Apa yang Dikatakan Rasullullah SAW tentang Abu Bakar RA
Abu Bakar RA adalah lelaki dewasa pertama yang masuk islam, tetapi bukan itu saja, Rasullullah SAW juga memujinya karena cara penerimaan ajakan Rasullullah SAW untuk memeluk islam. Tentang hal ini Beliau bersabda, "Tiada aku mengajak seseorang masuk Islam, tanpa ada hambatan, tanpa mengemukakan pandangan dan alasan kecuali Abu Bakar. Ketika aku menyampaikan ajakan tersebut, dia langsung menerimanya tanpa ragu sedikitpun."
Abu Bakar juga sahabat Rasullullah SAW jauh sebelum beliau mendakwahkan Islam. Selisih usianya yang hanya bertaut dua tahun lebih muda, dan kemuliaan budi pekerti Abu Bakar dibandingkan orang-orang Makkah saat itu, membuatnya dekat dan akrab dengan Rasulullah SAW. Bahkan Abu Bakar menjadikan sosok Nabi SAW sebagai cerminan dan teladan untuk meningkatkan kualitas dirinya. Tak heran begitu memeluk Islam, keimanan dan keteguhannya dalam menjaga agamanya tak diragukan lagi, bahkan Rasulullah SAW sendiripun memujinya. Beliau bersabda, "Jika ditimbang keimanan Abu Bakar dengan keimanan seluruh umat, akan lebih berat keimanan Abu Bakar."
Masih banyak lagi pujian Nabi SAW terhadap Abu Bakar, misalnya : Pemimpin jamaah di surga, Semua pintu surga akan memanggilnya untuk memasukinya, Orang pertama yang masuk surga dari umat Nabi SAW, dan lain-lainnya.
Kegigihan Abu Bakar dalam Menjalankan dan Mendakwahkan Agamanya
Abu Bakar adalah salah seorang yang sangat dihormati dikalangan orang-orang Makkah, selain karena kemuliaan budi pekertinya, kejujuran, kecerdasan, kecakapan, berkemauan keras, pemberani dan dermawan, dia juga berasal dari keturunan yang mulia dari Kaum Quraisy, nasab kedua orang tuanya bertemu dengan nasab Rasullullah SAW pada Murrah Bin Ka'ab, kakeknya. Namun demikian, pilihannya untuk masuk agama Islam membuat orang-orang Makkah mengabaikan kedudukan dan kemuliaannya tersebut.
Tidak mudah bagi Abu Bakar untuk menjalankan ibadah sebagaimana sahabat-sahabat yang mula-mula masuk Islam, gangguan dan siksaan juga dialaminya. Ketika penganiayaan dan tekanan semakin dahsyat, dia meminta ijin kepada Rasullullah SAW untuk berhijrah ke Habsyi, dan Rasullullah SAW pun mengijinkannya. Ketika perjalanannya sampai pada tempat bernama "Barkulimat", Abu Bakar bertemu dengan Ibnu Addaghnah, pemimpin suku setempat. Ketika ditanya tentang perjalanannya tersebut, Abu Bakar menjawab, "Aku dipaksa keluar (dari Makkah) oleh kaumku, dan aku ingin merantau di muka bumi sehingga aku dapat beribadah kepada Rabbku."
Mendengar jawaban itu, Ibnu Addaghnah berkata, "Orang seperti engkau hai Abu Bakar, tidak boleh keluar atau dikeluarkan. Engkau selalu menolong orang yang miskin, suka bersilaturahmi, membantu orang yang sengsara dan lemah, dan menghormati tamu. Aku bersedia menjadi pelindungmu. Kembalilah dan sembahlah Tuhanmu di negerimu."
Budaya "Pelindung/Melindungi” adalah budaya yang sangat dihormati di kalangan suku-suku Arab. Begitu seorang yang punya pengaruh menyatakan diri sebagai "Pelindung" bagi seseorang, maka harta, darah dan kehormatan orang tersebut aman dari gangguan dan siksaan orang-orang sekitarnya. Budaya ini pula yang membantu Nabi SAW mendakwahkan Islam di tengah penolakan dan permusuhan Kaum Kafir Quraisy Makkah karena Abu Thalib menyatakan diri sebagai "Pelindung" Rasulullah SAW. Begitu Abu Thalib meninggal, beliau mengalami siksaan dan penghinaan yang tak kalah hebatnya dengan sahabat yang lain.
Abu Bakar kembali ke Makkah dan Ibnu Addaghnah mengumumkan "Perlindungan" yang diberikannya kepada Abu Bakar, dia melarang siapapun untuk mengganggu Abu Bakar. Orang kafir Quraisy tak berkutik, tetapi mereka mengajukan syarat agar Abu Bakar tidak bersuara keras dalam beribadah, karena khawatir kaum wanita dan anak-anak mereka akan terganggu. Ibnu Addaghnah dan Abu Bakar menerima persyaratan itu.
Abu Bakar mendirikan mushalla di depan rumahnya, ia shalat dan membaca Qur'an di sana . Setiap kali selesai membaca Qur'an, ia selalu menangis. Hal ini membuat wanita dan anak-anak orang kafir Quraisy jadi tertarik dan mulai terpengaruh dengan apa yang dilakukan Abu Bakar.
Orang kafir Quraisy pun jadi khawatir dan mengadukan ini pada Ibnu Addaghnah. Ibnu Addaghnah mendatangi Abu Bakar dan berkata, "Engkau telah mengetahui perjanjian dengan orang-orang Quraisy, hendaklah engkau menepati perjanjian itu, atau engkau kembalikan perlindunganku?"
Dengan jawaban yang menunjukkan keteguhan imannya, Abu Bakar berkata, "Aku kembalikan janji perlindunganmu, dan aku ridha dengan perlindungan Allah SWT."
Mulailah Abu Bakar mengalami tekanan dan siksaan dalam beribadah kepada Allah SWT sebagaimana sebelumnya.
