Sabtu, 29 September 2012

Sa’d bin Abi Waqqash RA, "Tepatkanlah Panahnya, dan Kabulkanlah Doanya." 10 Sahabat Yang Dijamin Masuk Surga

            Sa'd bin Malik az Zuhri, atau lebih dikenal sebagai Sa'd bin Abi Waqqash masih termasuk paman Nabi SAW, tetapi usianya jauh lebih muda daripada beliau. Ia memeluk Islam ketika berusia 17 tahun, dan termasuk as sabiqunal awwalun. Sebagian riwayat menyatakan ia orang ke tiga, ke empat atau ke tujuh dari kalangan lelaki remaja/dewasa, yang jelas ia memeluk Islam lewat informasi dan pengaruh Abu Bakar.
            Hidayah itu datang berawal dari sebuah mimpi. Sa’d bermimpi matahari tidak muncul lagi sehingga dunia diliputi kegelapan. Tidak ada lagi bedanya siang dan malam. Tetapi kemudian muncul seberkas cahaya, yang di antara cahaya tersebut ada wajah-wajah yang dikenalinya, Abu Bakar, Zaid bin Haritsah dan Ali bin Abi Thalib. Ia bertanya, "Kapan kalian datang, tiba-tiba saja sudah ada di sini?"
            Mereka berkata, "Ya saat ini kami datang…."
            Setelah itu mereka lenyap dan Sa'd terbangun dari mimpinya. Ia gelisah memikirkan mimpinya sehingga fajar menjelang. Pagi harinya ia berangkat ke tempat pekerjaannya seperti  biasa, tetapi tidak ada kegairahan kerja seperti hari-hari sebelumnya. Dalam keadaan yang demikian, Abu Bakar muncul. Mereka berbincang-bincang dan Abu Bakar menceritakan tentang risalah yang dibawa Nabi SAW, Abu Bakar mengajaknya untuk memeluk Islam seperti dirinya. Tiba-tiba saja suasana hatinya berubah menjadi cerah, seperti suasana mimpinya ketika berkas cahaya muncul menyibak kegelapan tanpa matahari. Tanpa pikir panjang ia menerima ajakan Abu Bakar, kemudian mereka berdua berjalan menuju tempat Nabi SAW, dan Sa'd berba'iat memeluk Islam.
            Ketika keislaman Sa'd diketahui ibunya, ia sangat tidak setuju, padahal Sa'd orang yang sangat menghormati dan menyantuni ibunya. Sang ibu menyuruh Sa'd untuk meninggalkan Islam, dan mengancam, "Wahai Sa'd, agama apa yang kamu peluk itu? Sekarang kau harus pilih, kau kembali ke agama nenek moyangmu, atau aku tidak akan makan dan minum sampai aku mati karena perbuatanmu itu?"
            Sa'd hanya berkata penuh kesantunan, "Jangan kau lakukan itu, wahai ibu, tetapi aku tidak akan meninggalkan agamaku ini."
            Ibunya pun melaksanakan ancamannya, ia tidak makan dan minum, tetapi Sa’d tidak bergeming, keimanan yang begitu merasuk tidak mungkin tercabut dan ditukar dengan apapun juga. Hingga hari ketiga, ketika keadaan ibunya sudah sangat payah dan mengkhawatirkan, Orang-orang menjemput Sa'd dan menghadapkan pada ibunya. Sa'd akhirnya berkata tegas, walau masih tetap bersikap santun, "Demi Allah, jika ibu mempunyai seribu nyawa, dan keluar satu persatu, aku tidak akan meninggalkan agama Islam ini."
            Melihat tekad anaknya yang begitu kuat, tidak bisa ditawar-tawar lagi, akhirnya sang ibu yang mengalah dan makan minum lagi seperti biasanya, dan Sa'd pun tetap dengan baik bergaul dengan ibunya, walau tetap dalam agama jahiliahnya. Sebagian riwayat menyebutkan, peristiwa Sa'd dengan ibunya ini menjadi asbabun nuzul dari Surah Luqman  ayat 14-15, tentang bagaimana bergaul dengan orang tua, termasuk orang tua yang tidak beragama Islam.
