Kamis, 27 Desember 2012

Anas bin Malik RA, Sahabat yang Banyak Meriwayatkan Hadits Nabi SAW

            Anas bin Malik RA, siapapun yang sedang membaca atau mempelajari kitab-kitab Hadist Nabi SAW, pastilah akan menemukan nama sahabat yang satu ini, karena ia termasuk sahabat yang banyak meriwayatkan hadits-hadits beliau. Tidak heran, karena sejak awal Nabi SAW menginjakkan kakinya di Madinah, ibunya, Ummu Sulaim (Rumaisha binti Milhan) menyerahkan anaknya yang masih berusia 10 tahun tersebut (riwayat lainnya, usianya belum sampai 10 tahun) untuk menjadi pelayan Nabi SAW, dan beliau menerimanya dengan gembira. Dan Anas bin Malik terus menjadi pelayan Nabi SAW hingga beliau berpulang ke Rahmatullah.
Sebelum kehadiran Islam di Madinah, keluarga Anas bin Malik diliputi kebahagiaan, kedua orang tuanya, Rumaisha binti Milhan dan Malik bin Nadhar termasuk pasangan yang ideal walaupun mereka masih saudara sepupu, hidupnya rukun tanpa diwarnai pertengkaran. Tetapi ketika cahaya Islam mulai menyinari Madinah, saat itu Nabi SAW belum berhijrah dan Agama Islam didakwahkan oleh utusan beliau, Mush'ab bin Umair dengan didampingi salah satu tokoh Madinah, As'ad bin Zurarah, rumah tangga orang tuanya mulai goncang. Ibunya, yang lebih dikenal  dengan nama Ummu Sulaim ternyata mengikuti dakwah dua orang tersebut dan memeluk Islam tanpa diketahui oleh suaminya.
Ketika Malik bin Nadhar mengetahui keislaman istrinya, ia sangat marah, tetapi keyakinan Ummu Sulaim sudah sangat menguat. Suaminya berkata, "Apakah engkau sudah murtad?"   
"Aku tidak murtad, tetapi justru aku telah beriman…!!" Kata Ummu Sulaim.
Saat itu Ummu Sulaim sedang bersama putra kesayangannya, Anas, yang segera saja ia merengkuhnya dan berkata, "Wahai Anas, ucapkanlah : Asyhadu an laa ilaaha illallaah…!!" 
Anas mengikuti perintah ibunya mengucap syahadat tersebut dengan lancar. Ayahnya berkata, "Janganlah engkau merusak keyakinan anakku!!"
"Aku tidak merusaknya," Kata Ummu Sulaim, "Bahkan aku telah mengajar dan mendidik dirinya dengan kebenaran…!"
Kemudian Ummu Sulaim berpaling lagi kepada putranya dan berkata, "Ucapkanlah : Asyhadu anna muhammadar rasulullah…!!"
Sekali lagi Anas mengikuti perintah ibunya dan mengulang ucapan tersebut dengan lancar. Ayahnya makin marah melihat sikap ibunya tersebut, dan ia mengancam akan meninggalkannya. Tetapi keyakinan Ummu Sulaim seakan tidak bergeming, bahkan ia terus mengajari Anas untuk mengucapkan dua kalimat syahadat tersebut berulang-ulang. Kemarahan Malik bin Nadhar makin memuncak dan akhirnya meninggalkan rumah, meninggalkan istri dan anak-anaknya. Sebagian riwayat menyebutkan ia pergi ke Syam dan meninggal di sana, dan riwayat lain menyatakan, ketika keluar tersebut ia bertemu dengan musuh lamanya dan terbunuh dalam suatu perkelahian. 
Tentu ada kesedihan pada diri Ummu Sulaim dan anak-anaknya, terutama pada diri Anas yang masih kecil, kehilangan ayah yang menjadi pilar keluarganya, dan juga kebahagiaan keluarganya yang dahulu dinikmatinya. Apalagi kemudian mereka mendapat kabar kalau ayahnya telah meninggal. Tetapi sesungguhnya tidak ada kenikmatan yang lebih baik dan lebih utama daripada kenikmatan merasakan manisnya keimanan, mungkin itu yang dirasakan Ummu Sulaim, dan itu membuatnya tetap tegar menjalani kehidupan. 
Ketika Nabi SAW telah hijrah dan tinggal di Madinah, Ummu Sulaim menemui beliau dan menawarkan anak kesayangannya, Anas bin Malik menjadi pelayan beliau, dan beliau menerimanya dengan senang hati. Beliau juga berdoa untuk Anas atas permintaan ibunya, "Ya Allah, perbanyaklah hartanya dan juga anak-anaknya, serta berkahilah ia di dalamnya…!!"
Doa Nabi SAW ini dikabulkan Allah, Anas berumur panjang dan hartanya melimpah ruah, tetapi ia tetap hidup dalam kezuhudan sesuai dengan contoh dari Rasulullah SAW. Beberapa orang anak dan cucunya telah meninggal sementara ia tetap dalam keadaan sehat dan selalu dalam kesalehannya.
Anas bin Malik memang bukan satu-satunya pelayan Nabi SAW, ada beberapa sahabat lainnya yang membaktikan hidupnya untuk melayani Rasulullah SAW seperti Bilal bin Rabah, Rabi'ah bin Ka'b, dan lain-lainnya. Tetapi ia memiliki kebiasaan unik, ia selalu bergegas menampung dan mengambil air bekas mandi Rasulullah SAW, lalu air tersebut digunakannya sendiri untuk mandi. Ia juga selalu mengumpulkan rambut-rambut Rasulullah yang terjatuh/ rontok, sebagaimana beberapa sahabat lainnya melakukannya, termasuk Khalid bin Walid, kemudian berpesan kepada orang-orang di sekitarnya agar rambut-rambut beliau tersebut disertakan/dimasukkan ke dalam kafannya kalau ia telah meninggal dan akan dikuburkan, termasuk surban Rasulullah SAW.
Sepanjang masa kanak-kanak hingga remajanya ia tinggal bersama Rasulullah SAW,  hal ini membuat dirinya bisa mengingat dan merekam banyak hal tentang beliau. Apalagi Nabi SAW memperlakukan dirinya seperti putra beliau sendiri. Dalam konteks sekarang ini, sejak SD hingga lulus SMA, Anas bin Malik hanya menerima satu pelajaran dari satu guru saja, yakni pelajaran keislaman dengan berbagai seginya, dari guru yang pertama dan utama, yakni Rasulullah SAW. Tidak ada hal lain yang harus dikerjakannya dan menyibukkannya, kecuali melayani beliau sehingga tak heran, setelah Nabi SAW wafat, ia menjadi rujukan pertanyaan para sahabat tentang kehidupan beliau sehari-harinya, baik dalam hal akhlak maupun ibadah. Padahal usianya masih sangat muda.
Abu Hurairah pernah berkata, "Aku tidak melihat seseorang yang shalatnya lebih mirip dengan shalatnya Rasulullah SAW kecuali shalatnya putra Ummu Sulaim (yakni, Anas bin Malik)…"
Anas bin Malik juga terjun dalam berbagai medan jihad bersama Rasulullah SAW, tentunya tanpa meninggalkan tugas utamanya sebagai pelayan beliau. Setelah wafatnya Nabi SAW, barulah ia bisa terjun dengan maksimal di medan jihad, di samping ia memang sudah cukup dewasa. Di masa Umar bin Khatthab, ketika ia mengikuti pasukan yang mengepung benteng Tustar, seolah-olah  ia berada di ujung tanduk, sudah dekat sekali dengan pintu kematiannya. Tetapi karena Rasulullah SAW telah mendoakannya untuk berusia panjang, maka ada saja jalan yang menyelamatkannya.
Pasukan Persia yang mempertahankan kota Tustar menggunakan besi panas berkait untuk menyerang pasukan muslim yang mengepungnya. Tentara muslim yang terkena kaitan akan diangkat ke atas benteng dan dibunuh. Saat itu Anas bin Malik terkena kaitan besi panas tersebut dan mulai ditarik ke atas. Melihat keadaan tersebut, saudara Anas, Barra' bin Malik, yang memang bertubuh kecil tetapi mempunyai semangat dan kekuatan jihad yang luar biasa, meminta beberapa orang untuk melemparkannya ke arah kaitan besi panas yang membawa saudaranya tersebut. Gambarannya mungkin seperti aksi cheerleader yang melemparkan salah satu temannya pada struktur teratas. Barra' berhasil merengkuh kaitan besi, walau tangannya melepuh tidak diperdulikannya lagi. Ia berhasil melepaskan Anas dari kaitan tersebut dan menjatuhkan diri di kumpulan pasukan muslim, dan mereka berdua selamat.
Dengan usianya yang panjang, Anas menjadi salah satu ‘sumber’ pengetahuan keislaman bagi ulama-ulama tabi’in. Khalifah demi khalifah berganti, berbagai konflik dan gejolak tidak lepas dari sejarah perkembangan Islam yang wilayahnya makin meluas, tetapi Anas bin Malik tetap menjadi salah satu sumber rujukan utama ketika mereka ingin mengetahui berbagai hal tentang Rasulullah SAW.  
Anas bin Malik pernah didatangi seorang lelaki yang memberitahukan kalau daerahnya dilanda kekeringan  dan tanahnya sangat gersang. Ia mendatangi daerah tersebut, kemudian berwudhu dan shalat dua rakaat di suatu tanah lapang yang tandus, kemudian memanjatkan doa. Atas ijin Allah, beberapa saat kemudian awan datang berarak dan turun hujan di tempat itu. Padahal saat itu adalah musim panas.
Hal yang paling berkesan baginya tentang Nabi SAW, diungkapkan dalam perkataannya, "Selama sepuluh tahun saya berkhidmad kepada Rasulullah SAW, saya tidak pernah melihat beliau memukul seorang pelayan ataupun seorang wanita. Beliau juga tidak pernah menegur (atau mempertanyakan) : Apa yang engkau lakukan? Mengapa engkau lakukan? Mengapa engkau tidak lakukan ini? Mengapa engkau tidak tinggalkan itu?"
            Anas bin Malik meninggal dalam usia sekitar 100 tahun, yakni pada tahun 90-an hijriah, pada masa kekhalifahan Walid bin Abdul Malik dari Bani Umayyah. Karena kewafatannya ini, para ulama pada masa itu berkata, "Telah hilang dari kita separuh dari ilmu…!!"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar