Abdurrahman bin Auf termasuk dalam kelompok sahabat as Sabiqunal Awwalun , ia memeluk Islam pada hari-hari pertama Islam didakwahkan, yakni lewat perantaraan Abu Bakar ash Shiddiq. Ia mempunyai garis keturunan yang sama dengan Rasulullah SAW, yakni bertemu pada Kilab bin Murrah, empat generasi di atasnya, dan berusia sepuluh tahun lebih muda daripada Nabi SAW. Pada masa jahiliahnya ia bernama Abdul Amr atau Abdul Ka’bah, dan setelah keislamannya, Nabi SAW mengganti namanya dengan Abdurrahman.
Abdurrahman juga termasuk dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga ketika masih hidupnya. Sembilan orang lainnya adalah empat khalifah Khulafaur Rasyidin, Abu Bakar, Umar Utsman dan Ali, kemudian Abu Ubaidah bin Jarrah, Sa’d bin Abi Waqqash, Sa’id bin Zaid, Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam. Ia juga seorang sahabat yang berhasil dalam perniagaannya, sehingga hartanya selalu berlimpah. Apapun bidang usaha yang ditekuninya selalu memberikan keuntungan, sehingga ia sempat takjub atas dirinya sendiri, dan berkata, "Sungguh mengherankan diriku ini, seandainya aku mengangkat batu tentulah kutemukan emas dan perak di bawahnya."
Namun kekayaannya yang melimpah tidak menjadikannya takabur. Orang yang belum pernah mengenalnya, bila bertemu untuk pertama kali, mereka tidak akan bisa membedakan antara dirinya sebagai tuan dan pelayan/pegawainya, karena kesederhanaan penampilannya.
Ketika datang perintah hijrah ke Madinah, seperti kebanyakan sahabat lainnya, Ibnu Auf meninggalkan harta kekayaannya di Makkah kecuali sedikit sekali, sekedar untuk perbekalan. Di Madinah Nabi SAW mempersaudarakannya dengan Sa’d bin Rabi al Anshari. Sa’d berkata kepadanya, “Aku adalah (salah satu) orang Anshar yang paling kaya, aku bagi dua hartaku dan separuhnya untukmu. Lihatlah istri-istriku, mana yang engkau sukai akan aku ceraikan. Setelah usai iddahnya, engkau bisa menikahinya…"
Ia amat berterima kasih atas tawarannya tersebut, tetapi ia tidak mau menerimanya begitu saja. Ia hanya minta ditunjukkan pasar dan keesokan harinya ia berangkat ke pasar kaum Yahudi Bani Qainuqa. Ia berdagang keju dan minyak samin, dan tidak berselang terlalu lama ia menjadi seorang pedagang yang sukses dan kaya raya.
Pernah ia dipusingkan dengan hartanya yang begitu berlimpah sehingga ia begitu gelisah dan tidak bisa tidur. Istrinya yang bijak dan penuh keimanan memberikan saran yang bisa menentramkan hatinya. Sang istri berkata, "Hendaknya hartamu engkau bagi tiga, dengan sepertiganya, engkau carilah saudaramu seiman yang berhutang dan lunasilah hutang mereka. Dengan sepertiganya lagi, carilah saudaramu seiman yang memerlukan uang dan berilah mereka pinjaman. Dan sepertiganya lagi, engkau pakai sebagai modal perniagaanmu…"
Ketika Nabi SAW menyeru agar umat Islam bersedekah untuk mendanai Perang Tabuk, Abdurrahman bin Auf menyedekahkan seluruh hartanya yang berjumlah sekitar 200 uqiyah atau 8000 dirham. Umar bin Khaththab mengadukan sikap Abdurrahman kepada Nabi SAW karena tidak menyisakan apapun untuk keluarganya, sedangkan ia sendiri menyedekahkan separuh hartanya sebanyak 100 uqiyah, separuhnya lagi ditinggalkan untuk keperluan keluarganya.
Karena pengaduan Umar ini, Rasulullah SAW memanggilnya, kemudian bertanya, "Wahai Abdurrahman, apakah engkau menyisakan sesuatu untuk keluarga yang engkau tinggalkan berjihad??"
"Benar, ya Rasulullah!" Kata Abdurrahman, "Aku telah meninggalkan untuk keluargaku sesuatu yang lebih baik dan lebih banyak daripada apa yang kusedekahkan!"
"Berapa?" Nabi SAW bertanya.
"Kebaikan dan rezeqi yang dijanjikan oleh Allah dan Rasul-Nya!"
"Kebaikan dan rezeqi yang dijanjikan oleh Allah dan Rasul-Nya!"
Rasulullah SAW membenarkan sikapnya dan menerima alasan Abdurrahman tersebut.
Suatu hari, beberapa tahun setelah Rasulullah SAW wafat, terdengar suara bergemuruh dan debu mengepul menuju kota Madinah, seolah-olah ada pasukan yang sedang menyerbu kota Madinah. Ummul Mukminin, Aisyah RA berkata, "Apa yang sedang terjadi di kota Madinah ini?”
Seseorang menjelaskan bahwa kafilah dagang Abdurrahman bin Auf baru datang dari Syam, sebanyak 700 kendaraan penuh dengan barang yang bermacam-macam. Masyarakat Madinah menyambut dengan gembira kedatangan kafilah tersebut karena mereka pasti akan ikut merasakan manfaatnya. Mendengar penjelasan tersebut, Aisyah tercenung sesaat seolah-olah mengingat sesuatu, kemudian ia berkata, "Aku ingat Rasulullah SAW pernah bersabda : Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan perlahan-lahan. Ini yang mungkin dimaksud beliau…."