Setelah memeluk Islam, Abu Bakar mengurangi aktivitas perdagangannya yang sebenarnya cukup sukses. Ia mengabdikan waktu, tenaga dan hartanya untuk agama yang diyakini kebenarannya itu. Tercatat beberapa sahabat utama menjadi muslim karena ajakan Abu Bakar, seperti Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Sa'ad bin Abi Waqqash, Thalhah bin Ubaidillah, Abu Ubaidah bin Jarrah, dan Abdurrahman bin Auf. Mereka ini adalah sebagian dari sepuluh orang sahabat yang dijamin akan masuk surga sebagaimana diberitakan Nabi SAW pada Aisyah. Selain itu, Utsman bin Mazh'un, Abu Salamah bin Abdul Asad, Al Arqam bin Abil Arqam juga mengikuti Abu Bakar untuk masuk Islam pada periode awal.
Abu Bakar juga mengorbankan hartanya untuk menebus dan membebaskan budak-budak yang disiksa oleh tuannya karena memeluk agama Islam, diantaranya adalah Bilal bin Rabbah dan Ibunya, 'Amr bin Farikhah, ibu dari Jubaish, Budak wanita dari Bani Muamil dan Hammamah, Zanirah, budak Umar bin Khaththab, dan lain-lain.
Sikap Abu Bakar atas Peristiwa Isra Mi’raj.
Ketika Nabi SAW memutuskan untuk
menceritakan peristiwa Isra’ Mi’raj yang beliau alami, kaum kafir Quraisy
merasa mendapat jalan untuk ‘membuktikan’ kebohongan dakwah dan risalah beliau.
Mereka mendatangi Abu Bakar, sahabat terbaik Nabi SAW, dan berharap setelah
mendengar cerita beliau tentang Isra’ Mi’raj itu Abu Bakar akan ingkar, dan
akan melemahkan dakwah beliau. Setelah bertemu Abu Bakar, mereka menceritakan
pengalaman Nabi SAW pada malam itu, Abu Bakar berkata, "Kalian
berdusta!!"
"Sungguh," kata mereka.
"Dia di masjid sedang bicara dengan orang banyak."
Abu Bakar berkata, "Dan kalaupun
itu yang dikatakannya, tentu beliau bicara yang sebenarnya. Dia mengatakan
kepadaku, bahwa ada berita dari Tuhan, dari langit ke bumi, pada waktu malam
atau siang, dan aku percaya!!”
Kemudian Abu Bakar bangkit mengikuti
mereka datang ke Masjidil Haram, saat itu Nabi SAW tengah melukiskan keadaan
Masjidil Aqsha dengan mendetail. Memang, ketika mereka mendatangi Abu Bakar,
ada salah seorang kafir yang sangat mengenal seluk beluk Masjidil Aqsha meminta
beliau menyebutkan ciri-cirinya, sebagai bukti bahwa beliau memang singgah di
sana.
Sebenarnya suatu permintaan yang sangat
tidak masuk akal, namanya singgah tentulah Nabi SAW tidak secara mendetail
memperhatikannya karena hanya sekedar shalat dua rakaat di sana . Tetapi tentu saja semua itu mudah bagi
Allah, tinggal memerintahkan Jibril untuk menunjukkan kepada beliau
‘penampakan’ Masjidil Aqsha. Kalau sekarang ini, layaknya seperti sedang
menonton video rekaman tentang masjid bersejarah di Palestina tersebut. Nabi
SAW dengan lancar menceritakan ciri-cirinya, warnanya, jumlah pintu dan
jendelanya, dan tanda-tanda lainnya. Lagi-lagi orang kafir itu hanya
terbengong, tidak percaya dan tidak masuk akal (dalam kemampuan logika dan
pengetahuan mereka saat itu), tetapi nyata dan semua jawaban beliau itu benar.
Setelah Nabi SAW selesai melukiskan
keadaan masjidnya, Abu Bakar yang juga cukup mengenal keadaan Masjidil Aqsha
berkata, “Engkau benar, ya Rasulullah, dan saya percaya dengan semua yang
engkau alami (yakni Isra’ Mi’raj beliau itu) tadi malam. Bahkan apabila engkau
menceritakan pengalaman engkau yang lebih jauh (atau lebih hebat) daripada itu,
tentu saya mempercayainya!!”
Rasulullah SAW berkata kepada Abu Bakar,
“Sungguh, engkau ini adalah ash Shiddiq!!”
Ash Shiddiq artinya adalah yang selalu
membenarkan. Sejak itulah Nabi SAW menggelari Abu Bakar dengan ‘Ash Shiddiq’
dan beliau lebih sering memanggilnya dengan nama gelarannya tersebut. Ketegasan
Abu Bakar dalam membenarkan Nabi SAW ‘tanpa reserve’ itu ikut berperan besar
dalam memantapkan kaum muslimin yang dalam kebimbangan. Mungkin memang ada
beberapa orang yang menjadi murtad, tetapi sebagian besar tetap bertahan dalam
keislaman berkat ketegasan Abu Bakar dalam membenarkan Nabi SAW apapun dan
bagaimanapun yang belum sampaikan dan ceritakan.
Sikap Abu Bakar atas Perjanjian Hudaibiyah
Dikukuhkannya Perjanjian Hudaibiyah antara Nabi SAW dan orang-orang Quraisy, meninggalkan banyak kegelisahan pada umat Islam, bahkan pada sahabat selevel Umar bin Khaththab, karena secara sepintas perjanjian ini cenderung menguntungkan orang-orang Quraisy dan merugikan umat Islam. Hanya Abu Bakar yang yakin 100% atas keputusan Rasulullah SAW, bahkan ia memberikan jawaban yang sama persis dengan Nabi SAW, ketika Umar yang kritis sempat mempertanyakan keputusan Rasulullah SAW menerima perjanjian ini. Abu Bakar memberikan nasehat pada Umar bin Khaththab kareana sikapnya tersebut, "Patuhlah engkau pada perintah dan larangan beliau sampai engkau meninggal dunia, Demi Allah, beliau berada di atas kebenaran."
Sikap Abu Bakar ini sama persis dengan sikapnya, ketika Rasulullah SAW memberitakan peristiwa Isra dan Mi'raj yang menggemparkan itu kepada masyarakat Quraisy, sikap yakin sepenuhnya atas benarnya perkataan dan sikap serta keputusan Nabi SAW, tanpa setitikpun ada kesangsian.
Ketika sebagian besar sahabat merasakan “kekalahan” dengan adanya perjanjian Hudaibiyah ini, Abu Bakar justru berpendapat lain, ia berkata, "Tidak ada kemenangan yang lebih besar daripada kemenangan pada perjanjian Hudaibiyah, akan tetapi kebanyakan orang berfikir pendek mengenai apa yang terjadi antara Rasulullah SAW dengan Rabbnya, sedang para hamba saat itu tergesa-gesa. Demi Allah, beliau tidak tergesa-gesa seperti ketergesaan hamba, sampai beliau menyampaikan semua urusan sebagaimana beliau kehendaki."
Bersama Rasullullah SAW, tetapi Rasullullah tidak Terlihat
Kedekatan dan kecintaan Abu Bakar RA terhadap Nabi SAW tidak diragukan lagi, bahkan telah terjalin sebelum Nabi SAW diangkat menjadi Nabi dan mengemban Risalah Islam. Maka tak heran ketika Nabi SAW mengalami tekanan dan siksaan, Abu Bakar pun ikut merasakan kesedihan dan luka, bahkan lebih dalam dirasakan dibanding bila ia sendiri yang mengalaminya. Setelah turunnya surat Al Lahab, Ummu Jamil, istri Abu Lahab yang dikatakan sebagai Pembawa Kayu Bakar dalam surah tersebut, begitu marah kepada Rasullullah SAW. Dengan membawa batu besar ia datang menghampiri Nabi SAW yang saat itu sedang duduk bersama Abu Bakar, Abu Bakar menangis melihat niat Ummu Jamil itu. Tetapi Rasullullah menenangkannya dengan mengatakan, "Biarkan saja, ia tidak melihatku."
Benar saja, setelah dekat Ummu Jamil berkata kepada Abu Bakar RA, "Hai Abu Bakar, dimana kawanmu Si Muhammad itu, aku dengar ia menyindirku dengan mengatakan, ..dan istrinya, si pembawa kayu bakar, di lehernya ada tali dari sabut…Demi Allah, jika aku menjumpainya, pasti akan aku pukul dengan batu ini."
Itulah Abu Bakar RA, Rasulullah SAW yang ingin disakiti, hal itu telah membuatnya sedih.
Dalam Perjalanan Hijrah Bersama Rasulullah SAW
Setelah berlangsungnya Bai'atul Aqabah kedua, atau juga dikenal dengan Baiatul Aqabah Kubra, Rasulullah SAW menghimbau kaum muslimin untuk berhijrah ke Madinah. Sebagian besar berangkat dengan sembunyi-sembunyi tetapi ada juga yang terang-terangan seperti Umar bin Khaththab. Sebagian sahabat yang telah berhijrah ke Habasyah ada yang langsung berangkat ke Madinah. Dua bulan lebih setelah Baiatul Aqabah Kubra tersebut, hampir semua kaum muslimin telah meninggalkan Makkah menuju Madinah, kecuali beberapa orang yang diberikan keringanan (rukhsah) untuk tidak berhijrah. Ketika Abu Bakar meminta ijin Rasulullah SAW untuk berhijrah, beliau bersabda, “Tundalah keberangkatanmu, sesungguhnya aku masih menunggu izin bagiku untuk berhijrah (dan kita akan berangkat bersama-sama)..!!”
“Demi bapakku menjadi taruhannya,” Kata Abu Bakar, “Dalam keadaan seperti ini engkau masih menunggu ijin??”
Nabi SAW mengiyakan. Memang benar firman Allah, Rasulullah SAW tidaklah mengatakan atau melakukan sesuatu karena hawa nafsunya, tetapi semua itu adalah atas wahyu dan petunjuk dari Allah (Wa maa yantiqu ‘anil hawaa, in huwa illa wahyuy yuukha). Dan Abu Bakar masih harus menunggu lagi selama empat bulan, sampai suatu pagi salah seorang pembantunya memberitahukan kepadanya, “Ini ada Rasulullah mengenakan kain penutup wajah, tidak biasanya beliau menemui kita pada saat-saat seperti ini…!”
Abu Bakar berkata, “Demi ayah dan ibuku sebagai jaminannya, beliau tidak akan menemui aku di saat seperti ini kecuali ada urusan yang sangat penting…!!”
Nabi SAW sampai di pintu rumah Abu Bakar dan meminta ijin untuk masuk. Setelah diijinkan, beliau segera masuk dan berkata, “Aku sudah diijinkan untuk pergi (berhijrah)..!!”
Abu Bakar berkata, “Demi ayah dan ibuku sebagai jaminannya, ya Rasulullah, apakah aku harus menyertai engkau (dalam perintah/ijin berhijrah tersebut)?”
“Benar” Kata Rasulullah SAW.
Hati Abu Bakar menjadi gembira. Sungguh suatu kehormatan dan kemuliaan menyertai Nabi SAW dalam hijrah ke Madinah. Beliau merancang beberapa langkah yang akan ditempuh dalam hijrah kali ini, demi mengantisipasi berbagai kemungkinan, setelah itu beliau pulang.
Pada awal malam di hari itu, beberapa orang tokoh kaum Quraisy mengepung rumah Nabi SAW dengan niat bulat untuk membunuh beliau. Menjelang tengah malam, beliau berkata kepada Ali bin Abi Thalib, “Tidurlah engkau di atas tempat tidurku, berselimutlah dengan mantelku warna hijau yang berasal dari Hadramaut ini. Tidurlah dengan berselimut mantel ini. Sungguh engkau akan tetap aman dari gangguan mereka yang engkau khawatirkan itu!!”
Ali melaksanakan perintah Rasulullah SAW tersebut, dan beliau keluar melewati kepungan para tokoh Quraisy tersebut, bahkan beliau sempat menaburkan pasir di atas kepala mereka yang dalam keadaan tertidur. Riwayat lain menyebutkan mereka tidak tertidur, tetapi tidak bisa melihat Nabi SAW yang melewati mereka dan tidak merasakan pasir yang ditaburkan di atas kepala mereka. Riwayat lain lagi menyebutkan, beliau membacakan ayat ke 8 dan 9 surat Yasiin sehingga mereka tidak bisa melihat beliau.
Nabi SAW bergegas menuju rumah Abu Bakar yang telah siap menunggu dengan gelisah. Kemudian mereka berdua berjalan ke arah selatan, arah menuju Yaman, bukan ke arah utara yang menuju ke Madinah. Setelah menempuh sekitar delapan kilometer, mereka sampai di Gunung Tsur dan mendakinya. Abu Bakar memapah Nabi SAW yang tampak sangat kelelahan, apalagi beliau tidak mengenakan alas kaki.
Di puncak gunung, mereka menemukan Gua Tsur dan bermaksud bersembunyi di dalamnya. Abu Bakar berkata kepada Nabi SAW, “Demi Allah, janganlah engkau masuk ke dalamnya sebelum aku memasukinya. Jika ada sesuatu yang tidak beres di dalamnya, biarlah aku yang terkena, asalkan tidak mengenai engkau!!”
Abu Bakar memasuki gua dan membersihkan ruangannya. Ia melihat sebuah lubang, karena khawatir akan keluar binatang berbisa dari dalamnya, ia merobek sebagian mantelnya untuk menutup lubang tersebut, baru kemudian mempersilahkan Nabi SAW memasukinya. Abu Bakar menutupi lubang tadi dengan kakinya, dan Nabi SAW berbaring dengan berbantalkan paha Abu Bakar dan beliau langsung tertidur. Tiba-tiba Abu Bakar merasakan sengatan di kakinya yang menutupi lubang tadi, mungkin ular atau kalajengking, dan ia merasa sangat kesakitan. Tetapi ia tidak mau menggerakkan kakinya karena takut akan membangunkan Rasulullah. Ia berusaha keras menahan rasa sakit, hingga air matanya menetes mengenai pipi Rasulullah, dan beliau terbangun.
“Apa yang terjadi denganmu, wahai Abu Bakar?” Tanya Rasulullah SAW.
“Demi ayah dan ibuku sebagai jaminannya, ya Rasulullah, aku digigit binatang berbisa!!”
Nabi SAW bangkit dari tidurnya dan memeriksa kaki Abu Bakar. Beliau meludahi kaki yang terluka tersebut, dan seketika sakit yang dirasakan Abu Bakar hilang.
Mereka berdua bersembunyi di dalam Gua Tsur selama tiga hari. Setiap malam Abdullah bin Abu Bakar datang ke gua tersebut untuk menemani dan menceritakan keadaan di Makkah, layaknya seorang mata-mata melaporkan tugasnya. Amir bin Fuhairah, salah seorang pelayan atau budak Abu Bakar, menggembalakan domba-dombanya di kaki gunung tersebut, dan mengantarkan susu ke gua untuk minuman mereka. Menjelang fajar, Abdullah segera kembali ke Makkah, dan Amir bin Fuhairah menggiring domba-dombanya di belakangnya sehingga menghilangkan jejak kaki yang dibuat Abdullah.
Sebenarnya ada beberapa orang Quraisy yang sempat mendaki gunung dan menemukan Gua Tsur. Abu Bakar berbisik kepada Nabi SAW, “Wahai Nabi Allah, andaikata mereka mendongakkan pandangannya, tentulah mereka akan melihat kita!!”
“Diamlah, wahai Abu Bakar,” Kata Nabi SAW dengan berbisik juga,” Dua orang, dan yang ketiga adalah Allah!!”
Sebagian riwayat menyebutkan, di atas pintu goa tersebut terdapat sarang burung merpati, dan pintu goa tertutup dengan sarang laba-laba, yang walaupun laba-laba tersebut baru saja membuatnya, tetapi keadaannya seperti sarang yang telah lama berada di situ. Karena itu akal mereka “tertipu”, logika mereka membantah kalau ada orang di dalam gua. Semua itu adalah cara Allah untuk melindungi hamba-hamba yang dikasihi-Nya.
Setelah tiga hari berlalu, mereka melanjutkan perjalanan ke Madinah disertai oleh Amir bin Fuhairah, dengan penunjuk jalan Abdullah bin Uraiqith, yang ketika itu masih beragama jahiliah, tetapi merupakan orang yang dapat dipercaya, sehingga Abu Bakar memilihnya. Abu Bakar mempunyai kebiasaan duduk membonceng di belakang Nabi SAW, dan ia seseorang yang cukup dikenal di kawasan Jazirah Arabia. Ketika bertemu beberapa orang yang mengenalnya dalam perjalanan hijrah itu, mereka bertanya, “Siapakah orang yang di depanmu itu?”
Abu Bakar selalu menjawab, “Dia orang yang menunjukkan jalan kepadaku..!!”
Tentunya Abu Bakar tidak berbohong dengan jawabannya itu, walaupun orang yang menanyakannya mempunyai persepsi yang berbeda atas jawabannya tersebut.
Beberapa peristiwa terjadi dalam perjalanan ini, seperti pengejaran oleh Suraqah bin Malik bin Ju’syum, beristirahat di tenda Ummu Ma’bad, (lihat kisahnya di bagian lain Percik Kisah Sahabat Nabi SAW ini), dan lain-lainnya yang tidak perlu dijabarkan secara mendetail dalam kisah Abu Bakar ini. Yang jelas, Abu Bakar selalu mendampingi dan melindungi Nabi SAW dari berbagai kemungkinan yang bisa menyakiti atau mencelakakan beliau, hingga akhirnya tiba di Quba, Madinah.