            Nabi SAW pernah menyatakan ada sepuluh sahabat yang dijamin pasti masuk surga, ketika mereka masih hidup, yang salah satunya adalah Sa'd bin Abi Waqqash sendiri. Ia memang tidak pernah tertinggal berjuang bersama Nabi SAW, bahkan ia adalah orang Arab pertama yang memanah di jalan Allah. Ia juga pernah bersama Rasulullah SAW dalam suatu pasukan tanpa bahan makanan yang mencukupi, kecuali hanya daun-daun pohon hublah dan pohon samurah. Akibatnya ada beberapa anggota pasukan yang kotorannya seperti kotoran  kambing karena sangat keringnya.
            Suatu ketika Nabi SAW merasa begitu senang dan berkenan dengan perilaku Sa'd, beliaupun berdoa,  "Ya Allah, tepatkanlah panahnya, dan kabulkanlah doanya."
            Sejak saat itu, panah Sa'd merupakan senjata andalan dan sangat ditakuti oleh musuh. Siapapun yang menjadi sasaran panahnya, ia tidak akan lolos dan selamat lagi. Begitu juga dengan doanya, apapun yang dipanjatkannya seolah tak ada penghalang antara dirinya dengan Allah SWT.
            Pernah suatu ketika ada seseorang yang memaki Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bib Awwam. Sa'd menasehatinya untuk menghentikan perbuatannya tersebut, tetapi orang tersebut masih terus saja memaki tiga orang sahabat utama tersebut. Sa'd pun mengancam akan mendoakan kepada Allah, tetapi dengan sinis ia berkata kepada Sa'd, "Kamu menakut-nakuti aku seolah engkau seorang Nabi saja….!"
            Sa'd pun akhirnya pergi ke masjid, ia berwudhu dan shalat dua rakaat, kemudian berdoa, "Ya Allah, kiranya menurut ilmu-Mu, orang ini telah memaki sekelompok orang yang telah memperoleh kebaikan dari Engkau, dan sekiranya sikapnya tersebut mengundang kemurkaan-Mu, aku mohon Engkau tunjukkan suatu  pertanda yang akan menjadi pelajaran bagi yang lainnya…."
Tidak lama kemudian, ada seekor unta yang menjadi liar masuk kerumunan orang. Anehnya ia seolah-olah mencari seseorang, dan ketika ditemukan lelaki yang memaki tiga sahabat tersebut, ia menerjang, menyepak dan menginjak-injak lelaki tersebut hingga tewas.
            Pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, Sa'd bin Abi Waqqash dipilih memimpin sebuah pasukan untuk memerangi tentara Persia di bawah pimpinan Rustum. Pertempuran yang disebut dengan Perang Qadisiah ini sebenarnya tidak berimbang, tentara muslim hanya 30.000 sedang tentara Persia sebanyak 100.000 orang. Riwayat lain menyebutkan 120.000 orang. Namun demikian tidak ada kegentaran pada diri Sa'd.
            Sebelum pertempuran dimulai, Rustum meminta agar mengirim utusan untuk melakukan pembicaraan atau negosiasi. Maka Sa'd mengirim Rib'i bin Amir. Esoknya Rustum masih meminta lagi, dikirimlah Huzaifah bin Mihsan. Dan ketiga kalinya, Sa'd mengirim Mughirah bin Syu'bah. Tiga kali pembicaraan ini menemui jalan buntu, karena bagi pasukan muslim, mereka hanya punya tiga pilihan seperti diperintahkan Nabi SAW, pertama agar mereka memeluk Islam, atau mereka tunduk kepada Madinah (Islam) walau tidak menerima Islam, tetapi harus membayar jizyah (pajak), atau pilihan terakhir perang.
            Peperangan yang akhirnya terjadi, karena Rustum tidak mau memilih opsi pertama atau kedua. Ia merasa bisa dengan mudah mengalahkan pasukan muslim yang hanya sepertiga atau seperempatnya saja. Tetapi tepat ketika perang akan dimulai, Sa'd mengalami sakit bisul pada sekujur tubuhnya sehingga ia tidak bisa menaiki kuda. Karena itu ia memimpin pasukan dari tenda komandonya, menelungkup di atas bantal sambil memberikan perintah menyerang. Tetapi riwayat lain menyebutkan, ia menunjuk Khalid bin Arfathah untuk memimpin pasukan. Namun demikian pasukan muslim bisa memporak-porandakan pasukan Rustum yang jauh lebih besar. Mereka lari mengundurkan diri ke Nawahand, dan kemudian mundur lagi ke Madain, ibukota Persia karena pasukan muslim terus mengejar mereka.