Sebagian riwayat menyebutkan, sabda Nabi SAW tentang dirinya tersebut dengan redaksi yang berbeda, yakni : Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan merangkak, dan beberapa redaksi lainnya, yang intinya adalah ia “tertunda” karena terlalu banyaknya harta kekayaannya. Walaupun ia memperoleh harta kekayaannya dengan jalan halal dan membelanjakan atau mengeluarkan dengan jalan halal pula, tetapi ia harus melewati hisab yang tentunya lebih lama dibanding sahabat-sahabat as Sabiqunal Awwalin lainnya.
Sebagian sahabat yang mendengarkan ucapan Aisyah tersebut menyampaikan ucapan tersebut kepada Abdurrahman bin Auf. Ia segera ingat, bahwa Nabi SAW memang pernah bersabda seperti itu, dan ia juga ingat bahwa beliau memberitakan, bahwa pertanyaan akhirat tentang umur dan ilmu hanya satu, tetapi tentang harta ada dua, bagaimana mendapatkannya dan dimana/bagaimana membelanjakannya?
Sebelum sempat barang perniagaannya diturunkan dari kendaraan, ia bergegas menemui Aisyah, dan berkata, "Anda telah mengingatkanku akan hadits, yang sebelumnya tak pernah kulupakan. Dengan ini saya memohon dengan sangat anda menjadi saksi, bahwa kafilah dagang dan semua muatan berikut kendaraan dan perlengkapannya kubelanjakan di jalan Allah SWT."
Ia pernah mengalami sakit parah, yang ia menyangka akan segera meninggal, maka ia berwasiat agar seper-tiga dari hartanya disedekahkan setelah kematiannya. Hal ini sesuai dengan perintah Rasulullah SAW. Ternyata ia sehat kembali sehingga wasiatnya tidak mungkin dilaksanakan. Karena tidak ingin ‘membatalkan’ wasiatnya begitu saja, ia berkata, “Setiap sahabat Ahlu Badr (yang mengikuti Perang Badar) yang masih hidup, berhak atas 400 dinar dari hartaku!!”
Mereka berdatangan ke rumah Abdurrahman bin Auf, dan tidak kurang dari seratus orang yang mengambilnya, termasuk Utsman bin Affan.
Pada kesempatan yang lain ia mengalami hal yang sama, dan ia memberikan bagian wasiatnya itu kepada para Ummahatul Mukminin, istri-istri Rasulullah SAW yang saat itu telah menjadi janda. Ketika Aisyah menerima pemberiannya itu, dengan terharu ia berdoa, “Semoga Allah memberikan minuman kepadanya (yakni Abdurrahman bin Auf) dari mata air salsabil di Surga!!”
Walaupun ia banyak sekali membelanjakan hartanya untuk berjihad di jalan Allah, bukan berarti ia berpangku tangan begitu saja, ia juga langsung terjun ke medan pertempuran demi menegakkan panji-panji keislaman. Ketika berkecamuknya Badar, ia melihat dua pemuda Anshar menerjang ke depan, dan ia sangat mengkhawatirkan keselamatan mereka. Tetapi belum sempat memperingatkan, salah satunya berkata, “Wahai paman, tunjukkanlah kepadaku, mana yang namanya Abu Jahal??”
Abdurrahman bin Auf menatapnya dengan keheranan. Ia sangat mengenal kemampuan dan pengalaman Abu Jahal dalam bertempur, karena itu ia berkata, “Apa yang akan engkau lakukan kepadanya, wahai anak muda??”
Ia berkata, “Kudengar ia suka mencaci Rasulullah SAW, jika bertemu dengannya, demi Dzat yang diriku ada di genggaman-Nya, aku tidak akan membiarkannya lolos hingga di antara kami ada yang mati??”
Ibnu Auf memandangnya dengan kagum bercampur khawatir, tetapi pemuda itu tampak sangat memaksa, begitu juga ketika ia mengerling pada pemuda satunya. Akhirnya ia menunjukkan keberadaan Abu Jahal, dan keduanya merangsek maju menyerang dan akhirnya mereka berhasil membunuhnya.
Berbagai medan jihad diterjuninya, baik dengan hartanya atau sekaligus dengan nyawanya. Pada perang Uhud Abdurrahman mengalami luka-luka sebanyak 21 tusukan, bahkan kakinya menjadi pincang akibat luka-luka yang dideritanya dan beberapa giginya juga rontok sehingga suaranya menjadi cedal.
Abdurrahman bin Auf meninggal pada tahun 32 H dalam usia 72 atau 73 tahun. Ketika ia sakit keras menjelang ajalnya, Ummul Mukminin Aisyah RA mendatanginya dan menawarkan agar jenazahnya nanti dimakamkan di halaman rumahnya, sehingga berdekatan dengan makam Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar yang ada di dalam rumahnya. Tetapi ia memang seorang yang rendah hati, ia merasa malu diberikan penghargaan yang setinggi itu, ia memilih untuk dimakamkan di Baqi, di dekat makam sahabatnya yang telah mendahuluinya, Utsman bin Madz'um RA.
Pada detik-detik terakhir nyawanya akan dicabut, ia sempat menangis dan berkata, "Aku khawatir dipisahkan dari sahabat-sahabatku karena kekayaanku yang melimpah ini…"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar