Abdullah bin
Umar adalah putra Umar bin Khaththab, dan ia telah memeluk Islam semenjak
kanak-kanak ketika masih di Makkah. Ia bergaul dengan Rasulullah SAW sepanjang
masa anak-anak dan remajanya. Pada saat terjadinya Perang Uhud, bersama
beberapa orang pemuda/remaja lainnya ia menghadap Rasulullah SAW untuk ikut
serta dalam pertempuran tersebut, tetapi beliau tidak mengijinkan mereka. Saat
itu usianya memang belum genap 15 tahun.
Dalam usianya
yang masih sangat muda, Ibnu Umar sangat mencintai Nabi SAW. Dalam setiap
kesempatan yang dimilikinya, ia selalu mengamati dan mengikuti aktivitas Nabi
SAW. Ia melihat ada seorang lelaki yang selalu mendatangi Nabi SAW untuk
menceritakan mimpinya jika ia bermimpi. Karena itu ia sangat ingin bisa
bermimpi, agar bisa menceritakan mimpinya kepada Nabi SAW seperti lelaki
tersebut.
Suatu ketika ia tidur
di masjid, dan memimpikan sesuatu yang menyenangkan sekaligus menakutkan. Ia
merasa memegang suatu kain sutera, dan tidaklah tergerak di hatinya suatu
tempat di surga, kecuali kain sutera itu akan menariknya (membawanya) terbang
ke tempat tersebut. Tiba-tiba ada dua malaikat datang dan membawanya ke neraka.
Di sana ia
melihat bangunan seperti sumur yang mempunyai dua cabang, dan di dalam sumur
tersebut banyak orang yang dikenalinya. Muncul kekhawatiran dalam dirinya, sehingga
ia berkata, "Semoga Allah melindungiku dari neraka ini…!"
Kemudian datang
malaikat yang lain, yang mengatakan agar ia tidak takut dengan neraka tersebut.
Setelah itu ia terbangun dari tidurnya.
Walau
keinginannya untuk bermimpi telah terpenuhi, ternyata Ibnu Umar tidak punya
keberanian untuk menceritakan mimpinya tersebut kepada Nabi SAW seperti yang
diinginkan sebelumnya. Karena itu ia menceritakannya kepada kakaknya yang juga
istri Nabi SAW, Hafshah. Ketika Hafshah menceritakan mimpi tersebut kepada Nabi
SAW, beliau bersabda, "Abdullah bin Umar adalah anak yang baik, saya
berharap semoga ia selalu melaksanakan shalat malam."
Setelah Hafshah
menyampaikan sabda Nabi SAW tersebut, Ibnu Umar selalu mengerjakan shalat
malam, dan tidur hanya sebentar saja.
Abdullah bin
Umar dikenal sebagai sahabat yang paling banyak meneladani Nabi SAW, dalam
sikap dan perilaku beliau, bahkan pada hal-hal yang sebenarnya tak berarti. Ia
selalu memperhatikan apa yang dilakukan Nabi SAW, dan kemudian menirunya dengan
cermat dan teliti, agar semaksimal mungkin bisa sama. Misalnya ia melihat Nabi
SAW shalat di suatu tempat, maka di tempat yang sama, ia akan melakukan shalat
seperti beliau. Jika Nabi SAW berdoa dengan berdiri, ia juga akan berdoa dengan
berdiri di tempat tersebut.
Pernah, di suatu
tempat di Makkah , ia melihat Nabi SAW berputar dua kali dengan
untanya sebelum turun dan shalat dua rakaat. Maka setiap kali ia melewati
tempat itu, ia akan memutar untanya dua kali, kemudian turun dan shalat dua
rakaat seperti yang pernah dilakukan Nabi SAW. Padahal bisa saja unta Nabi SAW
itu memutar sekedar untuk mencari tempat yang tepat untuk berhenti dan
beristirahat.
Begitulah
kesetiaan Abdullah bin Umar dalam mengikuti jejak langkah Nabi SAW, sehingga
Ummul Mukminin, Aisyah RA pernah berkata,
"Tak seorangpun mengikuti jejak Rasulullah SAW di tempat-tempat
pemberhentian beliau, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Umar…."
Hampir tidak ada
suatu perilaku Nabi SAW, yang diketahuinya yang tidak ditirunya. Setelah beberapa
tahun berlalu sepeninggal Nabi SAW, ia ingat sesuatu yang ia tidak tahu apa yang
dilakukan oleh beliau dan ia belum menirunya. Waktu Fathul Makkah, beliau masuk
ke dalam Ka'bah. Yang diketahuinya beliau menghancurkan berhala-berhala,
setelah itu ia tidak tahu. Karenanya ia segera mencari Bilal bin Rabah yang
saat itu mengikuti beliau masuk ke dalam Ka'bah untuk menanyakan hal tersebut.
Atas pertanyaannya ini Bilal berkata, "Beliau berdiri di antara dua tiang
Ka'bah dan shalat dua rakaat…."
Mendengar
penjelasan ini Abdullah bin Umar menangis penuh penyesalan, beberapa kali ia
mengunjungi dan masuk ke dalam Ka'bah, tetapi ia tidak pernah shalat dua rakaat
seperti itu. Ia sangat sedih dan merasa telah gagal meneladani Nabi SAW, seolah-olah
sekian banyak ibadah, jihad, kedermawanan dalam membelajakan hartanya di jalan
Allah, dan berbagai amal kebaikan yang dilakukannya tidak bisa menebus
kelalaiannya dalam mengamalkan dua rakaat yang dilakukan Nabi SAW di dalam
Ka'bah tersebut.
Karena
‘kebiasaan uniknya’ tersebut, banyak sekali sahabat atau orang-orang yang tidak
sempat bertemu Nabi SAW, berdoa, “Ya Allah, panjangkanlah usia Abdullah bin
Umar selama Engkau menetapkanku untuk bisa meneladaninya. Karena sesungguhnya
aku tidak mengetahui seseorang yang perilakunya paling menyerupai Rasulullah
SAW selain dirinya!!”
Beberapa sahabat
lainnya berkata, “Tidak ada seorangpun dari sahabat Nabi SAW yang sangat
berhati-hati terhadap hadits, seperti hati-hatinya Abdullah bin Umar!!”
Dengan
kesetiaannya meneladani Nabi SAW dan mengikuti pengajaran-pengajaran beliau,
Abdullah bin Umar tumbuh menjadi seorang yang alim, abid dan zuhud, sebagaimana
ayahnya, Umar bin Khaththab. Banyak sekali sahabat Nabi SAW mengakui ketaqwaannya,
hingga ketika Umar hampir wafat, mereka mengusulkan agar putranya tersebut yang
menjadi khalifah. Tetapi dengan tegas Umar berkata, “Cukuplah satu orang saja
dari keluarga Umar yang akan dihisab (dituntut) dalam urusan (memimpin kaum
muslimin) ini, yakni Umar…!!”
Begitu juga
ketika Umar kesulitan mencari seseorang untuk menjabat gubernur Kufah, para
sahabat mengusulkan Abdullah bin Umar karena kemampuan, kesalehan dan
kealimannya. Tetapi lagi-lagi Umar menolak, walau ia yakin putranya tersebut
mampu menjalankannya. Bukan berarti ia tidak sayang, justru karena sangat
sayangnya kepada Abdullah bin Umar, maka sebisa mungkin ia menghindarkan putranya
tersebut dari ‘lingkaran’ pemerintahan, agar langkahnya (hisabnya) di akhirat
kelak menjadi ringan.
Saat Utsman bin
Affan menjadi khalifah, ia menunjuk Ibnu Umar menjadi qadhi (hakim). Tetapi
seperti pendidikan yang diberikan ayahnya, ia segera menolak jabatan tersebut.
Ketika Utsman berkata, “Apakah engkau tidak taat kepadaku??”
Ibnu Umar
berkata, “Bukan begitu, wahai Amirul Mukminin, tetapi aku pernah mendengar
Rasulullah SAW mengatakan, bahwa hakim itu terbagi tiga. Hakim yang memutuskan
perkara dengan kebodohannya, maka ia masuk neraka. Hakim yang memutuskan
perkara dengan hawa nafsunya, maka ia masuk neraka juga. Dan satu lagi hakim
yang memutuskan dengan ijtihad, dan ijtihadnya itu benar, maka baginya tidak
ada dosa dan tidak pula pahala baginya!!”
Ketika Utsman
wafat terbunuh dan kaum muslimin mulai terpecah belah, beberapa orang sahabat
mendatanginya dan berkata, “Wahai Ibnu Umar, engkau adalah pemimpin umat, dan
putra dari pemimpin umat, keluarlah bersama kami, dan kami akan mengajak ummat
untuk memba’iat engkau sebagai khalifah!!”
Tetapi seperti
ketegasan dan keteguhan yang ditanamkan ayahnya, serta merta ia menolak tawaran
tersebut, dan menyibukkan diri dengan ibadah demi ibadah kepada Allah.
Abdullah bin
Umar berusia panjang hingga melewati masa-masa fitnah. Ketika terjadi
pertentangan antara Ali dan Muawiyah, ia memilih untuk abstain, tidak memihak
kepada ke dua belah pihak. Sebenarnya Ali bin Abi Thalib sendiri yang
mendatanginya untuk bergabung, tetapi Ibnu Umar berkata, “Saya telah berjanji
kepada Allah untuk tidak membunuh seseorang yang telah mengakui (bersyahadat,
bersaksi) bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan
Allah!!”
Setelah
mengetahui penolakannya terhadap ajakan Ali, Muawiyah mengirim seorang utusan yang
memintanya untuk bergabung dengannya. Tetapi Ibnu Umar menjawab dengan tegas
dan lebih ‘pedas’ kepadanya, “Apa yang kamu harapkan daripadaku (yakni dukungan
Ibnu Umar), adalah sesuatu yang menjadikan engkau seperti dirimu yang sekarang
ini, bahkan lebih (yakni, ambisinya terhadap kekuasaan dan kesombongan). Aku
tidak menyertai Ali bukan karena curiga kepadanya, demi Allah yang nyawaku di
tangan-Nya, aku sama sekali tidak setaraf dengan Ali bin Abi Thalib (yakni,
jauh lebih rendah), baik dalam keimanan, hijrah ataupun kedudukannya di sisi
Rasulullah SAW, serta perjuangannya melawan kemusyrikan…. Akan tetapi apa yang
terjadi sekarang ini belum terjadi di masa Nabi SAW, sehingga saya bersikap
tidak memihak. Janganlah pernah mencoba untuk mempengaruhi saya lagi!!”
Setelah itu
Abdullah bin Umar memilih menyendiri, sibuk beribadah serta melazimi sunnah dan
perilaku Nabi SAW seperti yang selama ini banyak dilakukannya. Tetapi kondisi
‘politik’ dan kekuasaan Islam saat itu makin memanas setelah Ali bin Abi Thalib
terbunuh. Para pemegang kekuasaan tidak lagi meneladani Nabi SAW dan para
sahabat terdahulu, tetapi lebih seperti para Kaisar Romawi ataupun Kisra Persia ,
kedzaliman yang merajalela karena jabatannya. Banyak sekali peristiwa ‘hitam’
dalam sejarah Islam yang terjadi saat itu, sehingga membuat Ibnu Umar harus
mengkritisi mereka. Mungkin tidak banyak berarti, tetapi setidaknya ia telah
menyampaikan kebenaran yang diketahuinya dari Nabi SAW, dan itu adalah jihad
yang sangat besar. Perkataan atau kalimat yang benar, yang disampaikan di
hadapan penguasa yang dzalim.
Setelah
meninggalnya khalifah Muawiyah bin Yazid pada tahun 64 hijriah, Marwan bin
Hakam, salah seorang tokoh dan sesepuh Bani Umayyah, meminta Abdullah bin Umar
untuk menjadi khalifah. Ibnu Umar memang bukan dari Bani Umayyah, tetapi salah
satu keponakan (anak saudaranya) perempuannya ada yang dinikahi oleh putra
Marwan, Abdul Azis bin Marwan. Atas dasar kedekatan hubungannya (dari
perkawinan) inilah Ibnu Umar diminta untuk menjadi khalifah, yang tentu saja
ditolaknya mentah-mentah. Apalagi ‘track record’ kekhalifahan Muawiyah bin Abu
Sufyan dan Yazid bin Muawiyah sangat buruk di kalangan para sahabat yang
saleh-saleh.
Dengan tegas ia
berkata kepada Marwan, “Siapa yang berseru : Mari kita shalat, maka aku akan
menyambutnya. Siapa yang berseru : Mari kita mencapai kemenangan (di akhirat,
hayya ‘alal falaah), maka aku menyambutnya. Tetapi siapa yang berseru : Mari
kita membunuh saudara kita se-Islam, dan mengambil hartanya, maka aku akan
berkata : Tidak!!”
Setelah itu Ibnu Umar memisahkan diri dari dua
kelompok kaum muslimin yang terus bertikai, semaksimal mungkin menghindarkan
diri untuk tidak terjatuh dalam fitnah yang terus saja berkembang. Ia meninggal
beberapa tahun kemudian pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan. Hanya saja
ia sempat berkata sebelum ajal menjemputnya, “Aku tidak pernah menyesali
sesuatu dari dunia ini, kecuali penyesalanku karena tidak bergabung dengan Ali
bin Abi Thalib dalam memerangi para pembangkang!!”