, tapi dipukul oleh Umar pada wajahnya. Sungguh keadaan yang mengenaskan dan membahayakan bagi kedua suami istri tsb. Umar sudah menduduki dada Sa’id, satu pukulan telak dari jagoan Ukazh itu bisa jadi akan membunuhnya.
Namun tiba-tiba terdengar pekikan keras dari Fathimah, "Hai musuh Allah, kamu berani memukul saya karena saya beriman kepada Allah…! Hai Umar, perbuatlah apa yang engkau suka,
karena saya akan tetap bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, dan bahwa Muhammad adalah Rasullullah…!"
            Umar tersentak bagai disengat listrik, pekikan itu seakan menembus ulu hatinya…terkejut dan heran. Umar bin Khaththab adalah seorang lelaki yang sering dilukiskan sebagai : "Jika ia berbicara, maka orang akan terpaksa mendengarkannya, jika berjalan, langkahnya cepat bagai dikejar orang, jika berkelahi maka pukulannya adalah pukulan maut yang mematikan."
            Tetapi ternyata ada orang yang berani menentangnya, seorang wanita lagi, dan adiknya pula, kekuatan apa yang bisa membuatnya berani menentang kalau tidak kekuatan yang maha hebat, kekuatan iman…mulailah percik hidayah menghampirinya. Kemarahannya mereda, dimintanya lembar-lembar Al Qur'an yang dipegang Fathimah, tetapi sekali lagi jagoan duel di Pasar Ukazh ini seakan tak berkutik ketika adiknya tsb. Berkata dengan tegas, "Tidak mungkin, ia tidak boleh disentuh kecuali oleh orang-orang yang suci! Pergilah, mandilahlah dan bersuci..!!”
Bagai anak kecil yang penurut, Umarpun berlalu, sesaat kemudian kembali dengan jenggot yang mengucurkan air. Diberikanlah lembaran mushaf yang berisi Surah Thaha ayat 1 - 6. Makin kuatlah hidayah Allah membuka mata hatinya. Setelah ayat-ayat tersebut dibacanya, meluncurlah kata-kata dari mulutnya, "Tidak pantas bagi Allah yang ayat-ayatnya sebegini indahnya, sebegini mulianya mempunyai sekutu yang harus disembah, tunjukkanlah padaku dimana Muhammad?"
            Sebuah pernyataan yang menunjukkan perubahan sikap dan keyakinannya selama ini terhadap Nabi SAW. Khabbab bin Aratt pun keluar dari persembunyiannya dan berkata, "Bergembiralah Umar, sesungguhnya Nabi telah bersabda tentang dirimu, Beliau berdoa : Ya Allah, kuatkanlah Islam dengan salah satu dari dua Umar, Umar bin Hisyam (Abu Jahal) atau Umar bin Khaththab, dan engkau dipilih Allah untuk memperkuat Islam."
            Khabbab mengantarkan Umar ke rumah Al Arqam di dekat Shafa. Di sana ia ditemui Nabi SAW, Beliau memegang ujung baju Umar dan berkata,  "Masuklah kamu ke dalam Islam wahai Ibnu Al Khaththab. Ya Allah, berilah hidayah kepadanya!"
            Umar pun bersyahadat, maka bertakbirlah para sahabat yang hadir, dengan takbir yang bisa didengar hingga sepanjang jalan di kota Mekkah, bahkan juga sampai ke Ka.bah. Benarlah doa Nabi SAW, keislaman Umar mengguncangkan kaum musyrik dan menorehkan kehinaan bagi mereka, tetapi sebaliknya memberikan kehormatan, kekuatan dan kegembiraan bagi orang muslim.
            Tidak seperti muallaf sebelumnya yang umumnya menyembunyikan keislamannya, Umar sebaliknya. Diingatnya siapa yang paling memusuhi Nabi SAW, siapa lagi kalau bukan Abu Jahal. Umar mendatangi rumahnya dan menggebrak pintunya. Begitu Abu Jahal keluar, Umar memberitahukan keislamannya, Abu Jahal menutup pintu dan masuk kembali ke rumahnya. Begitupun ketika diberitahukan kepada pamannya, Al Ash bin Hasyim, dia justru masuk ke rumah. Biasanya mereka berdua ini kalau bertemu dengan orang yang masuk Islam, mereka menangkap dan menyiksanya.
            Ketika kembali kepada Nabi SAW, Umar menginginkan orang-orang Islam untuk tidak sembunyi-sembunyi lagi karena menurut pendapatnya, mereka ini dalam kebenaran, hidup ataupun mati. Pendapatnya ini dibenarkan oleh Nabi SAW dan beliau menyetujui keinginan Umar.
Beliau mengeluarkan orang-orang muslim dalam dua kelompok, kelompok pertama dipimpin Hamzah, yang telah memeluk Islam tiga hari mendahului Umar, dan kelompok kedua dipimpin Umar sendiri.
Orang-orang musyrik  hanya terpana tidak berani berbuat apa-apa seperti sebelumnya, tampak jelas kesedihan di mata mereka. Karena itulah Rasulullah menggelari Umar dengan Al Faruq, pemisah antara yang haq dan yang bathil. Sejak saat itu orang orang Islam bisa beribadah dan membuat majelis di dekat Ka'bah, thawaf dan berdakwah, serta melakukan pencegahan terhadap siksaan-siksaan.