Kekhawatiran Abu Bakar
Walaupun menjadi sahabat utama dan pilihan Rasulullah SAW, bahkan jelas-jelas beliau menyampaikan bahwa ia dijamin masuk surga, bahkan delapan pintu surga memanggilnya untuk memasukinya, tetapi semua itu tidak menjadikannya sombong dan merasa telah suci. Bahkan ia sendiri seingkali merasakan kekhawatiran. Inilah beberapa di antaranya.
"Alangkah baiknya jika aku…."
Walaupun kemuliaan dan pujian langsung diberikan oleh Rasulullah SAW, tetapi Abu Bakar tidak secara otomatis merasa selamat di akhirat kelak, bahkan ia selalu merasa khawatir dengan nasibnya di hadapan Allah. Sering sekali ia melontarkan ungkapan yang menunjukkan kegundahan hatinya. Misalnya :
"Alangkah baiknya jika aku ini sebatang pohon, yang kemudian ditebang dan dijadikan kayu bakar."
"Alangkah baiknya jika aku ini sebatang rumput, yang akan habis begitu saja dimakan ternak."
Ketika sedang berada di suatu kebun dan melihat seekor burung yang sedang berkicau, dia berkata, "Wahai burung, sungguh beruntungnya engkau, engkau makan, minum dan terbang di antara pepohonan penuh kebebasan tanpa perasaan takut akan hari kiamat, andai Abu Bakar menjadi seperti engkau, wahai burung."
"..telah aku anggap benar padahal sebenarnya tidak…"
Suatu saat Ummul Mukminin Aisyah RA melihat keadaan ayahnya, Abu Bakar yang saat itu menjabat sebagai khalifah, dalam keadaan sangat gelisah. Sepertinya ada beban amat berat yang ditanggungnya, karena itu ia bertanya, "Wahai ayahku, apakah engkau tengah menghadapi suatu kesusahan?"
Abu Bakar hanya memandang putrinya tanpa memberikan jawaban. Keesokan harinya, ia memanggil putrinya itu dan berkata, "Wahai Aisyah, bawalah padaku buku catatan tentang sikap, perbuatan, dan ucapan Nabi SAW (Hadits) yang telah kuberikan kepadamu dulu!"
Abu Bakar memang telah menghimpun tentang sikap, perbuatan dan ucapan Nabi SAW (yang di kemudian hari disebut al Hadits), baik dari yang dilihat dan dialaminya sendiri bersama Nabi SAW, atau dari sahabat-sahabat lainnya, dan ia menuliskannya dalam suatu buku catatan, sejumlah limaratus riwayat. Buku catatan tersebut diberikan kepada putrinya untuk disimpan.
Aisyah datang dengan membawa buku catatan tersebut. Setelah buku itu diserahkan, Abu Bakar segera membakarnya, dan berkata, "Wahai Aisyah, buku yang kubakar tersebut mengandung banyak riwayat tentang Nabi SAW, yang kukumpulkan dan kuperoleh dari orang-orang yang berbeda. Aku khawatir, jika aku telah meninggal kelak, aku meninggalkan sebuah riwayat yang kuanggap benar, padahal sebenarnya tidak, dan aku harus menanggung akibatnya."
Mungkin suatu kehati-hatian yang berlebihan, karena Abu Bakar adalah sahabat Nabi SAW yang paling dekat, bahkan sejak beliau belum diangkat menjadi Rasul, tentunya ia sangat tahu tentang beliau. Apalagi sewaktu Nabi SAW masih hidup ia diberi tugas untuk berfatwa atau menjawab atas masalah umat, seperti halnya Umar, Utsman, Ali, Abdurrahman bin Auf, Ubay bin Ka'ab, Abdullah bin Mas'ud, Muadz bin Jabal, Abu Musa al Asy'ari dan Abu Darda'. Tetapi justru inilah salah satu wujud tingginya nilai keimanan Abu Bakar yang dipuji oleh Nabi SAW.
bbck 308
Gaji Abu Bakar sebagai Khalifah Rasulullah SAW
Abu Bakar bekerja sebagai pedagang kain di pasar untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Sesaat setelah diba'iat sebagai khalifah, Abu Bakar mengambil dagangannya dan berangkat ke pasar sebagaimana biasanya. Melihat keadaan ini, Umar bin Khaththab berkata, "Apabila engkau sibuk dengan perdaganganmu, bagaimana dengan urusan kekhalifahan?"
"Kalau tidak berdagang kain, bagaimana aku akan menafkahi anak istriku?" Jawab Abu Bakar.
"Marilah kita menemui Abu Ubaidah yang diberi gelar Nabi SAW 'Aminul Ummah' (orang kepercayaan umat)," Kata Umar, "Dia akan menetapkan gaji bagimu dari Baitul Mal."
Mereka berdua pergi menemui Abu Ubaidah yang memang dipercaya Nabi SAW memegang Baitul Mal. Setelah mendengar penjelasan Umar, Abu Ubaidah menetapkan tunjangan bagi Abu Bakar sebagai khalifah, sebagaimana tunjangan seorang muhajir yang tidak mempunyai penghasilan tetap.
Suatu ketika istri Abu Bakar ingin sekali makan manisan (halwa’), tetapi Abu Bakr berkata kalau ia tidak punya uang lagi. Maka istrinya berkata, "Kalau engkau mengijinkan, aku akan menyisihkan uang dari belanja setiap harinya, sehingga dalam beberapa hari akan terkumpul cukup uang untuk membeli manisan."
Abu Bakar menyetujui usul istrinya ini. Setelah beberapa hari berlalu, istrinya menyerahkan kepada suaminya, uang yang terkumpul untuk membeli bahan-bahan manisan. Setelah menerima uang tersebut, Abu Bakar justru ragu untuk membelanjakannya, ia berkata, "Dari pengalaman ini, aku jadi tahu kalau kita memperoleh tunjangan yang berlebihan dari Baitul Mal."
Karena itu uang tersebut tidak jadi dibelikan bahan membuat manisan (halwa’), tetapi disetorkan kembali ke Baitul Mal. Dan ia berpesan kepada Abu Ubaidah agar tunjangannya dikurangi sebanyak yang dikumpulkan istrinya setiap harinya.
Sikap Abu Bakar pada Saat Wafatnya Rasulullah SAW
Abu Bakar tampaknya telah dipersiapkan Rasulullah SAW untuk menjadi pengganti (khalifah) beliau. Hal ini tampak ketika Nabi SAW mulai sakit dan kesulitan datang ke masjid untuk memimpin (mengimami) shalat jamaah, maka beliau menunjuk Abu Bakar untuk menjadi imam. Tidak kurang dari 17 kali Abu Bakar menjadi imam shalat jamaah kaum muslimin. Aisyah RA, istri beliau dan juga putri Abu Bakar, sebenarnya sempat keberatan dengan keputusan beliau ini. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, ayahku, Abu Bakar adalah seorang yang lemah dan mudah menangis. Ia tidak akan mampu menggantikan engkau memikul amanat yang berat ini!!”
Berkali-kali Aisyah menyampaikan keberatannya sehingga Nabi SAW sempat marah, dan akhirnya ia tidak berani memprotes lagi. Dalam suatu kesempatan, sahabat yang diperintahkan mencari Abu Bakar kesulitan menemukannya dan bertemu Umar bin Khaththab. Ia merasa Umar tidak kalah mulia dan dekatnya di sisi Nabi SAW, karenanya ia meminta Umar untuk mengimami shalat jamaah, dan Umar melakukannya. Ketika Nabi SAW mengetahuinya, beliau memerintahkan untuk menemukan Abu Bakar, dan mengulang shalat jamaah yang telah diimami oleh Umar tersebut.
Pada hari ketika Nabi SAW meninggal, beliau tampak sehat dan bugar. Dengan dipapah Ali bin Abi Thalib dan Fadhal bin Abbas, beliau datang ke masjid dan mengimami shalat subuh. Melihat keadaan Nabi SAW yang membaik, Abu Bakar meminta ijin kepada Nabi SAW untuk menyelesaikan beberapa urusannya yang terbengkalai, dan beliau mengijinkannya. Tetapi ketika ia kembali, tampak kehebohan di rumah Nabi SAW dan di sekitar masjid karena beliau telah meninggal dunia.
Kaum muslimin tampak kacau balau dan panik, bahkan Umar bin Khaththab tidak bisa menerima kenyataan itu. Ia berdiri mengacung-acungkan pedangnya sambil berkata keras, “Siapa yang mengatakan bahwa Muhammad telah meninggal, maka akan aku pukul dengan pedangku ini. Muhammad tidaklah mati, ia hanya sementara pergi sementara kepada Tuhannya, sebagaimana Musa bin Imran menghilang dari kaumnya selama 40 hari, kemudian ia kembali setelah orang-orang menyatakan kalau ia telah mati. Demi Allah, Rasulullah akan kembali sebagaimana halnya Musa kembali!!”
Abu Bakar menerobos kerumunan massa tanpa berkata apapun dan masuk ke rumah Rasulullah SAW. Ia membuka kain penutup dan mencium wajah Nabi SAW yang mulia itu dengan tangisan tersedu-sedu. Di antara isak tangisnya, ia berkata, “Demi ayah bundaku, wahai Rasulullah, alangkah indahnya hidupmu, dan alangkah indahnya kewafatanmu. Demi Allah, sekali-kali tidak akan berkumpul dua kematian atas engkau. Kematian yang telah ditentukan Allah telah engkau temui, dan setelah itu tidak ada kematian lagi untukmu selama-lamanya!!”
Mungkin benar apa yang dikatakan Aisyah tentang ayahnya, tetapi tentunya lebih benar lagi ‘pilihan’ Rasulullah SAW untuk mempersiapkan Abu Bakar sebagai pengganti (khalifah) beliau. Setelah memasang kembali kain penutup jenazah beliau, ia keluar menghadapi orang banyak. Dengan suara yang tegas berwibawa walau tidak keras, ia berbicara seolah-olah sedang berkhutbah. Orang-orang mengalihkan perhatiannya kepada Abu Bakar, termasuk juga Umar. Setelah mengucapkan pujian dan sanjungan kepada Allah dan juga shalawat kepada Rasulullah SAW, ia menentramkan suasana hati kaum muslimin yang sedang berduka. Antara lain ia berkata, “…Wahai manusia, barang siapa yang menyembah Muhammad maka Muhammad telah mati. Tetapi barang siapa yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah hidup, dan tidak akan mati selama-lamanya…”
Abu Bakar juga mengutip beberapa ayat Al Qur’an, “Sesungguhnya engkau akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati juga (QS az Zumar 30). Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan madharat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat. Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. (QS Ali Imran 144-145)”
Mendengar rangkaian ‘khutbah’ Abu Bakar itu, kepanikan dan kekacauan itu hilang, termasuk yang dirasakan Umar, digantikan dengan perasaan sedih yang tidak terperikan. Mereka menangis tersedu-sedu, termasuk Abu Bakar sendiri.
Umar sendiri berkomentar atas peristiwa tersebut setelah beberapa waktu berlalu, “Demi Allah, seolah-olah aku belum pernah membaca ayat-ayat (yang dibacakan Abu Bakar) itu. Demi Allah, setelah Abu Bakar membacanya, keluarlah keringat dinginku, kakiku seolah tidak mampu menyangga tubuhku dan hampir rubuh ke tanah. Tetapi karena Abu Bakar sendiri yang membacakannya, sadarlah aku bahwa Rasulullah SAW benar-benar telah meninggal dunia…!!”
Sikap dan Peran Abu Bakar di Tengah Perpecahan Umat
Wafatnya Rasulullah SAW juga memunculkan ancaman perpecahan pada kaum muslimin. Baik kaum Muhajirin dan kaum Anshar, masing-masing mengklaim paling berhak untuk memegang jabatan khalifah Rasulullah SAW. Kaum Muhajirin dengan kelompoknya sendiri dan kaum Anshar juga berkumpul sendiri di Saqifah Bani Saidah. Mayoritas kaum Muhajirin sepakat untuk menunjuk Abu Bakar, tetapi ia sendiri menolaknya hingga bertemu dengan kaum Anshar.
Abu Bakar ditemani Umar bin Khaththab dan Abu Ubaidah bin Jarrah, yang digelari oleh Rasulullah SAW sebagai ‘Kepercayaan Umat’ dan diserahi sebagai ‘bendaharawan’ Islam, mendatangi kumpulan kaum Anshar. Mereka sempat bertemu dengan dua orang saleh dari kaum Anshar, yang diam-diam melaporkan perkembangan kejadian di Saqifah Bani Saidah. Ketika mengetahui niat mereka bertiga mendatangi tempat itu, mereka berkata, “Jangan, janganlah kalian mendatangi kaum Anshar. Selesaikan saja urusan kalian sendiri wahai kaum Muhajirin!!”
Tetapi Abu Bakar berketetapan untuk mendatangi mereka di Saqifah Bani Saidah. Sesampainya di sana , para pemimpin kabilah dari kaum Anshar berpidato, menunjukkan jasa-jasa dan argumen mereka sehingga berhak untuk memangku kekhalifahan. Ada juga yang berpendapat bahwa kekhalifahan dipegang bersama, satu orang dari Muhajirin dan satu orang lagi dari Anshar. Banyak sekali hujjah (argumen) yang disampaikan oleh pemuka-pemuka Anshar, Umar sempat terpancing untuk langsung membalas pidato mereka, tetapi dicegah oleh Abu Bakar.
Ketika semua pemuka Anshar telah menyampaikan pendapatnya, Abu Bakar berdiri, setelah menyampaikan puji-pujian kepada Allah dan salam kepada Rasulullah SAW, ia berkata, “Amma ba’du, adapun semua jasa dan kebaikan yang telah kalian berikan dan kalian amalkan, adalah hak kalian. Namun kalian semua tahu, bahwa orang-orang Arab tidak akan menerima kepemimpinan kecuali dari orang-orang Quraisy, mereka berasal dari keturunan terbaik dan dari tempat terbaik…!!”
Apa yang disampaikan oleh Abu Bakar tersebut adalah fakta yang tidak terbantahkan, selama ratusan atau mungkin ribuan tahun semua suku dan kabilah di Jazirah Arabia tunduk kepada kaum Quraisy, dan memuliakannya. Tanpa diminta, dengan sukarela mereka datang dan berziarah ke Ka’bah setiap tahunnya, termasuk orang-orang Madinah. Orang-orang Anshar hanya terdiam, tidak mampu membantah pernyataan ini. Apalagi Abu Bakar menyampaikan hal itu dengan kelembutan, tanpa kehilangan kewibawaannya.
Tiba-tiba Abu Bakar mengangkat tangan Umar dan Abu Ubaidah, sambil berkata, “Saya rela jika kalian memba’iat salah satu dari dua orang ini sebagai khalifah Rasulullah!!”
Umar terkejut bukan kepalang, ia segera bangkit dan berkata, “Demi Allah, lebih baik kepala saya dipenggal daripada saya menjadi pemimpin, sementara Abu Bakar masih ada di antara kita!!”
Kemudian Umar berkata lagi, “Wahai kaum Anshar, bukankah kalian mengetahui bahwa Rasulullah memerintahkan Abu Bakar menjadi imam shalat di saat beliau masih hidup? Lalu, siapakah di antara kalian yang merasa dirinya berhak maju mendahului Abu Bakar?”
Orang-orang Anshar berkata, ”Kami berlindung kepada Allah untuk maju mendahului Abu Bakar!!”
Umar mengangkat tangan Abu Bakar dan menyatakan ba’iat dan kesetiaan dirinya kepada Abu Bakar sebagai Khalifah Rasulullah SAW. Zaid bin Tsabit, salah seorang sahabat Anshar terkemuka yang dididik secara khusus oleh Nabi SAW di bidang ilmu Al Qur’an, bangkit mendekati Abu Bakar dan berkata kepada kaumnya, “Tidakkah kalian tahu, bahwa Rasulullah dari kalangan muhajirin, maka khalifah (pengganti)-nya adalah dari muhajirin, sedangkan kita adalah pembantu (penolong, anshar) Rasulullah, maka kita juga adalah pembantu (anshar) khalifah beliau!!”
Kemudian Zaid bin Tsabit mengambil tangan Abu Bakar dan berkata, “Inilah dia sahabat kalian semua!!”
Satu persatu orang-orang Anshar memba’iat Abu Bakar sebagai khalifah, dengan diikuti dan diselingi oleh kaum muhajirin yang juga datang ke Saqifah Bani Saidah.
Ancaman perpecahan internal di kota Madinah telah dapat diselesaikan, tetapi telah menunggu ancaman perpecahan lainnya. Beberapa suku dan kabilah murtad kembali, ada yang sekedar membangkang, tidak mau membayar zakat, tetapi ada juga yang berniat memberontak, bahkan akan menyerang Madinah. Melihat kondisi seperti itu, beberapa sahabat terkemuka, termasuk Umar, mengusulkan agar pasukan yang dibentuk Nabi SAW dengan pimpinan Usamah bin Zaid, untuk sementara ditunda atau dibatalkan keberangkatannya ke Palestina.
Sebenarnya sebuah usulan yang sangat masuk akal pada situasi seperti itu, tetapi dengan tegas Abu Bakar berkata, "Berangkatkanlah pasukan Usamah, sesungguhnya aku tidak perduli jika binatang-binanang buas akan menerkam dan mencabik-cabikku di Madinah karena berangkatnya pasukan tersebut. Sesungguhnya telah turun wahyu kepada Nabi SAW, 'berangkatkan pasukan Usamah', dan aku tidak akan mengubah keputusan beliau…!!”
Inilah memang tipikal ash shiddiq-nya Abu Bakar terhadap Rasulullah SAW. Keyakinan penuh Abu Bakar kepada pilihan Rasulullah SAW untuk meneruskan pengiriman pasukan Usamah itu, yang justru menyelamatkan kekhalifahan Islam yang masih muda tersebut. (Pembahasan lengkapnya bisa dilihat pada kisah sahabat ‘Usamah bin Zaid’ pada Laman ‘Percik Kisah Sahabat Nabi Muhammad SAW’ atau pada blog-nya.)
Sikap Abu Bakar terhadap kabilah yang murtad atau menolak untuk membayar zakat sangat tegas, yakni memeranginya. Beberapa sahabat juga mempertanyakan sikapnya itu, mereka menyarankan agar bersikap lebih lembut dan persuasif. Umar sendiri berkata, “Bagaimana engkau akan memerangi mereka, sementara Rasulullah bersabda : Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan kalimat ‘Asyhadu an-laa ilaaha illallaah wa asyhadu anna muhammadan rasulullah’. Siapapun yang telah mengatakannya, maka dia terjaga harta dan darahnya kecuali dengan haknya, sedangkan perhitungan (batiniah)-nya ada pada sisi Allah!!”
Abu Bakar berkata tegas, “Demi Allah, sungguh akan aku perangi siapa saja yang memisahkan antara shalat dan zakat, sebab zakat adalah hak harta. Bukanlah Rasulullah SAW menyebutkan : kecuali dengan haknya?”
Tidak kurang dari sebelas pasukan yang dibentuk Abu Bakat untuk mengantisipasi ancaman perpecahan dari luar Madinah tersebut. Pasukan-pasukan tersebut dikirim menyebar ke penjuru Jazirah Arabia, seperti Yamamah, Battah, Bahrain, Hadramaut, Syam atau Syiria, Irak, Oman dan berbagai wilayah lainnya.
Abu Bakar yang sikapnya lemah lembut dan mudah menangis ketika Rasulullah SAW masih hidup, sempat tidak dimengerti oleh para sahabat lainnya, bagaimana bisa sikapnya berubah seperti itu? Tetapi ketika satu persatu ancaman perpecahan itu dapat ditanggulangi, barulah mereka memahaminya. Umar sendiri berkata, “Demi Allah saya melihat bahwa Allah telah membukakan dada Abu Bakar untuk berperang. Kemudian aku mengerti kalau yang dikatakannya itu adalah benar!!”
Dan ia juga berkata, “Akhirnya Allah melapangkan hatiku untuk menerima pendapat Abu Bakar, dan tidak selalu membantahnya lagi!!”
Abdullah bin Mas’ud juga berkata, “Setelah wafatnya Rasulullah SAW, kami berada dalam situasi yang nyaris binasa. Untungnya Allah mengaruniakan Abu Bakar kepada kami (dengan sikap tegasnya tersebut)!!”
Wafatnya Abu Bakar
Abu Bakar menjadi khalifah selama dua tahun tiga bulan sepuluh hari. Dalam waktu yang sangat singkat tersebut, ia berhasil menyelamatkan ‘Negara Islam’ tanpa Rasulullah SAW itu dari perpecahan, dan meletakkan dasar-dasar pemerintahan yang kokoh. Di masa itu pula, Al Qur’an berhasil dikumpulkan dan disusun dalam satu catatan yang utuh, walau belum ter-kodifikasi seperti sekarang ini. Hal ini dilakukan atas usulan Umar bin Khaththab, setelah begitu banyaknya sahabat huffadz Qur’an yang gugur dan syahid ketika berjuang memberantas pemberontakan dan pemurtadan yang terjadi.
Seperti halnya Rasulullah SAW, Abu Bakar mengalami sakit demam berkepanjangan selama hampir limabelas hari, sebelum akhirnya wafat dalam usia 63 tahun, sama dengan Nabi SAW. Dalam keadaan sakit tersebut, ia sempat bermusyawarah dengan pemuka-pemuka sahabat Anshar dan Muhajirin untuk menentukan siapa khalifah pengganti dirinya. Sikap itu diambil Abu Bakar karena ia tidak ingin peristiwa genting seperti pemilihan khalifah pertama itu terulang. Setelah berbagai pertimbangan dan usulan, mereka sepakat untuk menetapkan Umar bin Khaththab sebagai khalifah.
Sebelum meninggal, Abu Bakar berpesan kepada putrinya, yang adalah istri Rasulullah SAW, Aisyah, agar setelah kematiannya, barang yang diperolehnya dari Baitul Mal sebagai khalifah, diserahkan kepada khalifah penggantinya. Ia juga berkata pada Aisyah, "Aku tidak ingin mengambil apapun dari Baitul Mal, tetapi Umar telah mendesakku untuk mengambil tunjangan agar aku tidak disibukkan dengan perdaganganku, dan mengurus keadaan kaum muslimin. Aku tidak punya pilihan lain sehingga terpaksa aku menerima dari Baitul Mal. Karena itu, kuserahkan kebunku kepada Baitul Mal sebagai pengganti uang tunjangan yang telah kuterima selama ini."
Ketika wasiyat ini ditunaikan dan Umar bin Khaththab menerimanya, ia berkata, "Semoga Allah merahmati Abu Bakar, sungguh dia telah menunjukkan jalan yang sulit untuk diikuti pengganti-penggantinya."
Satu riwayat mengatakan, peninggalan Abu Bakar adalah seekor unta betina, sebuah mangkuk dan seorang hamba sahaya, tanpa dinar dan dirham sebuahpun. Riwayat lain mengatakan hanya sebuah selimut dan riwayat lainnya lagi hanya sebuah permadani. Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar