Ubaidah bin Harits masih termasuk paman dari Rasululah SAW, saudara sepupu dari ayah beliau, Abdullah bin Abdul Muthalib. Tetapi tidak seperti kebanyakan paman-paman beliau lainnya, ia segera memenuhi seruan beliau untuk memeluk Islam.
Sebelum perang Badar mulai pecah dan dua pasukan sedang berhadapan, tampillah tiga orang pahlawan kafir Quraisy yang juga penunggang kuda yang handal menantang duel. Tiga orang itu masih bersaudara, yakni Utbah bin Rabiah, Syaibah bin Rabiah dan Walid bin Utbah. Tantangan mereka ini langsung disambut oleh tiga orang sahabat Anshar, yang dua di antaranya masih saudara kandung, Muawwidz bin Harits al Afra, Auf bin Harits al Afra dan Abdullah bin Rawahah.
Kaum Quraisy merupakan suku terpandang dan sangat dihormati di jazirah Arabia, terutama karena mereka yang ‘berkuasa’ dalam mengelola Tanah Haram Makkah, di mana Ka’bah telah menjadi tempat ziarah mereka selama ratusan tahun atau bahkan ribuah tahun. Karenanya tiga orang Quraisy itu memandang rendah kehadiran tiga sahabat Anshar tersebut, mereka berkata, “Siapa pula kalian ini? Kami tidak membutuhkan kalian (untuk berduel), kami hanya menginginkan orang-orang terpandang dari kerabat-kerabat kami (yakni sesama kaum Quraisy). Karena itu Nabi SAW meminta tiga sahabat Anshar tersebut mundur, kemudian memerintahkan Ubaidah bin Harits, Hamzah bin Abdul Muthalib dan Ali bin Abi Thalib untuk menghadapinya.
Hamzah dan Ali dengan mudah dapat melumpuhkan dan membunuh lawannya, sedangkan Ubaidah yang menghadapi Utbah bin Rabiah (dalam riwayat lain, Walid bin Utbah), tampak seimbang. Mereka saling menyerang dan melukai, dan akhirnya sama-sama sekarat. Hamzah dan Ali akhirnya membantu Ubaidah membunuh Utbah.
Dalam riwayat lain disebutkan, pemimpin kafir Quraisy, Utbah bin Rabiah, menantang duel satu persatu. Majulah putranya, Walid bin Utbah dan Ali bin Abi Thalib maju menghadapinya dan berhasil membunuhnya. Kemudian majulah saudaranya Syaibah bin Rabiah dan paman Nabi SAW, Hamzah bin Abdul Muthalib melayani tantangannya dan dengan mudah pula membunuh lawannya.
Melihat anak dan saudaranya tewas di hadapannya, Utbah sendiri yang maju menuntut balas. Kali ini dihadapi oleh Ubaidah bin Harits. Mereka laksana dua tiang yang kokoh, saling beradu pukulan dan tampaknya kekuatan mereka seimbang. Ubaidah berhasil memukul pundak Utbah hingga patah, tetapi Utbah berhasil memotong betis kaki Ubaidah, keduanya tampak sekarat. Maka Ali dan Hamzah maju membunuh Utbah, dan mereka membawa Ubaidah ke tempat Nabi SAW yang sedang memimpin pasukan.
Nabi SAW meletakkan kepala Ubaidah di kakinya, beliau mengusap wajahnya yang penuh debu. Ubaidah memandang beliau dan berkata, "Wahai Rasulullah, jika Abu Thalib melihat keadaanku ini, ia pasti akan mengetahui bahwa aku lebih berhak atas kata-kata yang pernah diucapkannya tersebut."
Ubaidah memang masih sepupu dari Abu Thalib. Ketika kaum kafir Quraisy berniat untuk membunuh Nabi SAW, bahkan mereka menawarkan seorang anak muda sebagai pengganti. Abu Thalib dengan tegas berkata, "… (Kalian berdusta jika mengatakan) bahwa kami akan menyerahkannya (yakni Muhammad, tanpa kami melindunginya) sampai kami terkapar di sekelilingnya dan bahkan (untuk itu akan) menelantarkan anak-anak dan istri-istri kami sendiri."
Nabi SAW tersenyum mendengar perkataannya tersebut, dan Ubaidah bertanya, "Apakah aku syahid, ya Rasulullah?"
"Ya," Kata beliau, "Dan aku akan menjadi saksi untukmu!!"
Ubaidah masih terus bertahan hidup hingga Perang Badar usai, walau ia harus menahan rasa sakit yang tidak terperikan. Empat atau lima hari kemudian ia meninggal dalam perjalanan pulang ke Madinah. Nabi SAW menguburkannya di Shafra', sebuah wadi antara Badar dan Madinah, dan beliau sendiri yang turun ke kuburnya untuk memakamkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar