Sabtu, 20 Oktober 2012

Mu'awwidz bin Harits al Afra RA, Sahabat yang Syahid di Perang Badar

            Mu’awwid bin Harits bin Rifaah al Afra, atau lebih dikenal dengan nama Mu’awwid bin Afra, adalah seorang pemuda dari kalangan Anshar yang memeluk Islam sejak awal Islam didakwahkan di Madinah. Ia berasal dari kabilah Bani Najjar, termasuk suku Khazraj. Dalam perang Badar, ia menerjunkan diri bersama dua saudara kandungnya, Auf bin Harits al Afra dan Mu’adz bin Harits al Afra.
            Pada awal perang Badar, tiga orang tokoh kafir Quraisy mengajukan tantangan duel terhadap pasukan muslim. Segera saja Mu’awwidz bersama saudaranya Auf dan seorang sahabat Anshar lainnya, Abdullah bin Rawahah menyambut tantangan tersebut. Tetapi mereka menolak berduel dengan para sahabat Anshar tersebut dan menginginkan tokoh Quraisy untuk menghadapinya, maka Nabi SAW memanggil mundur mereka. Walau kecewa karena tidak bisa segera membaktikan diri pada pertarungan pertama, mereka patuh dengan perintah Nabi SAW.
Ketika perang Badar mulai berkecamuk dengan sengitnya, Mu’awwwid bersama sahabat Anshar lainnya, Mu’adz bin Amr bin Jamuh merangsek maju ke posisi terdepan. Mereka menghampiri Abdurrahman bin Auf yang berada di ujung tombak pasukan, dan bertanya, "Wahai paman, tunjukkan padaku mana yang namanya Abu Jahal?"           
Abdurrahman bin Auf sempat heran dengan semangat dan keberanian dua pemuda itu, yang masuk begitu jauh ke jantung pasukan musuh. Ia menanyakan keperluannya dengan Abu Jahal, maka Mu'adz bin Amr dengan semangatnya menjawab, "Kudengar ia suka mencaci maki Rasulullah SAW, demi Allah yang diriku di tanganNya, jika aku sudah melihatnya, takkan kubiarkan ia lolos hingga siapakah di antara kami berdua yang terlebih dahulu mati..!"
Ibnu Auf melihat kepada pemuda satunya, maka Mu'awidz bin Afra juga menegaskan pernyataan yang sama seperti Mu’adz. Abdurrahman bin Auf  memandang berkeliling mencari keberadaan Abu Jahal.
Ketika ia telah menunjukkan sosok tokoh kafir Quraisy tersebut, dua pemuda ini langsung menghambur ke arah Abu Jahal. Saat itu Abu Jahal tengah naik kuda, Mu'awwidz menyabet kaki kudanya hingga jatuh, dan Mu'adz menebas kaki Abu Jahal hingga putus. Tetapi kemudian Ikrimah bin Abu Jahal datang, ia menyerang Mu'adz dan mengenai pundaknya hingga hampir putus, sementara Mu'awidz menyerang Abu Jahal dengan gencarnya hingga ia sekarat. Mu'adz sendiri sibuk bertempur melawan Ikrimah dengan satu lengan hampir putus, dan karena terganggu dengan keadaan lengannya itu, sekalian saja ia memotongnya. Setelah jatuhnya (sekaratnya) Abu Jahal, Muawwidz membatu Mu’adz melawan Ikrimah hingga ia lari tunggang langgang.
Setelah robohnya Abu Jahal, mereka berdua menemui Rasulullah SAW dan menceritakan apa yang mereka lakukan terhadap Abu Jahal. Masing-masing mengaku sebagai pembunuh Abu Jahal, karena itu beliau meminta mereka menunjukkan pedangnya. Setelah memeriksa pedang-pedang mereka itu, beliau bersabda, "Kalian berdua telah membunuh Abu Jahal..!"
Mereka sangat gembira karena ‘misi’ untuk membunuh orang yang selama ini sangat memusuhi dan menyakiti Nabi SAW telah berhasil. Mereka kembali terjun ke medan pertempuran, dan akhirnya Mu’awwidz menemui syahidnya.
            Usai peperangan, Nabi SAW memerintahkan para sahabat mencari Abu Jahal. Akhirnya Abdullah bin Mas'ud yang berhasil menemukannya tengah sekarat dan tak lama kemudian mati. Ia memotong kepalanya dan membawanya kepada Rasulullah SAW. Semua harta rampasan perang milik Abu Jahal diserahkan kepada Mu'adz bin Amr karena Mu'awidz telah syahid dalam perang Badar tersebut.

Umair bin Abi Waqqash RA, Sahabat yang Syahid di Perang Badar

            Umair bin Abi Waqqash RA telah memeluk Islam pada masa permulaan, sebagaimana kakaknya Sa'ad bin Waqqash, hanya saja ketika itu ia masih anak-anak. Usia yang masih sangat belia tidak menghalangi semangatnya untuk terus memperkokoh keimanan dan keislamannya. Justru karena itu, pengajaran Nabi SAW menjadi sangat lekat dalam pikirannya, nilai-nilai keimanan seakan menjadi ‘warna’ perkembangan kejiwaannya sehingga ia menjadi seorang muslim yang ‘militan’.
            Umair ikut berhijrah ke Madinah ketika usianya belasan tahun, begitu juga ketika Perang Badar berlangsung. Ketika pasukan muslim siap diberangkatkan ke Badar, ia berlarian kesana kemari di antara anggota pasukan lainnya. Sa'ad sangat heran melihat kelakuan adiknya ini, dan ia menanyakan sebabnya berbuat seperti itu. Umair berkata, "Saya khawatir, jika Rasulullah SAW mengetahui keberadaan saya di sini, beliau akan melarang saya ikut dalam pertempuran ini, karena saya masih sangat muda. Padahal saya sangat berharap bisa menyertainya, dan saya juga berharap akan memperoleh syahid…!"
Belum sempat Sa’d berkomentar, kekhawatirannya menjadi kenyataan, Rasulullah SAW mengetahui keberadaannya, dan beliau langsung melarangnya ikut karena masih terlalu muda. Umair menangis sesenggukan, penuh dengan kepiluan, padahal semangatnya telah memuncak untuk bisa bertempur membela panji-panji keislaman dan keimanan, sesuai dengan tuntutan jiwanya.
Dengan tangis kesedihan yang tidak bisa ditahan, ia memohon dengan sangat kepada Nabi SAW agar beliau mengijinkannya ikut serta. Melihat semangat dan tangis kesedihannya, beliau tidak tega juga. Sesaat beliau memandang kepada Sa’d, yang tampaknya ikut terlarut dalam kesedihan adiknya itu, kemudian Nabi SAW mengijinkannya ikut bergabung dengan pasukan yang dipersiapkan untuk berangkat menuju Badar.
Tidak terkira kegembiraan yang dirasakan Umair mendengar sabda beliau tersebut. Berkali-kali ia mengucapkan terima kasih kepada Nabi SAW, layaknya seseorang yang telah menerima anugerah dan hadiah yang sangat besar, sangat berharga bagi hidupnya. Kalau sekarang ini bisa digambarkan dengan kegembiraan seseorang yang mendapat hadiah satu milyar. Sa’d ikut terlarut dalam kegembiraan bersama adiknya, apalagi kemudian Nabi SAW mendoakan kebaikan untuk dirinya.
            Ketika perang mulai berkecamuk, tanpa ragu-ragu lagi Umair menerjunkan diri dalam kancah pertempuran. Sama sekali tidak tampak kalau ia baru pertama kalinya terjun dalam suatu pertempuran, karena semangatnya yang begitu membara. Setelah ia menerobos kepungan demi kepungan pasukan kafir Quraisy yang jumlahnya lebih dari tiga kali lipatnya itu, ia terjatuh karena terlalu banyaknya luka-luka yang dialaminya. Dan Allah mengabulkan harapannya untuk memperoleh syahid dalam peperangan Badar ini.

Ubaidah bin Harits RA, Sahabat yang Syahid di Perang Badar

            Ubaidah bin Harits masih termasuk paman dari Rasululah SAW, saudara sepupu dari ayah beliau, Abdullah bin Abdul Muthalib. Tetapi tidak seperti kebanyakan paman-paman beliau lainnya, ia segera memenuhi seruan beliau untuk memeluk Islam.
Sebelum perang Badar mulai pecah dan dua pasukan sedang berhadapan, tampillah tiga orang pahlawan kafir Quraisy yang juga penunggang kuda yang handal menantang duel. Tiga orang itu masih bersaudara, yakni Utbah bin Rabiah, Syaibah bin Rabiah dan Walid bin Utbah. Tantangan mereka ini langsung disambut oleh tiga orang sahabat Anshar, yang dua di antaranya masih saudara kandung, Muawwidz bin Harits al Afra, Auf bin Harits al Afra dan Abdullah bin Rawahah.
Kaum Quraisy merupakan suku terpandang dan sangat dihormati di jazirah Arabia, terutama karena mereka yang ‘berkuasa’ dalam mengelola Tanah Haram Makkah, di mana Ka’bah telah menjadi tempat ziarah mereka selama ratusan tahun atau bahkan ribuah tahun. Karenanya tiga orang Quraisy itu memandang rendah kehadiran tiga sahabat Anshar tersebut, mereka berkata, “Siapa pula kalian ini? Kami tidak membutuhkan kalian (untuk berduel), kami hanya menginginkan orang-orang terpandang dari kerabat-kerabat kami (yakni sesama kaum Quraisy). Karena itu Nabi SAW meminta tiga sahabat Anshar tersebut mundur, kemudian memerintahkan Ubaidah bin Harits, Hamzah bin Abdul Muthalib dan Ali bin Abi Thalib untuk menghadapinya.
Hamzah dan Ali dengan mudah dapat melumpuhkan dan membunuh lawannya, sedangkan Ubaidah yang menghadapi Utbah bin Rabiah (dalam riwayat lain, Walid bin Utbah), tampak seimbang. Mereka saling menyerang dan melukai, dan akhirnya sama-sama sekarat. Hamzah dan Ali akhirnya membantu Ubaidah membunuh Utbah.
Dalam riwayat lain disebutkan, pemimpin kafir Quraisy, Utbah bin Rabiah, menantang duel satu persatu. Majulah putranya, Walid bin Utbah dan Ali bin Abi Thalib maju menghadapinya dan berhasil membunuhnya. Kemudian majulah saudaranya Syaibah bin Rabiah dan paman Nabi SAW, Hamzah bin Abdul Muthalib melayani tantangannya dan dengan mudah pula membunuh lawannya.
Melihat anak dan saudaranya tewas di hadapannya, Utbah sendiri yang maju menuntut balas. Kali ini dihadapi oleh Ubaidah bin Harits. Mereka laksana dua tiang yang kokoh, saling beradu pukulan dan tampaknya kekuatan mereka seimbang. Ubaidah berhasil memukul pundak Utbah hingga patah, tetapi Utbah berhasil memotong betis kaki Ubaidah, keduanya tampak sekarat. Maka Ali dan Hamzah maju membunuh Utbah, dan mereka membawa Ubaidah ke tempat Nabi SAW yang sedang memimpin pasukan. 
Nabi SAW meletakkan kepala Ubaidah di kakinya, beliau mengusap wajahnya yang penuh debu. Ubaidah memandang beliau dan berkata, "Wahai Rasulullah, jika Abu Thalib melihat keadaanku ini, ia pasti akan mengetahui bahwa aku lebih berhak atas kata-kata yang pernah diucapkannya tersebut."
Ubaidah memang masih sepupu dari Abu Thalib. Ketika kaum kafir Quraisy berniat untuk membunuh Nabi SAW, bahkan mereka menawarkan seorang anak muda sebagai pengganti. Abu Thalib dengan tegas berkata, "… (Kalian berdusta jika mengatakan) bahwa kami akan menyerahkannya (yakni Muhammad, tanpa kami melindunginya) sampai kami terkapar di sekelilingnya dan bahkan (untuk itu akan) menelantarkan anak-anak dan istri-istri kami sendiri."
Nabi SAW tersenyum mendengar perkataannya tersebut, dan Ubaidah bertanya, "Apakah aku syahid, ya Rasulullah?"
"Ya," Kata beliau, "Dan aku akan menjadi saksi untukmu!!"
Ubaidah masih terus bertahan hidup hingga Perang Badar usai, walau ia harus menahan rasa sakit yang tidak terperikan. Empat atau lima hari kemudian ia meninggal dalam perjalanan pulang ke Madinah. Nabi SAW menguburkannya di Shafra', sebuah wadi antara Badar dan Madinah, dan beliau sendiri yang turun ke kuburnya untuk memakamkannya.