Setelah pasukan berkuda Khalid bin
Walid mematahkan perlawanan Ibnu Jubair dan sembilan temannya yang tetap
bertahan di atas bukit, kemudian menyerang kaum muslimin dari belakang, pasukan
muslimin benar-benar centang-perenang. Ditambah lagi serangan dari pasukan inti
Quraisy yang telah kembali ke arena pertempuran, pasukan muslimin jadi terpecah
belah tidak karuan, bahkan banyak yang melarikan diri dan juga menyerah
meletakkan senjatanya di tanah. Mereka yang masih mencoba bertahan juga
diserang kepanikan karena keadaan yang begitu cepat berubah, sehingga ada yang
secara tidak sengaja menyerang dan membunuh sesama muslim, seperti yang terjadi
pada Al Yaman, ayah dari sahabat Hudzaifah.
Beberapa orang sahabat seperti Abu
Bakar, Umar bin Khaththab, Ali bin Abi Thalib dan beberapa lainnya yang telah
terlanjur jauh di depan, berusaha untuk mundur karena pikiran mereka tertuju
pada keselamatan Nabi SAW. Tetapi untuk itu mereka juga harus menyibak jalan
dengan bertempur, karena pasukan Quraisy sepertinya ada di mana-mana. Apalagi
mereka juga tidak tahu pasti dimana keberadaan beliau setelah keadaan menjadi
kacau balau seperti itu.
Nabi SAW sendiri terpecil hanya
dengan sembilan orang sahabat, tetapi keberadaan beliau belum diketahui oleh
pasukan Quraisy karena beliau memakai baju besi, termasuk yang menutupi wajah
beliau. Dua sahabat Muhajirin, yakni Thalhah bin Ubaidillah dan Sa’d bin Abi
Waqqash, serta tujuh sahabat Anshar, di antaranya Umarah bin Yazid bin Sakan,
yang jadi benteng terakhir beliau saat itu. Kalau saja keberadaan Nabi SAW
tetap tidak diketahui, peperangan mungkin akan merata di segala lini, tetapi
melihat keadaan pasukan muslimin yang seperti itu, beliau berseru keras, “Wahai
kaum muslimin, kemarilah, aku adalah Rasulullah!!”
Dampak dari seruan itu ternyata
luar biasa, kaum muslimin menyibak jalan pertempuran untuk bisa sampai ke sana , tetapi pada saat
yang sama, kaum Quraisy memusatkan serangan ke tempat beliau berada. Melihat
gelombang serangan yang begitu hebat, Nabi SAW bersabda, “Siapa saja yang
melindungi aku, dia akan masuk surga dan menjadi pendampingku di surga!!”
Sembilan orang sahabat itu langsung
bersiaga, salah satu dari sahabat Anshar langsung merangsek maju menghambat
laju serangan kaum Quraisy. Setelah ia menemui syahidnya, salah seorang Anshar
lainnya ganti menyerang untuk menghambat gerak pasukan Quraisy. Begitu
seterusnya, satu persatu maju, hingga orang Anshar ke tujuh, Umarah bin Yazid
bin Sakan. Ketika Umarah melakukan perlawanan, pasukan Quraisy telah sangat
dekat dengan Nabi SAW. Thalhah dan Sa’d dengan susah payah menghalau panah dan
lembing yang mengarah kepada Nabi SAW. Ketika Umarah akhirnya tewas terkapar
menemui syahidnya, pipinya teregeletak di kaki Nabi SAW.
Setelah tewasnya Umarah inilah
serangan kaum kafir Quraisy makin menjadi-jadi. Utbah bin Abi Waqqash, saudara
dari Sa’d, berhasil menyerang Nabi SAW dengan batu hingga melukai lambung, gigi
seri dan bibir beliau. Abdullah bin Syihab berhasil memukul dan melukai kening
beliau. Dan akhirnya Abdullah bin Qami’ah berhasil memukul bahu dan pipi beliau
hingga beliau jatuh terjerembab ke dalam suatu lubang, dan dua potongan besi
menancap di pipi beliau. Dua sahabat Muhajirin yang tersisa itu hampir tidak
mampu lagi bertahan, tetapi tiba-tiba Sa’d melihat dua orang berpakaian putih
yang bertempur di sisi Rasulullah SAW, yang ia belum pernah melihat ‘orang’
itu, baik sebelum atau sesudah pertempuran itu. Dalam suatu riwayat, Nabi SAW
menjelaskan bahwa dua orang itu adalah malaikat Jibril dan Mikail.
Ketika pada akhirnya Thalhah roboh,
dua orang sahabat berhasil mencapai tempat Nabi SAW, yakni Abu Bakar dan Abu
Ubaidah bin Jarrah. Kemudian beberapa orang menyusul seperti Abu Dujanah, Ali
bin Abi Thalib, Sahl bin Hanif, Malik bin Sinan, seorang wanita Anshar, Nasibah
(Nusaibah) binti Ka’ab al Maziniyah, atau yang lebih dikenal dengan Ummu
Ammarah, Umar bin Khaththab, Qatadah bin Nu’man, Hathib bin Abi Balthaah, dan Abu
Thalhah.
Note:sn346347