Sikap Umar atas Perjanjian Hudaibiyah
            Ketika perjanjian Hudaibiyah disetujui antara pihak Quraisy dan Nabi SAW, sebagian besar orang-orang Islam merasa kecewa, Umar sempat berkata, "Sesungguhnya Rasulullah telah berdamai dan mengadakan perjanjian dengan penduduk Makkah, dalam perjanjian itu, Nabi SAW telah memberikan syarat yang kelihatannya lebih memihak pada kaum Quraisy. Seandainya Nabi mengangkat seorang amir yang berkuasa atasku, dan ia membuat perjanjian yang seperti itu, aku tidak akan mendengarkannya dan tidak akan taat kepadanya."
Secara umum, sikap Umar dan sebagian besar orang-orang Islam dapat dipahami, selain karena gagalnya niat untuk umrah, padahal sudah sangat dekat dengan Makkah, sementara golongan lain tidak dihalangi, terlebih adalah klausul ke empat dari perjanjian tsb., yaitu : Jika ada orang-orang Quraisy yang datang kepada Nabi SAW tanpa seijin walinya, walaupun ia telah memeluk Islam, Nabi SAW harus mengembalikannya kepada mereka. Tetapi jika ada orang Islam yang meninggalkan Nabi SAW dan bergabung dengan orang-orang Quraisy, maka dia tidak boleh diminta untuk dikembalikan kepada Nabi SAW.
Klausul ini tampak nyata "kerugiannya" ketika datang salah seorang Quraisy yang telah masuk Islam, Abu Jandal bin Suhail bin Amr dalam keadaan terbelenggu datang kepada Nabi SAW untuk meminta perlindungan. Ketika itu pihak kaum Quraisy, Suhail bin Amr, langsung meminta agar Abu Jandal, yang tidak lain anaknya sendiri, dikembalikan lagi kepadanya.
Walaupun dengan berbagai argumen, ternyata Rasulullah tidak bisa mempertahankan Abu Jandal untuk bersama umat Islam lainnya. Saat itu, Umar mendekati Abu Jandal menasehatinya tetap bersabar, tetapi juga mendekatkan gagang pedangnya kepada Abu Jandal. Sebenarnya ia berharap Abu Jandal akan mengambil pedang tsb. dan membabatkan ke tubuh ayahnya, tetapi itu tidak dilakukan oleh Abu Jandal.
            Sikapnya yang  temperamental dan tegas dengan kebenaran, memaksanya untuk menemui Rasulullah SAW setelah perjanjian ini dikukuhkan. Ia berkata kepada Rasulullah SAW, "Ya Rasulullah, bukankah kita berada di atas kebenaran dan mereka di atas kebathilan?"
Nabi SAW membenarkannya.
"Bukankah korban meninggal di antara kita berada di surga,dan korban mati di antara mereka di neraka."  Kata Umar lagi.
Nabi SAW membenarkan lagi. Umar berkata lagi, "Lalu mengapa kita harus merendahkan agama kita dan kembali, padahal Allah belum memberikan keputusan antara kita dan mereka.?"
            Nabi SAW menjawab, "Wahai Ibnul Khaththab, aku adalah Rasul Allah, dan aku tidak akan mendurhakaiNya, Dia penolongku, dan sekali-kali Dia tidak akan menelantarkan aku."
            Bukan namanya Umar al Faruq, kalau ia berhenti dengan penjelasan seperti itu, ia berkata lagi, "Bukankah engkau telah memberitahukan kepada kami, kita akan mendatangi Ka'bah dan Thawaf disana?"
            "Apakah aku pernah menjanjikan kita melakukannya tahun ini?" Kata Nabi SAW.
            "Tidak, Ya Nabiyallah…!" Jawab Umar.
Maka Nabi SAW menegaskan, "Kalau begitu, engkau akan pergi ke Ka'bah dan thawaf disana!!"
            Walau tidak bisa lagi mendebat Nabi SAW, kemudian Umar mendatangi Abu Bakar dan menyampaikan keresahan yang dirasakannya dan sebagian besar orang Islam lainnya. Tetapi Abu Bakar memberikan jawaban yang sama dengan Nabi SAW, dan akhirnya ia menasehati Umar, "Patuhlah engkau kepada perintah dan larangan beliau sampai engkau meninggal dunia, Demi Allah, beliau berada di atas kebenaran."
            Tak lama berselang, turunlah wahyu Allah, "Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata." (Al Fath 1). Nabi SAW membacakan ayat ini dan ayat-ayat selanjutnya kepada Umar, barulah hatinya merasa tenang.
            Berlalulah waktu, Umar menyadari apa yang dilakukannya kepada Nabi SAW, dan tak habisnya ia menyesali sikapnya. Ia ungkapkan kegundahan hatinya dengan kata-katanya, "Setelah itu aku terus menerus melakukan berbagai amal, bersedekah, berpuasa, shalat dan berusaha membebaskan dari apa yang kulakukan saat itu. Aku selalu dibayangi dengan peristiwa itu, dan aku berharap semoga ini merupakan kebaikan (sebagai penebus sikapku saat itu)"

Kelembutan Hati Umar

Rasa kasihan kepada kepada pemeluk non Islam
            Sikap tegas dan temperamental Umar bin Khaththab ternyata berubah drastis ketika ia telah dibaiat menjadi khalifah, pernah ia melewati biara seorang rahib, yang kemudian memanggilnya. Ketika melihat kehidupannya yang susah dan semangatnya dalam zuhud -meninggalkan segala kesenangan dunia- Umar jadi menangis.
Begitu diberitahukan kalau dia seorang Nashrani, Umar berkata, "Aku tahu dia seorang Nashrani, aku kasihan kepadanya. Sayang sekali ia dalam kelelahan dan kepayahan dalam kehidupan dunia ini, sedangkan di akhirat nanti ia masuk neraka."          
Pernah dikabarkan kepada Umar yang saat itu menjabat sebagai Amirul Mukminin, bahwa ada seseorang yang murtad, lalu oleh pasukan yang dipimpin oleh Abu Musa, orang tersebut dihukum mati. Umar menyesalkan tindakan tersebut. Ia berkata, "Apakah engkau telah menahannya selama tiga hari dan memberinya roti, serta memintanya untuk kembali kepada Islam dan bertaubat, kembali kepada perintah Allah? Ya Allah, sesungguhnya aku tidak hadir saat itu, tidak memerintahkannya, dan tidak ridha atas apa yang mereka lakukan jika kabar ini sampai kepadaku sebelumnya."
Walaupun secara hukum syariat, apa yang dilakukan oleh Abu Musa sebagai komandan pasukan tidak salah, tetapi tetap saja hal itu meresahkan Umar sebagai Amirul Mukminin, yang sebenarnya harus melindungi semua manusia yang berada di bawah pemerintahannya.

Menolong persalinan keluarga pengembara
            Telah menjadi kebiasaan Umar sebagai Amirul Mukminin untuk berkeliling kota saat malam hari menjelasng. Suatu ketika ia menemukan suatu kemah tua dari kulit unta di suatu padang, yang sebelum ini tidak pernah ditemuinya. Di luarnya ada seorang lelaki duduk termenung. Umar menghampirinya, dan bertanya, "Assalamualaikum, dari mana anda datang?"             "Wahai tuan," Kata orang itu, "Saya orang asing disini yang datang dari hutan, saya hendak menemui Amirul Mukminin untuk mengharap belas kasihannya."
            Tampaknya orang tersebut belum pernah bertemu dan mengenali wajah Umar, dan Umar tidak mau membuka jati dirinya. Ia berkata, "Katakanlah keperluanmu, aku bersedia membantu,"
Tiba-tiba didengarnya ada suara rintihan dari dalam kemah, Umar menanyakannya lagi, tetapi orang tersebut malah menyuruh Umar            pergi, tanpa menjelaskannya. Setelah Umar terus mendesak, orang tersebut berkata, "Jika benar engkau ingin membantu, baiklah kuberitahukan. Di dalam kemah tersebut adalah istriku yang mengerang kesakitan karena akan melahirkan."                "Apakah ada orang lain yang sedang merawatnya?" Tanya Umar.
Orang tersebut menggeleng sedih. Mendengar jawaban ini, Umar bergegas pulang dan menemui istrinya, Umi Kultsum binti Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah SAW. Ia menceritakan secara lengkap apa yang dilihatnya, dan berkata, "Wahai istriku, sesungguhnya Allah SWT membuka jalan bagimu, jalan yang mulia di sisi Allah, agar engkau memperoleh peluang berbuat kebaikan malam ini."
            Umar memintanya membantu persalinan wanita pengembara tersebut dan istrinya setuju. Ia mempersiapkan peralatan yang dibutuhkan dan Umar juga membawa perbekalan, kemudian bergegas menuju padang dimana suami istri pengembara itu berada. Sampai di sana, Umi Kultsum langsung masuk kemah dan menolong persalinan sang istri, sedang Umar menyalakan api kemudian memasak makanan untuk dua orang tersebut.
Tidak berapa lama, terdengar seruan Umi Kultsum dari dalam kemah, “Ya Amirul Mukminin, ucapkanlah tahniah (selamat) kepada saudaramu itu, karena ia memperoleh seorang anak laki-laki."
Mendengar ucapan dari dalam kemah tersebut, si lelaki jadi terkejut. Tidak disangkanya kalau yang bersusah payah membantunya ini ternyata Umar, Amirul Mukminin yang sempat diacuhkannya. Umar meminta istrinya membawa masuk makanan bagi sang ibu baru tersebut. Dan terhadap si lelaki yang tampak terkejut, ia berkata, "Tidak mengapa wahai Saudara, janganlah kedudukanku ini membebani perasaanmu. Datanglah besok menemuiku, aku akan mencoba menolongmu!"

Umar Menemukan Menantunya
            Salah satu kebiasaan Umar bin Khaththab saat menjadi khalifah, adalah berkeliling kota di waktu malam untuk mengetahui keadaan umat Islam. Ia khawatir kalau ada di antara mereka yang merasa terdzalimi karena kepemimpinannya, dan akan memberatkan hisabnya di akhirat.
            Dalam salah satu perjalanannya menjelang fajar, ia mendengar pembicaraan seorang ibu dan anak. Ibunya meminta anak perempuannya untuk mencampur susu yang akan dijual pagi harinya dengan air. Tetapi sang anak            dengan tegas menolak dan berkata, "Bagaimana mungkin aku mencampurnya, sedangkan Amirul Mukminin telah melarangnya!"
Tetapi ibunya tetap saja menyuruh anaknya, karena kebanyakan penjual susu melakukan itu, apalagi Amirul Mukminin Umar bin Khaththab tidak akan mengetahuinya. Tetapi putrinya itu bertahan untuk tidak mencampurinya dan berkata, "Jika Umar tidak melihatnya, pasti Tuhannya Umar melihatnya, aku tidak mau melakukannya karena sudah dilarang."
            Umar begitu tersentuh dengan ucapan anak perempuan itu. Pagi harinya ia menyuruh putranya, Ashim untuk mencari tahu tentang keluarga tersebut, yang ternyata salah seorang dari Bani Hilal. Umar berkata pada anaknya, "Wahai anakku, nikahlah dengannya, sesungguhnya ia yang pantas melahirkan keturunan seorang penunggang kuda yang akan memimpin Arab."
            Ashim memenuhi permintaan ayahnya tersebut menikah dengan anak gadis penjual susu. Dari pernikahannya itu, istrinya melahirkan seorang anak perempuan, yang kemudian dinikahi Abdul Aziz bin Marwan. Dari pernikahan ini lahirlah Umar bin Abdul Aziz, seorang pemimpin adil dan jujur, tak ubahnya Khulafaur            Rasyidin yang empat, walaupun ia tumbuh dan dewasa di kalangan Bani Umayyah yang mengagungkan kemewahan dan kekuasaan. Seorang pemimpin yang zuhud, sederhana dan wara' sebagaimana kakek buyutnya, Umar bin Khaththab, sehingga ia sering disebut Khulafaur Rasyidin yang ke lima.

Kata ‘Allah’ yang Membebaskan dari Perbudakan
            Suatu ketika Umar sedang tertidur lelap di pinggiran suatu jalan dan padang rumput, di bawah pohon yang tidak begitu rindang. Tiba-tiba datanglah serombongan besar kambing gembalaan dengan suara gemuruh sehingga membangunkannya dari tidur. Seorang budak yang menggembalakan kambing itu tidak mengacuhkannya, dianggapnya hanya orang Arab biasa dan bukanlah Amirul Mukminin. Dan memang seperti itulah penampilan Umar sehari-harinya sebagai ‘Presiden’ negara terbesar saat itu, negara Islam dengan wilayah yang sangat luas, yang meliputi bekas wilayah Romawi dan Persia, di samping Jazirah Arabia sendiri, dan sebagian Afrika. Sikap zuhud dan sederhana yang dicontohkan langsung oleh Rasulullah SAW.
            Meskipun terganggu, Umar sama sekali tidak marah, bahkan ia ingin menguji budak penggembala itu. Ia menghampirinya dan berkata, “Wahai saudaraku, juallah salah satu kambing itu kepadaku. Aku sangat memerlukannya untuk makan!!”
            Penggembala itu berkata, “Kambing-kambing ini bukan milikku tetapi milik tuanku. Aku hanyalah seorang budak miliknya!!”
            Umar masih mengujinya lagi, “Tuanmu itu tidak melihat kita, juallah satu saja untukku dan katakan kepada tuanmu kalau ia dimakan serigala!!”
            Penggembala itu memandang Umar dengan tajam, kemudian berkata, “Tetapi dimana Allah, wahai saudaraku orang Arab??”
            Setelah itu ia berlalu pergi dengan kambing-kambingnya. Umar memandangnya dengan takjub, penuh kekaguman. Tidak disangkanya seorang budak pengembala seperti itu memiliki ‘derajad’ muraqabah yang begitu tinggi. Muraqabah adalah derajad merasa selalu diawasi oleh Allah, yang layaknya hanya bisa diraih oleh seorang ulama atau ahli ibadah yang melazimi jalan menuju Allah.
            Umar mencari informasi tentang pemilik budak tersebut, dan keesokan harinya ia mendatanginya untuk membeli dan membebaskannya. Ia berkata kepada penggembala itu, “Kata ‘Allah’ yang engkau ucapkan itu membebaskanmu (dari perbudakan) di dunia ini, karenanya aku bermohon semoga Dia membebaskanmu dari neraka pada hari kiamat kelak!!”

Karamah Umar bin Khaththab

Memperingatkan Pasukan Perang dari Mimbar Jum'at
            Suatu ketika Umar bin Khaththab tengah berkhutbah di Masjid Madinah, tiba-tiba berseru lantang, "Wahai pasukan Ibnu Hishn, gunung! gunung! Menjauhlah dari gunung! Barang siapa meminta srigala menggembalakan kambing, ia dzalim!"
Sesaat kemudian ia meneruskan khutbahnya. Tentu saja para jamaah jum'at saat itu saling berpandangan tak mengerti, apa maksud dari Amirul Mukminin dengan perkataannya tsb. Usai shalat, Ali bin Abi Thalib menghampiri Umar dan menanyakan apa yang terjadi.
            "Engkau mendengarnya?" Tanya Umar.
            "Tentu saja, dan juga semua orang di dalam masjid!" Kata Ali.
            Umar menjelaskan, kalau dengan hatinya ia melihat orang-orang musyrikin bersiap menyerang pasukan muslim melalui pundak-pundak mereka, mereka akan melewati gunung. Jika orang mukmin berpaling dari gunung, mereka dapat menyerang dan menang, tetapi jika mereka melintasi gunung, mereka yang akan hancur. Karena itu aku berteriak memperingatkan mereka.
Sebulan kemudian ada pembawa berita ke Madinah tentang kemenangan pasukan muslimin. Pada hari peperangan itu terdengar suara seperti suara Umar memperingatkan, "Wahai pasukan Ibnu Hishn, gunung! Gunung ! Menjauhlah dari gunung!" Mereka mengikuti suara tersebut sehingga Allah memberi kemenangan kepada mereka.

Berkirim Surat kepada Sungai Nil
            Mesir ditaklukkan pasukan muslim dan Amru bin Ash diangkat sebagai Gubernur Mesir. Suatu saat ia didatangi sekelompok penduduk sekitar sungai Nil karena sungai itu sedang kering. Mereka berkata, "Wahai Gubernur, saat ini sungai Nil sedang kering. Kami biasa melakukan suatu tradisi, dan sungai Nil itu tidak akan mengalirkan air kecuali jika kami memenuhi tradisi tersebut."           Waktu Amr bin Ash menanyakan tentang tradisi tersebut, mereka menjelaskan, bahwa setelah berlalu sebelas hari dari bulan tersebut, mereka mencari seorang gadis untuk dikurbankan. Mereka meminta kerelaan orang tuanya, kemudian gadis ini didandani dan diberi perhiasan yang paling indah, dan akhirnya dilemparkan ke sungai Nil sebagai persembahan. Jika semua itu dilakukan, biasanya Nil akan mengalirkan airnya lagi.
Tentu saja Amr bin Ash melarang dilanjutkannya tradisi yang seperti itu, karena Islam menghancurkan tradisi-tradisi jahiliah yang merusak. Kembalilah penduduk sekitar Nil ini ke rumahnya masing-masing dan sungai itu tetap dalam keadaan kering, hingga hampir saja mereka memutuskan untuk pindah.
            Melihat keadaan yang memprihatinkan masyarakat itu, Amru bin Ash mengirim surat pada Umar bin Khaththab dan menceritakan keadaannya. Umar segera membalas surat Amr bin Ash dan membenarkan tindakan yang diambilnya untuk menghentikan tradisi kuno tsb. Selain itu Umar juga menyelipkan suatu surat lain, yang ditujukan untuk sungai Nil. Amr diminta untuk  melemparkan         surat tersebut ke dalam sungai Nil yang sedang kering. Isi surat tersebut adalah sebagai berikut : "Dari hamba Allah, Umar bin Khaththab, Amirul Mukminin, kepada hamba Allah Nil di Mesir, Amma Ba'du. Jika engkau mengalir dari dirimu sendiri, maka janganlah kamu mengalir. Namun jika Allah yang mengalirkan, maka mintalah kepada Dzat Yang Maha Kuat untuk mengalirkanmu."
            Amr melemparkan surat tersebut ke sungai Nil pada malam harinya, sehari sebelum peringatan hari raya salib. Pada pagi harinya, sungai Nil telah terisi air sedalam enam belas hasta hanya dalam semalam, dan mengalir terus hingga sekarang. Sungguh dengan ijin Allah, tradisi kuno yang berjalan ratusan bahkan ribuan tahun telah dihancurkan oleh secarik surat Umar bin Khaththab.

Kekhawatiran Umar sebagai Amirul Mukminin

"Cambuklah aku sebagai tindakan balas"
            Umar sedang sibuk dengan suatu urusan penting, ketika seseorang datang untuk mengadukan kalau dirinya didzalimi oleh seseorang. Umar yang merasa terganggu, menjadi marah dan mencambuk orang tersebut, sambil berkata, "Ketika aku menyediakan waktu untuk menerima pengaduan, engkau tidak datang. Sekarang ketika aku sedang sibuk dengan suatu urusan penting, engkau datang mengganggu."  
            Menerima perlakuan ini, orang itu berlalu meninggalkan Umar. Sesaat kemudian Umar sadar apa yang telah dilakukannya. Sebagai seorang Amirul Mukminin, tidak seharusnya ia mendzalimi orang yang mengadu kepadanya. Umar   mengirim seseorang untuk menjemput orang tersebut, ketika dia datang, Umar menyodorkan cambuk yang tadi dipakainya untuk mencambuk, dan berkata, "Cambuklah aku sebagai tindakan balas, karena aku telah mendzalimimu!"
            "Tidak!" Kata orang itu, "Aku telah memaafkanmu karena Allah."
            Umar menangis mendengar jawaban itu, ia pulang dan mendirikan shalat dua rakaat, dan terus menerus mengatakan pada dirinya sendiri dengan menangis, "Wahai Umar, dahulu kedudukanmu rendah tetapi kini ditinggikan oleh Allah. Dahulu engkau sesat tetapi kini diberi hidayah oleh Allah. Dahulu kamu hina tetapi kini Allah memuliakan dan menjadikanmu seorang khalifah. Namun ketika salah seorang dari mereka memohon keadilan, engkau malah memukul dan menyakitinya, hari kiamat nanti, apa yang akan engkau katakan kepada Allah sebagai alasan?"

"Apa setiap orang Islam mampu membeli tepung yang baik?"
            Satu saat ketika sedang makan, pembantunya memberitahukan kalau seorang sahabat, Utbah bin Abi Farqad datang untuk menemuinya, dan Umar mengijinkannya. Utbah masuk dan duduk bersama Umar dan dipersilahkan untuk makan roti bersamanya. Utbah kesulitan untuk menelan roti tersebut karena terlalu keras, ia berkata, "Padahal engkau mampu membeli makanan dari tepung yang empuk..!!"
            "Apakah setiap orang Islam mampu membeli tepung yang baik?" Tanya Umar.
            "Tentu saja tidak!" Kata Utbah.
            "Sungguh menyesal," Kata Umar, "Engkau menginginkan agar aku menghabiskan seluruh kenikmatan hidupku di dunia ini?"
            Memang telah menjadi komitmien Umar ketika diba'iat sebagai Khalifah, "Kalau terjadi kelaparan pada umat Islam, akulah orang pertama yang akan mengalami kelaparan. Dan jika terjadi kemakmuran bagi umat Islam, aku adalah orang terakhir yang merasakan kemakmuran itu."
Dan inilah yang dilihat oleh sahabat Utbah, dan juga sahabat-sahabat lainnya, bagaimana Umar menjalani kehidupannya sebagai khalifah.

"Bagaimana dan dari mana asal susu ini?"
            Suatu kali seseorang membawakan segelas susu untuk Umar, Umar yang memang sedang kehausan segera saja meminum susu tsb., tetapi dirasakannya ada yang aneh dengan susu tersebut, iapun bertanya, "Bagaimana dan dari mana susu ini?
            "Di hutan sana ada seekor unta sedekah," Kata orang itu, "Ketika aku berjalan di sana, orang-orang sedang memerah susu unta tersebut, mereka memberikan segelas susu kepadaku, yang kemudian kuberikan kepadamu."
            "Astaghfirullah," Kata Umar. Ia memasukkan tanganmya ke mulutnya, dan berusaha untuk memuntahkan semua susu yang telah diminumnya. Ia tidak ingin ada barang syubhat yang masuk ke perutnya.

 "…Itu berarti aku mendapatkan lebih dari hakku yang halal!"
            Ketika Bahrain ditaklukan, didatangkanlah sejumlah besar kesturi ke kota Madinah. Umarpun berkata, "Apakah ada di antara kalian yang mau menimbang dan membagi-bagikan kesturi ini pada umat Islam?"
            "Saya bersedia menimbangnya!" Kata Atikah, yang tidak lain istri Umar sendiri.
Tetapi Umar mengabaikannya dan sekali lagi mengulang pertanyaannya. Karena tidak ada yang menjawab, atau bisa juga sungkan karena Atikah, istri Amirul Mukminin telah mengajukan diri, sekali lagi Atikah yang menyatakan kesediaannya, dan Umarpun masih mengabaikannya.
Ketika untuk ketiga kalinya Atikah mengajukan dirinya, Umar berkata, "Aku tidak suka kamu meletakkan kesturi itu di timbangan dengan tanganmu, kemudian kamu menyapukan  tangan yang berbau kesturi ke badanmu, karena itu berarti aku mendapatkan lebih dari hakku yang halal."

"….Apakah engkau mengira bahwa sabda Nabi SAW akan terjadi pada jamanku?"
            Seusai perang Hunain, ketika orang-orang Anshar merasa tidak puas dengan cara Nabi SAW membagi ghanimah, beliau mengumpulkan mereka dan menjelaskan alasannya. Setelah itu beliau bersabda, bahwa orang-orang Anshar suatu ketika akan menerima perlakuan berat sebelah dan tidak adil dari mereka yang sedang berkuasa.
            Suatu ketika Umar membagi-bagikan pakaian kepada umat Islam. Usaid bin Hudair, salah seorang tokoh sahabat Anshar, melihat seorang pemuda Quraisy memakai pakaian pemberian Umar yang lebih bagus daripada yang diterimanya, iapun berkata, "Benarlah Allah dan Rasulnya!!"
            Ketika Umar diberitahu tentang penuturan Usaid, segera saja ia menemui Usaid, yang saat itu sedang shalat. Dengan sabar Umar menunggunya sampai selesai shalat, setelah itu ia berkata, "Wahai Usaid, apakah engkau mengira bahwa sabda beliau itu (yakni sabda beliau seusai Perang Hunain) akan terjadi pada jamanku ini? Sesungguhnya pakaian itu telah aku berikan kepada seseorang yang mengikuti perang Badar dan Uhud, dan juga Ba'iatul Aqabah, dan pemuda Quraisy itu telah membeli pakaian tersebut darinya!"           
            Setelah mendengar penjelasan tersebut, Usaid berkata, "Demi Allah, aku mengira hal itu tidak akan terjadi pada jamanmu!!"
            Dalam kasus yang sama, Muhammad bin Maslamah RA, seorang sahabat Anshar juga, dua kali bertemu dengan orang Quraisy yang berpakaian bagus, dan mereka berkata kalau diberi oleh Amirul Mukminin, yakni Umar bin Khaththab. Sejenak kemudian ia bertemu seorang Anshar yang berpakaian jelek, yang juga diberi oleh Umar. Maka, ketika ia masuk ke dalam Masjid Nabi SAW, iapun berseru agak keras, "Allahu Akbar, sungguh benarlah Allah dan RasulNya!"
Ibnu Maslamah mengulang ucapannya tersebut sampai dua kali. Umar yang mendengar ucapannya tersebut segera menghampirinya dan menanyakan maksudnya, tetapi Ibnu Maslamah menunda menjawabnya hingga ia selesai shalat sunnah.
Usai shalat, ia menemui Umar dan menceritakan apa yang ditemuinya dalam perjalanan, dan juga sabda Nabi SAW kepada orang-orang Anshar setelah berakhirnya Perang Hunain, kemudian ia berkata, "Sungguh aku tidak ingin dan tidak senang, sabda Nabi SAW tersebut terjadi pada jamanmu ini!"
            Umar menangis mendengar penuturan tersebut, dan berkata, "Aku memohon ampunan kepada Allah, sungguh aku tidak akan mengulanginya lagi!"

“...naiklah, ini giliranmu…!!”
            Pada tahun 16 hijriah, pasukan muslim mengepung kota al Quds, di mana disana terdapat Baitul Maqdis (Masjidil Aqsha). Setelah beberapa waktu lamanya, akhirnya gubernur al Quds, Beatrice Sofernius menyerah dan bersedia menyerahkan kota tersebut, khususnya Baitul Maqdis, tetapi langsung kepada Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab. Karena itu komandan pasukan mengirim surat untuk meminta kehadiran Umar ke sana.
            Umar langsung menanggapi permintaan tersebut, ia berangkat dengan hanya seorang pembantunya dan satu tunggangan (kuda atau onta). Ketika sampai di luar kota Madinah, Umar berkata kepada pembantunya, “Wahai Ghulam, kita berdua hanya memiliki satu tunggangan. Jika saya naik dan engkau berjalan kaki, artinya aku menzhalimimu. Jika engkau naik dan aku berjalan kaki, engkau yang menzhalimiku. Jika kita berdua naik, kita menzhalimi tunggangan kita…”
            “Kalau begitu bagaimana sebaiknya, ya Amirul Mukminin?”
            Marilah kita bagi tiga periode waktu, pertama aku yang menaikinya, kedua engkau yang menaikinya, dan ketiga, biarlah tunggangan kita melenggang tanpa beban. Pelayannya tersebut menyetujuinya. Umar memperoleh giliran pertama menaikinya, setelah waktu yang disepakati habis, ganti sang pelayan yang menaikinya, dan setelah waktunya habis, mereka berdua membiarkan tunggangannya bebas.
            Begitulah giliran itu bergulir terus, ketika telah memasuki pintu kota al Quds, ternyata bertepatan dengan selesainya giliran Umar, dan ia turun sambil berkata kepada pembantunya, “Kini giliranmu, naiklah!!”
            Sang pembantu berkata, “Wahai Amirul Mukminin, engkau jangan turun dan saya tidak mungkin naik. Kita telah sampai di kota tujuan, di sana ada peradaban, kemajuan dan berbagai pemandangan modern. Jika kita datang dengan keadaan ini, saya naik sedang engkau menuntun, tentu mereka akan merendahkan dan mentertawakan kita. Dan itu akan mempengaruhi kemenangan kita!!”
            Tetapi dengan tegas Umar berkata, “Naiklah, ini giliranmu. Demi Allah, kalau memang waktunya giliranku, aku tidak akan turun dan engkau tidak perlu naik!!”
            Inilah memang ciri khas Umar, ia takut berlaku zhalim dan bersikap tidak adil kalau harus tetap naik tunggangan hanya karena telah memasuki kota al Quds. Ketika masyarakat kota yang menyambut mereka di Babul Damaskus melihatnya, mereka langsung mengelu-elukan sang pembantu yang menunggang dan mengabaikan Umar yang menuntun tunggangan. Memang, dalam penampilan dan baju yang dikenakan, Umar tidaklah jauh berbeda dengan pembantunya tersebut. Bahkan ada beberapa orang yang melakukan penghormatan dengan sujud, sehingga pembantu itu memukulnya dengan tongkatnya, sambil berkata, “Celaka kalian, angkatlah muka kalian, sungguh tidak boleh bersujud kecuali kepada Allah semata..!!”
            Ketika tiba di hadapan gubernur Beatrice Sofernicus dan pasukan muslimin, barulah mereka tahu kalau Amirul Mukminin Umar bin Khaththab itu adalah yang berjalan menuntun tunggangan, karena mereka menyapa dan menyalaminya.
            Setelah melakukan serah terima kota al Quds, Beatrice mengajak Umar untuk meninjau Gereja Kiamah, dan Umar memenuhi permintaannya itu. Di tengah peninjuan itu tiba waktu shalat, maka Umar berkata, “Di mana saya bisa shalat?”
            Beatrice menunjuk salah satu ruangan di dekatnya berdiri, maka Umar-pun berkata, “Umar tidak mungkin shalat di gereja Kiamah ini. Nanti di kemudian, kaum muslimin akan berkata : Di sini Umar pernah menjalankan shalat. Maka mereka akan menghancurkan gereja ini dan membangun masjid di reruntuhannya…!!”
            Kemudian Umar keluar dari gereja dan mendirikan shalat di tempat terbuka, sejauh jarak lemparan batu. Di kemudian hari kaum muslimin mendirikan masjid yang diberi nama Masjid Umar bin Khaththab, berdiri megah tidak jauh dari gereja Kiamah tersebut.

“Berapa engkau menjual kedzaliman Umar?”
            Setelah pulang dari perjalanannya ke Syam, Umar melakukan inspeksi ke pelosok-pelosok seperti kebiasaannya. Ia menjumpai seorang wanita tua yang tinggal di tempat sangat sederhana. Umar mengucap salam kepada wanita itu, dan ia mendapat jawaban mengejutkan. Setelah menjawab salamnya, wanita itu berkata, “Siapa lagi ini? Apa saja yang diperbuat Umat?”
            Tampaknya wanita itu belum pernah tahu wajah Umar sehingga ia berkata seperti itu. Tanpa memperkenalkan dirinya, Umar berkata, “Ia baru saja datang dari Syam dalam keadaan selamat!!”
            Wanita itu berkata dengan sinis, “Tidak seperti itu!!”
            “Mengapa seperti itu?” Tanya Umar
            Wanita itu berkata lagi, “Demi Allah, ia belum pernah memberikan sesuatu kepadaku sejak ia diangkat sebagai khalifah!!”
            “Tetapi ia tidak tahu keadaanmu karena engkau tinggal di tempat terpencil seperti ini!!”
            “Subkhaanallah, aku tidak menyangka, seseorang yang diserahi tugas mengurus persoalan kaum muslimin, ia tidak tahu apa yang terjadi di timur dan di barat!!”
            Langsung saja Umar menangis tersedu, di dalam hati ia berkata, “Duhai, celaka sekali engkau Umar, semua orang lebih pintar daripada kamu, bahkan wanita tua renta ini!!”
            Kemudian ia berkata, “Wahai hamba Allah, berapakah engkau akan ‘menjual’ kedzaliman Umar itu. Aku ingin membebaskannya dari neraka!!”
            Wanita tua itu, yang masih tidak menyadari dengan siapa ia bicara, berkata, “Janganlah engkau bercanda, semoga Allah merahmatimu!!”
            Umar berkata tegas, “Aku tidak bercanda!!”
            Dengan berbagai cara, akhirnya Umar bisa membujuk wanita itu dan ‘menjual’ kedzaliman Umar kepadanya, artinya ia menghalalkan/memaafkan Umar, dengan harga duapuluh dinar. Ketika proses itu terjadi, lewatlah Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Mas’ud, dan mereka menyapa, “Assalamu’alaika, ya Amirul Mukminin!!”
            Wanita tua itu langsung terkejut, ia meletakkan tangannya di kepala dan berkata, “Aduh, alangkah celakanya diriku, aku telah memaki Amirul Mukminin di hadapannya!!”
            Umar berkata menenangkannya, “Tidak mengapa fulanah, semoga Allah merahmatimu!!”
            Umar meminta sesobek kain untuk menulis perjanjian itu, tetapi wanita itu tidak memiliki apapun, maka Umar menyobek sebagian bajunya untuk menuliskannya. Setelah itu ia berkata kepada wanita tua itu, “Ketika tiba hari pengadilan Makhsyar nanti, janganlah engkau lupa bahwa Umar telah lepas dari beban ini. Ini saksinya Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud!!”
            Umar memberikan surat perjanjian itu kepada salah satu putranya, dan berpesan agar diselipkan di kain kafannya jika ia telah meninggal.

“…Allah yang akan mengadili antara aku dan Umar…!!”
            Suatu malam Umar berjalan berkeliling meninjau keadaan masyarakat ditemani pembantunya, Aslam. Tiba-tiba ia bertemu seorang wanita yang sedang memasak sesuatu di dalam kuali, kelihatannya airnya telah mendidih cukup lama. Api yang menjilat-jilat besar dari suatu tungku cukup menghangatkan suasana sekitarnya, sementara di sekitarnya ada beberapa orang anak yang sedang menangis. Umar menghampirinya dan mengucap salam, meminta ijin untuk bergabung (mendekat). Wanita itu berkata agak ketus, “Mendekatlah dengan baik, atau tinggalkan saja tempat ini!!”
            Umar berkata, “Apa yang sedang engkau lakukan?”
            “Mengusir hawa dingin malam!!”
            “Mengapa anak-anak ini menangis?”
            Wanita itu menjawab pendek, “Mereka Lapar!!”
            “Apa yang sedang engkau masak itu?”
            “Hanyalah air, untuk menghibur mereka hingga mereka kelelahan dan tertidur. Sungguh Allah akan mengadili antara aku dan Umar pada Yaumul Makhsyar kelak!!”
            “Semoga Allah merahmatimu, memangnya ada apa dengan Umar??”
            “Ia memimpin kami, tetapi ia mengabaikan kami!!”
            Umar tersentak dengan ucapannya itu. Ia segera pulang, menuju tempat penyimpanan gandum dan daging. Ia meminta Aslam untuk menaikan satu karung gandum dan sebungkus daging itu ke punggungnya, tetapi Aslam berkata, “Wahai Amirul Mukminin, biarlah saya saja yang membawanya!!”
            Umar berkata tegas, “Apakah engkau mau menanggung dosaku di akhirat kelak??”
            Maka Aslam menaikkannya ke punggung Umar, yang bergegas pergi ke tempat wanita itu memasak air. Setibanya di sana, langsung saja Umar memasak gandum dan daging itu seperlunya hingga matang. Setelah itu ia meminta beberapa piring (wadah) kepada wanita itu dan mengisinya, sambil berkata, “Berilah makan anak-anakmu dengan makanan ini, aku akan membantumu!!”
            Umar menunggui mereka makan. Jika ada yang minta tambah, Umar segera mengambilkan untuk mereka hingga kenyang semua. Setelah anak-anaknya bermain-main dengan senangnya, wanita itu berkata, “Engkau lebih patut mengurus masalah ini daripada Amirul Mukminin Umar!!”
            Tampaknya wanita itu benar-benar tidak menyadari siapa penolongnya itu. Umar hanya tersenyum kecil sambil berkata, “Berkatalah yang baik, jika kelak engkau menghadap Amirul Mukminin, engkau akan menemuiku di sana, insyaallah!!”
            Umar meninggalkan sisa bahan makanan itu dan menambahkan beberapa keping dirham untuk wanita itu, kemudian berlalu pergi.

Gaji Umar bin Khaththab sebagai Amirul Mukminin
            Seperti halnya yang ia sarankan kepada Abu Bakar, setelah diba'iat sebagai khalifah, Umar tidak mungkin tetap berdagang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Karena itu ia mengumpulkan masyarakat Madinah seraya berkata pada mereka, "Dahulu aku berdagang untuk memenuhi kebutuhan keluargaku, sekarang kalian telah memberiku kesibukan dalam menangani urusan ini, bagaimana aku akan memenuhi kebutuhan hidup keluargaku?"
            Merekapun setuju memberikan tunjangan kepada Umar sebagaimana dahulu diberikan kepada Abu Bakar, tetapi berbagai usulan yang berbeda muncul dalam menentukan jumlahnya. Setelah berbagai perbedaan pendapat tanpa kepastian, Umar berpaling kepada Ali bin Abi Thalib, "Bagaimana pendapatmu, wahai Ali?"
            "Ambillah uang sekedar yang bisa memenuhi mencukupi kebutuhan keluargamu!!" Kata Ali.
            Dengan senang hati, Umar menerima usulan Ali ini. Berlalulah waktu, Islam memperoleh kejayaan dimana-mana sehingga harta benda mengalir ke Madinah memenuhi Baitul Mal. Beberapa sahabat, di antaranya Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah termasuk Ali bin Abi Thalib berkumpul dalam satu majelis untuk mengusulkan kenaikan tunjangan bagi Umar, karena tunjangan tersebut dinilai terlalu kecil, terlebih jika melihat begitu banyaknya kekayaan negara dalam Baitul Mal.
            Kesepakatan tercapai, tetapi mereka takut untuk menyampaikan hal ini pada Umar. Karena itu mereka meminta tolong kepada Hafshah RA, putri Umar yang juga Istri Nabi SAW, untuk menyampaikan usulan ini pada Umar, tetapi mereka berpesan agar merahasiakan nama-nama mereka. Ketika Hafshah mengemukakan usul ini, Umar menjadi marah.
            "Siapa yang mengajukan usul tersebut?" Kata Umar dengan nada tinggi.
            "Bagaimana pendapat dulu, ayah?" Kata Hafshah mengelak, karena ia telah berjanji merahasiakannya.
            "Seandainya aku tahu nama-nama mereka, niscaya aku pukul wajahnya," Kata Umar,
"Katakan padaku Hafshah, apakah pakaian terbaik Nabi SAW yang ada di rumahmu?"                  "Sepasang pakaian berwarna merah, yang dipakai pada hari Jum'at dan ketika menerima tamu…"
            "Makanan apa yang paling lezat, yang pernah dimakan Nabi SAW di rumahmu?" Tanya Umar lagi.
            "Roti yang terbuat dari tepung kasar, yang dicelup ke dalam minyak. Suatu kali saya oleskan sisa-sisa mertega, dan beliau memakannya penuh nikmat dan membagi-bagikannya pada orang lain…"
            "Alas tidur apa yang paling baik, yang pernah dipakai Nabi SAW di rumahmu?" Tanya Umar lagi.
            "Sehelai kain tebal, yang pada musim panas dilipat empat, dan pada musim dingin dilipat dua, separuh dijadikan alas tidur, dan separuhnya lagi untuk selimut…" Kata Hafshah.
            Umar kemudian berkata, "Sekarang pergilah, katakan pada mereka Rasulullah telah mencontohkan pola hidup seperti ini dan aku mengikuti beliau. Nabi SAW, Abu Bakar dan aku bagaikan tiga orang musafir yang menempuh suatu jalan. Musafir pertama telah sampai dengan perbekalannya, musafir kedua telah mengikuti jejak musafir pertama. Dan yang ketiga ini baru saja memulai perjalanannya, kalau ia mengikuti jejak keduanya, ia akan sampai kepada mereka, jika tidak maka ia tidak akan pernah bertemu mereka lagi."