            Setelah berlalu dua tahun, Khalifah Umar memerintahkan Sa'd untuk menyerang Madain. Walaupun kota Madain dipisahkan dengan sungai Tigris, pasukan muslim mampu menyeberangi sungai tersebut dengan strategi yang tepat. Pertama Sa'd mengirim dua kelompok pasukan yang dipimpin Ashim bin Amr dan Qa'qa' bin Amr menyeberang terlebih dahulu, dan mengamankan posisi di seberang. Baru setelah itu pasukan utama menyeberang,  gelombang demi gelombang. Salman al Farisi yang aslinya memang berbangsa Persia sampai takjub tak percaya mereka mampu menyeberangi sungai Tigris dengan kuda-kudanya, seolah di daratan saja.
            Sa'd, dengan doa makbulnya, hanya memerintahkan anggota pasukannya untuk berdzikir dan berdoa, "Hasbunallaah wa ni’mal wakiil, ni’mal maula wa ni’man nashiir" sepanjang mereka menyeberangi sungai Tigris, sehingga tidak seorangpun yang celaka, bahkan juga tidak satu barangpun yang hilang terbawa arus air sungai. Sempat salah satu prajuritnya kehilangan mangkuk minumannya karena terbawa air, karena tidak ingin menjadi satu-satunya orang yang kehilangan sesuatu ketika menyeberang tersebut, ia berusaha mengambilnya lagi dan ia berhasil tanpa kesulitan yang berarti. Akhirnya Madain ditaklukkan, dan runtuhlah simbol kekuasaan  penyembah api yang telah ratusan atau ribuan tahun bertahan.
            Umar mengangkat Sa’d bin Abi Waqqash menjadi gubernur yang membawahi seluruh wilayah Persia yang baru saja ditaklukkan, dan wali negerinya adalah Hudzaifah bin Yaman. Beberapa waktu lamanya tinggal di Madain, beberapa kaum muslimin sering mengalami sakit karena keadaan iklim dan cuaca Madain. Kemudian Sa’d, dengan usulan dari sahabat Hudzaifah bin Yaman, memindahkan pusat pemerintahannya ke Kufah, dan terus melakukan pembangunan serta memperluas wilayah kota tersebut.
            Sa’d sempat mengalami kehidupan yang makmur, dilingkupi harta yang melimpah dari hasil perniagaan yang dijalankannya, jika tidak sedang berjihad di jalan Allah. Apalagi setelah Nabi SAW wafat dan wilayah Islam makin meluas, harta seolah mengalir deras ke Baitul Mal, maka harta Sa’d makin menumpuk saja. Tetapi seperti kebanyakan sahabat-sahabat masa awal (as saabiquunal awwaliin), baik dari kalangan Muhajirin ataupun Anshar, harta dan juga jabatan tidaklah membuat mereka lalai. Bahkan dengan harta itu, mereka berlomba-lomba membelanjakan di jalan Allah, berlomba-lomba mencari keuntungan dan derajad tinggi di akhirat, bukan menikmatinya di dunia ini.
            Ketika menjelang berlangsungnya Haji Wada’, Sa’d mengalami sakit sangat parah, yang kebanyakan sahabat termasuk dirinya sendiri, beranggapan ia akan segera meninggal dunia. Nabi SAW menjenguk dirinya, saat itu Sa’d berkata, “Wahai Rasulullah, saya memiliki harta yang sangat banyak dan ahli warisku hanya seorang putri. Bolehkan saya shodaqohkan harta saya dua pertiganya??”
            Nabi SAW Bersabda, “Jangan!!”
            Sa’d berkata, “Kalau begitu separuhnya?”
            “Jangan,” Kata Nabi SAW lagi.
            “Kalau begitu seper-tiganya??” Tanya Sa’d lagi.
            Nabi SAW bersabda, “Benar, dan seper-tiganya itu sudah banyak. Lebih baik engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan mampu, daripada engkau membiarkannya dalam keadaan miskin dan menadahkan tangan (meminta-minta) kepada orang lain. Sesungguhnya setiap nafkah yang engkau keluarkan untuk mengharap ridho Allah (walau diberikan kepada anak, istri atau anggota keluarganya sendiri) pastilah akan diberi pahala, walaupun itu hanya sesuap makanan yang engkau berikan (ditaruh) pada mulut istrimu!!”
            Pembatasan untuk menyedekahkan atau berwasiat menginfaqkan harta maksimal seper-tiga itu adalah berlaku pada orang-orang yang dalam keadaan sakit sangat parah atau sakaratul maut menjelang kematiannya. Artinya, minimal dua-pertiga bagian harus tetap ditinggalkan untuk ahli warisnya. Sedangkan bagi orang yang sehat wal afiat, yang masih mampu berusaha untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, boleh-boleh saja menginfaqkan hartanya hingga separuh, misalnya yang pernah dilakukan oleh Umar bin Khaththab. Atau bahkan seluruh hartanya, seperti yang pernah dilakukan oleh Abu Bakar, Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, Aisyah dan beberapa sahabat lainnya, termasuk Rasulullah SAW sendiri.
            Setelah itu Nabi SAW terdiam beberapa saat, kemudian bersabda, “Wahai Sa’d, engkau belum akan meninggal, engkau masih akan mempunyai beberapa orang anak lagi setelah ini!!”
            Ketika menjabat sebagai gubernur di Kufah tersebut, sekelompok masyarakat yang memang biasa hidup bermewah-mewahan pada masa imperium Persia itu merasa tidak senang dengan gaya kepemimpinan (style) Sa’d yang sederhana. Tetapi mereka tidak bisa menemukan cacat atau kekurangan yang bisa menjatuhkan jabatannya, karena itu mereka menyebar fitnah, bahwa Sa’d tidak baik shalatnya. Fitnah dan gosip ini menyebar luas, dan menimbulkan keresahan di masyarakat, tetapi Sa’d tidak memperdulikan hal itu dan tidak pula membantah atau membela diri. Berita itu akhirnya sampai terdengar khalifah Umar, yang memanggilnya datang ke Madinah.
            Di Madinah, Umar mengkonfirmasi hal itu, dan segera saja Sa’d tertawa terbahak-bahak, kemudian ia berkata, “Demi Allah, yang saya lakukan hanyalah mengerjakan shalat bersama mereka, sebagaimana Rasulullah mengerjakan shalat bersama kita, yakni memanjangkan dua rakaat yang awal, dan memendekkan dua rakaat yang terakhir…!!”
            Maklum-lah Umar apa yang sebenarnya terjadi, maka ia bermaksud memerintahkan Sa’d kembali ke Kufah dan kembali memegang jabatan gubernur di sana. Lagi-lagi Sa’d tertawa mendengar hal itu, dan ia berkata, “Apakah engkau akan mengembalikan aku kepada kaum yang menganggap shalatku tidak baik??”
            Umar tidak berkutik dengan jawaban Sa’d tersebut. Setelah it berkali-kali Umar ‘merayu’ Sa’d untuk memegang salah satu jabatan, baik di Kufah atau di tempat lainnya, tetapi Sa’d selalu menolak. Menjelang kewafatannya, Umar berwasiat agar khalifah penggantinya nanti mengangkat Sa’d bin Abi Waqqash untuk menjadi gubernur di Kufah.
            Ketika Utsman bin Affan terpilih menjadi khalifah, ia melaksanakan wasiat tersebut, dan tidak bisa tidak, Sa’d harus berangkat ke Kufah memenuhi wasiat Umar. Tetapi tidak lama di sana, ia mengundurkan diri dan memilih mengasingkan diri di tempat kelahirannya di desa Aqiq, tidak jauh dari wilayah Kota Makkah. Ia merasa tidak nyaman dengan situasi masyarakat yang makin mengagung-agungkan kekayaan dan kemewahan dunia, serta melalaikan hari akhirat.
            Sa’d mencapai usia lanjut, dan sempat mengalami masa-masa fitnah, pertentangan antara Ali dan Muawiyah, maka ia memilih untuk tidak memihak kepada siapapun. Pernah ia didatangi oleh sekelompok besar kaum muslimin yang dipimpin oleh anak saudaranya, Hasyim bin Utbah bin Abi Waqqash. Hasyim berkata, “Wahai paman, di sini telah siap seratus ribu bilah pedang, yang menganggap bahwa paman-lah yang berhak dalam urusan khilafah ini!!”
            Dengan tegas Sa’d berkata, “Dari seratus ribu pedang itu, saya hanya membutuhkan satu saja, yakni sebilah pedang yang tumpul (tidak mempan) jika aku tebaskan kepada seorang muslim, tetapi jika aku pancungkan kepada orang kafir pasti akan putus batang lehernya…!!”
            Dari jawabannya itu, yakinlah Hasyim bahwa ia tidak bisa mempengaruhi pamannya untuk terjun lagi dalam kancah pertikaian politik tersebut. Ketika pertikaian makin memuncak, dan posisi kekhalifahan akhirnya jatuh pada tangan Muawiyah, ia mendatangi Sa’d dan berkata, “Mengapa engkau tidak ikut berperang di pihak kami??”
            Sa’d berkata, “Keadaan saat ini seperti sedang melewati suatu tempat yang dilanda taufan berkabut gelap. Maka aku berseru kepada orang-orang : Hai saudaraku, hai saudaraku, berhati-hatilah. Maka aku menghentikan kendaraanku menunggu jalanan terang kembali…!!”
            Muawiyah berkata, “Bukankah di dalam Al Qur’an tidak ada perkataan : Hai saudaraku, hai saudaraku, seperti yang engkau katakan itu. Yang ada adalah firman Allah : Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS Al Hujurat 9). Maka engkau tidak termasuk dari kedua kelompok itu…”
            Dengan perkataannya itu, Muawiyah seolah-olah menuntut Sa’d untuk berpihak kepadanya, karena jabatan khalifah telah dipegangnya. Dan Ali bin Abi Thalib yang menentang dirinya itu dianggap sebagai pihak yang berbuat aniaya (dholim), karena menentang pemerintahan yang sah dari kaum muslimin.
Muawiyah memang orang yang pandai, dan mempunyai kemampuan yang hebat dalam berpolitik dan bernegosiasi. Tetapi mendengar hujjahnya tersebut, dengan tegas Sa’d berkata, “Saya tidak akan pernah memerangi seseorang (yakni Ali bin Abi Thalib) yang mengenai dirinya, Rasulullah SAW pernah bersabda : Engkau di sampingku, tak ubahnya Harun di sisi Musa. Hanya saja tidak ada lagi nabi sesudahku!!”
Perkataan yang tidak banyak memakai logika dan kemampuan bersilat lidah, tetapi Muawiyah tidak berkutik lagi. Karena kalimat yang disampaikannya itu dilandasi kecintaan dan ketaatan yang tidak terhingga kepada Rasulullah SAW.
Suatu hari di tahun 54 hijriah, saat itu usia Sa’d telah melampaui 80 tahun, tubuhnya tergolek lemah di rumahnya yang terpencil di Aqiq, kepalanya berada di pangkuan putranya yang tampak menangis dan bersedih. Sa’d berkata, “Wahai anakku, mengapa engkau menangis? Sungguh Allah tidak akan menghukumku, dan sesungguhnya aku ternasuk salah satu penduduk surga!!”
Keyakinan dan kepercayaannya yang mantap tak tergoyahkan kepada Nabi SAW membuat ia berani berkata seperti itu. Sa’d meminta istri dan anaknya untuk mengambil sebuah peti yang telah disimpannya selama puluhan tahun. Bagi orang kebanyakan, peti seperti itu mungkin berisi harta karun yang mungkin disiapkan untuk anak istrinya, kalau ia meninggal dunia. Kalau saat ini bisa diumpamakan sebagai simpanan deposito, tabungan atau surat-surat berharga lainnya. Ketika peti itu dibawa ke hadapannya dan ia membukanya, ternyata isinya hanya selembar kain wol (jubah bulu) usang dan tampak sangat lapuk. Sa’d berkata, “Telah kuhadapi orang-orang kafir Quraisy dalam perang Badar dengan kain ini. Telah sekian lama kain ini kusimpan, dan memang kupersiapkan untuk saat ini. Jika aku telah meninggal, kafanilah jenazahku dengan kain ini!!”
            Tidak lama kemudian ruh-nya terbang menghadap ke hadirat Ilahi dengan penuh kedamaian. Wasiatnya ditunaikan, tetapi jenazahnya dibawa ke Madinah, diusung di atas pundak para sahabat lainnya, sebagaimana beberapa tahun sebelumnya ia mengusung jenazah Sa’id bin Zaid yang wafat di Aqiq juga. Para ummahatul mukminin ikut menyalatkan jenazahnya, kemudian ia dimakamkan di Baqi, di antara para sahabat-sahabat Rasulullah SAW yang telah mendahuluinya. Ia termasuk kaum muhajirin yang terakhir meninggal dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar