Auf bin Harits bin Rifaah adalah seorang pemuda dari kalangan Anshar dan saudara kandung dari Muawwidz bin Harits al Afra, salah satu dari dua pemuda Anshar yang membunuh Abu Jahal di Perang Badar. Nama al Afra dinisbahkan kepada ibunya, karena itu Auf bin Harits terkadang dikenali dengan nama Auf bin Harits al Afra, atau Auf bin Afra saja.
Auf bin Harits merupakan orang Yatsrib (nama Madinah sebelum Islam) yang mula-mula memeluk Islam, bahkan bisa dikatakan sebagai ‘pioner’ dari tersebarnya Islam di kotanya itu. Saat itu tahun ke sebelas dari kenabian, bersama lima orang temannya yang masih sama-sama muda, ia melaksanakan ibadah haji. Mereka berenam ini memang terkenal sebagai pemuda yang cerdas dan cukup berpengaruh di kabilahnya masing-masing. Suatu malam, usai melaksanakan seluruh ritual haji (tentunya dengan cara jahiliah), mereka duduk-duduk di Aqabah, Mina sambil mengobrol. Tiba-tiba muncul tiga orang, yang salah satunya berkata, “Siapakah kalian ini?”
Auf dan teman-temannya berkata, “Kami orang-orang Khazraj dari Yatsrib!!”
“Sekutu dari orang-orang Yahudi??” Tanya lelaki itu.
“Benar!!”
Lelaki itu berkata dengan sopannya, “Bolehkan kami duduk sebentar bersama kalian dan memperbincangkan sesuatu!!”
Penampilan tiga orang itu memang sangat menarik, terutama lelaki yang berbicara tersebut, wajahnya sangat cerah layaknya bulan purnama bersinar, pandangan mata dan ucapannya sangat menyejukkan hati. Tentu saja, karena lelaki tersebut tidak lain adalah Rasulullah SAW, dan dua orang yang menemani beliau adalah Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib. Karena itu mereka mempersilahkannya.
Nabi SAW kemudian menceritakan tentang risalah kenabian beliau dan seluk-beluk tentang keislaman. Usai beliau bercerita, ke enam orang tersebut saling berpandangan, kemudian salah satunya berkata, “Demi Allah, kalian semua mengetahui bahwa dia (yakni Rasulullah SAW) benar-benar seorang nabi, yang ciri-cirinya sering disebut-sebut oleh orang-orang Yahudi. Karena itu jangan sampai mereka mendahului kalian, dan marilah kita mengikuti seruannya memeluk Islam!!”
Memang, dalam pergaulannya dengan orang-orang Yahudi Yatsrib selama ini, telah santer terdengar berita kalau mereka tengah menunggu kehadiran seorang nabi yang muncul pada masa itu, dan menyebutkan ciri-cirinya. Bahkan orang-orang Yahudi itu, yang termasuk minoritas dan lemah dibanding penduduk asli Yatsrib, sering membangga-banggakan kalau telah mengikuti nabi tersebut, mereka akan menjadi kuat dan mampu memerangi Khazraj dan Aus dan menghancur-leburkannya, sebagaimana di masa lalu kaum Ad dan Iram dihancurleburkan dengan pertolongan Allah.
Auf dan ke lima temannya tampaknya memang sependapat tentang kebenaran kenabian Rasulullah SAW itu. Apalagi dengan penjelasan beliau tentang Risalah Islamiah, mereka berharapan besar akan bisa menyatukan dua suku, Khazraj dan Aus, yang telah terlibat perang saudara selama bertahun-tahun lamanya, dan melenyapkan permusuhan yang berlarut-larut rasanya.
Satu persatu mereka menjabat tangan Rasulullah SAW dan menyatakan diri memeluk Islam. Setelah keislamannya, Auf berkata, “Kami tidak akan membiarkan kaum kami (yakni Khazraj) dan kaum lainnya (yakni Aus) terus-menerus bermusuhan dan berbuat jahat. Semoga Allah akan menyatukan mereka dengan kehadiran engkau. Sepulangnya nanti, kami akan mengajak mereka untuk memeluk agama engkau, dan jika mereka bisa bersatu , maka sungguh tidak ada yang lebih mulia di mata kami kecuali engkau!!”
Nabi SAW sangat gembira dengan niat Auf dan kawan-kawannya untuk mendakwahkan Islam kepada orang-orang Yatsrib, dan beliau mendoakan mereka dengan kebaikan. Dan ternyata benar, seruan mereka memperoleh sambutan luar biasa dari kaumnya termasuk dari ‘musuhnya’, kaum Aus. Segera saja nama Nabi Muhammad SAW menjadi ‘buah bibir’ di masyarakat Yatsrib dan banyak sekali yang memeluk Islam.
Pada tahun haji berikutnya, yakni tahun ke duabelas dari kenabian, lima dari enam pemuda tersebut termasuk Auf bin Harits al Afra, berikut tujuh orang tokoh-tokoh dari berbagai kabilah termasuk dari suku Aus, bertemu dan menghadap Nabi SAW di Aqabah, Mina untuk meneguhkan keislaman mereka, mewakili sebagian besar dari kaumnya yang telah memeluk Islam. Peristiwa ini dalam tarikh Islam disebut sebagai Bai’atul Aqabah Pertama, dan menjadi salah satu tonggak perkembangan Islam.
Karena peristiwa itu, tidak heran kalau Auf bin Harits menjadi salah satu pemuda yang disayang dan diperhatikan khusus oleh Rasulullah SAW.
Pada awal perang Badar, tiga orang penunggang kuda yang handal dari kaum kafir Quraisy menantang duel. Mereka bertiga masih bersaudara, yakni Utbah bin Rabiah, Syaibah bin Rabiah dan Walid bin Utbah, saudara kandung dari Hindun binti Utbah. Mendapat tantangan duel ini, tiga orang pemuda Anshar langsung maju menyambutnya, yakni Auf bin Harits al Afra, Muawwidz bin Harits al Afra dan Abdullah bin Rawahah. Tetapi tiga tokoh Quraisy tersebut tampaknya tidak berkenan, salah satu dari mereka berkata, "Siapakah kalian ini?"
"Kami adalah orang-orang Anshar!!" Kata ketiga pemuda tersebut.
"Kami hanya menginginkan orang-orang yang terpandang (untuk menerima tantangan kami), kami tidak memerlukan kalian. Kami hanya menginginkan kerabat pamanku..!!"
Sebagian dari kaum kafir Quraisy juga ada yang berkata, "Hai Muhammad, keluarkanlah orang-orang yang terpandang yang berasal dari kalangan kami!!"
Auf bin Harits cukup kecewa karena gagal berduel dengan tokoh Quraisy. Karena itu, setelah peperangan mulai berlangsung, ia mendatangi Nabi SAW dan bertanya, "Wahai Rasulullah, apa yang bisa menyebabkan Rabb (Allah) tersenyum terhadap hamba-Nya??"
Nabi SAW tersenyum melihat semangatnya. Beliau memang seorang motivator yang hebat, yang memahami benar bagaimana perasaan pemuda Anshar ini akibat peristiwa yang dialami sebelumnya. Beliau bersabda, "Kalau Dia melihat hamba-Nya menerjunkan diri menyerang musuh tanpa memakai baju besi!!"
Mendengar sabda beliau ini, Auf segera melepaskan baju besi yang dipakainya, kemudian menghambur menyerang musuh dengan pedangnya. Benarlah yang dikatakan Rasulullah SAW, dengan tanpa memakai baju besi, ia jadi lebih leluasa bergerak dan lebih maksimal dalam "menumpahkan" semangatnya untuk membela panji-panji keislaman. Tetapi tak ayal, tubuhnya-pun menjadi serangan empuk dari berbagai macam senjata musuh dan akhirnya ia menemui syahidnya.
Bukanlah penyesalan, karena kesyahidan itulah yang sebenarnya banyak diinginkan oleh para sahabat Nabi SAW. Bahkan Khalid bin Walid sempat "menyesal" ia tidak bisa menemui syahidnya di medan pertempuran tetapi hanya ‘syahid’ di atas tempat tidurnya, karena ia selalu memenangkan berbagai pertempuran yang diterjuninya, berkat doa Nabi SAW, yang kemudian menggelarinya sebagai Syaifullah, Si Pedang Allah.
Bagi Auf bin al Afra sendiri, kesyahidannya seolah melengkapi kemuliaan keluarganya, karena saudaranya Muawwidz bin al Afra, setelah berhasil membunuh Abu Jahal juga menemui syahidnya di perang Badar tersebut. Sedangkan saudara kandungnya yang lain, Mu’adz bin Harits al Afra tetap dalam keadaan hidup walau mengalami banyak luka-luka. Tetapi sebagian riwayat menyebutkan, Mu’adz juga meninggal beberapa hari atau minggu setelah perang Badar tersebut.
mas sumbernya dari mana ya? kebetulan dalan riset saya menemukan tokoh yang satu ini, tapi masih belum lengkap. wa 089636965634
BalasHapusAssalamualaikum Wr Wb, rujukan utama adalah Kitab Sirah Nabawiah karya Syeh Mubarakfury, beberapa referensi dari Kitab Hayatush Shahabah, dan beberapa Kitab lainnya. wass wr.wb
Hapus