Senin, 08 April 2013

Abdullah bin Umar RA, Sahabat yang Banyak Meriwayatkan Hadits Nabi SAW, Peniru Nabi SAW yang (Hampir) Sempurna

Abdullah bin Umar adalah putra Umar bin Khaththab, dan ia telah memeluk Islam semenjak kanak-kanak ketika masih di Makkah. Ia bergaul dengan Rasulullah SAW sepanjang masa anak-anak dan remajanya. Pada saat terjadinya Perang Uhud, bersama beberapa orang pemuda/remaja lainnya ia menghadap Rasulullah SAW untuk ikut serta dalam pertempuran tersebut, tetapi beliau tidak mengijinkan mereka. Saat itu usianya memang belum genap 15 tahun.
Dalam usianya yang masih sangat muda, Ibnu Umar sangat mencintai Nabi SAW. Dalam setiap kesempatan yang dimilikinya, ia selalu mengamati dan mengikuti aktivitas Nabi SAW. Ia melihat ada seorang lelaki yang selalu mendatangi Nabi SAW untuk menceritakan mimpinya jika ia bermimpi. Karena itu ia sangat ingin bisa bermimpi, agar bisa menceritakan mimpinya kepada Nabi SAW seperti lelaki tersebut. 
Suatu ketika ia tidur di masjid, dan memimpikan sesuatu yang menyenangkan sekaligus menakutkan. Ia merasa memegang suatu kain sutera, dan tidaklah tergerak di hatinya suatu tempat di surga, kecuali kain sutera itu akan menariknya (membawanya) terbang ke tempat tersebut. Tiba-tiba ada dua malaikat datang dan membawanya ke neraka. Di sana ia melihat bangunan seperti sumur yang mempunyai dua cabang, dan di dalam sumur tersebut banyak orang yang dikenalinya. Muncul kekhawatiran dalam dirinya, sehingga ia berkata, "Semoga Allah melindungiku dari neraka ini…!"
Kemudian datang malaikat yang lain, yang mengatakan agar ia tidak takut dengan neraka tersebut. Setelah itu ia terbangun dari tidurnya.
Walau keinginannya untuk bermimpi telah terpenuhi, ternyata Ibnu Umar tidak punya keberanian untuk menceritakan mimpinya tersebut kepada Nabi SAW seperti yang diinginkan sebelumnya. Karena itu ia menceritakannya kepada kakaknya yang juga istri Nabi SAW, Hafshah. Ketika Hafshah menceritakan mimpi tersebut kepada Nabi SAW, beliau bersabda, "Abdullah bin Umar adalah anak yang baik, saya berharap semoga ia selalu melaksanakan shalat malam."
Setelah Hafshah menyampaikan sabda Nabi SAW tersebut, Ibnu Umar selalu mengerjakan shalat malam, dan tidur hanya sebentar saja. 
Abdullah bin Umar dikenal sebagai sahabat yang paling banyak meneladani Nabi SAW, dalam sikap dan perilaku beliau, bahkan pada hal-hal yang sebenarnya tak berarti. Ia selalu memperhatikan apa yang dilakukan Nabi SAW, dan kemudian menirunya dengan cermat dan teliti, agar semaksimal mungkin bisa sama. Misalnya ia melihat Nabi SAW shalat di suatu tempat, maka di tempat yang sama, ia akan melakukan shalat seperti beliau. Jika Nabi SAW berdoa dengan berdiri, ia juga akan berdoa dengan berdiri di tempat tersebut.
Pernah, di suatu tempat di Makkah, ia melihat Nabi SAW berputar dua kali dengan untanya sebelum turun dan shalat dua rakaat. Maka setiap kali ia melewati tempat itu, ia akan memutar untanya dua kali, kemudian turun dan shalat dua rakaat seperti yang pernah dilakukan Nabi SAW. Padahal bisa saja unta Nabi SAW itu memutar sekedar untuk mencari tempat yang tepat untuk berhenti dan beristirahat.
Begitulah kesetiaan Abdullah bin Umar dalam mengikuti jejak langkah Nabi SAW, sehingga Ummul Mukminin, Aisyah RA pernah berkata,  "Tak seorangpun mengikuti jejak Rasulullah SAW di tempat-tempat pemberhentian beliau, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Umar…."
Hampir tidak ada suatu perilaku Nabi SAW, yang diketahuinya yang tidak ditirunya. Setelah beberapa tahun berlalu sepeninggal Nabi SAW, ia ingat sesuatu yang ia tidak tahu apa yang dilakukan oleh beliau dan ia belum menirunya. Waktu Fathul Makkah, beliau masuk ke dalam Ka'bah. Yang diketahuinya beliau menghancurkan berhala-berhala, setelah itu ia tidak tahu. Karenanya ia segera mencari Bilal bin Rabah yang saat itu mengikuti beliau masuk ke dalam Ka'bah untuk menanyakan hal tersebut. Atas pertanyaannya ini Bilal berkata, "Beliau berdiri di antara dua tiang Ka'bah dan shalat dua rakaat…."
Mendengar penjelasan ini Abdullah bin Umar menangis penuh penyesalan, beberapa kali ia mengunjungi dan masuk ke dalam Ka'bah, tetapi ia tidak pernah shalat dua rakaat seperti itu. Ia sangat sedih dan merasa telah gagal meneladani Nabi SAW, seolah-olah sekian banyak ibadah, jihad, kedermawanan dalam membelajakan hartanya di jalan Allah, dan berbagai amal kebaikan yang dilakukannya tidak bisa menebus kelalaiannya dalam mengamalkan dua rakaat yang dilakukan Nabi SAW di dalam Ka'bah tersebut.
Karena ‘kebiasaan uniknya’ tersebut, banyak sekali sahabat atau orang-orang yang tidak sempat bertemu Nabi SAW, berdoa, “Ya Allah, panjangkanlah usia Abdullah bin Umar selama Engkau menetapkanku untuk bisa meneladaninya. Karena sesungguhnya aku tidak mengetahui seseorang yang perilakunya paling menyerupai Rasulullah SAW selain dirinya!!”
Beberapa sahabat lainnya berkata, “Tidak ada seorangpun dari sahabat Nabi SAW yang sangat berhati-hati terhadap hadits, seperti hati-hatinya Abdullah bin Umar!!”
Dengan kesetiaannya meneladani Nabi SAW dan mengikuti pengajaran-pengajaran beliau, Abdullah bin Umar tumbuh menjadi seorang yang alim, abid dan zuhud, sebagaimana ayahnya, Umar bin Khaththab. Banyak sekali sahabat Nabi SAW mengakui ketaqwaannya, hingga ketika Umar hampir wafat, mereka mengusulkan agar putranya tersebut yang menjadi khalifah. Tetapi dengan tegas Umar berkata, “Cukuplah satu orang saja dari keluarga Umar yang akan dihisab (dituntut) dalam urusan (memimpin kaum muslimin) ini, yakni Umar…!!”
Begitu juga ketika Umar kesulitan mencari seseorang untuk menjabat gubernur Kufah, para sahabat mengusulkan Abdullah bin Umar karena kemampuan, kesalehan dan kealimannya. Tetapi lagi-lagi Umar menolak, walau ia yakin putranya tersebut mampu menjalankannya. Bukan berarti ia tidak sayang, justru karena sangat sayangnya kepada Abdullah bin Umar, maka sebisa mungkin ia menghindarkan putranya tersebut dari ‘lingkaran’ pemerintahan, agar langkahnya (hisabnya) di akhirat kelak menjadi ringan.
Saat Utsman bin Affan menjadi khalifah, ia menunjuk Ibnu Umar menjadi qadhi (hakim). Tetapi seperti pendidikan yang diberikan ayahnya, ia segera menolak jabatan tersebut. Ketika Utsman berkata, “Apakah engkau tidak taat kepadaku??”
Ibnu Umar berkata, “Bukan begitu, wahai Amirul Mukminin, tetapi aku pernah mendengar Rasulullah SAW mengatakan, bahwa hakim itu terbagi tiga. Hakim yang memutuskan perkara dengan kebodohannya, maka ia masuk neraka. Hakim yang memutuskan perkara dengan hawa nafsunya, maka ia masuk neraka juga. Dan satu lagi hakim yang memutuskan dengan ijtihad, dan ijtihadnya itu benar, maka baginya tidak ada dosa dan tidak pula pahala baginya!!”
Ketika Utsman wafat terbunuh dan kaum muslimin mulai terpecah belah, beberapa orang sahabat mendatanginya dan berkata, “Wahai Ibnu Umar, engkau adalah pemimpin umat, dan putra dari pemimpin umat, keluarlah bersama kami, dan kami akan mengajak ummat untuk memba’iat engkau sebagai khalifah!!”
Tetapi seperti ketegasan dan keteguhan yang ditanamkan ayahnya, serta merta ia menolak tawaran tersebut, dan menyibukkan diri dengan ibadah demi ibadah kepada Allah.
Abdullah bin Umar berusia panjang hingga melewati masa-masa fitnah. Ketika terjadi pertentangan antara Ali dan Muawiyah, ia memilih untuk abstain, tidak memihak kepada ke dua belah pihak. Sebenarnya Ali bin Abi Thalib sendiri yang mendatanginya untuk bergabung, tetapi Ibnu Umar berkata, “Saya telah berjanji kepada Allah untuk tidak membunuh seseorang yang telah mengakui (bersyahadat, bersaksi) bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah!!”
Setelah mengetahui penolakannya terhadap ajakan Ali, Muawiyah mengirim seorang utusan yang memintanya untuk bergabung dengannya. Tetapi Ibnu Umar menjawab dengan tegas dan lebih ‘pedas’ kepadanya, “Apa yang kamu harapkan daripadaku (yakni dukungan Ibnu Umar), adalah sesuatu yang menjadikan engkau seperti dirimu yang sekarang ini, bahkan lebih (yakni, ambisinya terhadap kekuasaan dan kesombongan). Aku tidak menyertai Ali bukan karena curiga kepadanya, demi Allah yang nyawaku di tangan-Nya, aku sama sekali tidak setaraf dengan Ali bin Abi Thalib (yakni, jauh lebih rendah), baik dalam keimanan, hijrah ataupun kedudukannya di sisi Rasulullah SAW, serta perjuangannya melawan kemusyrikan…. Akan tetapi apa yang terjadi sekarang ini belum terjadi di masa Nabi SAW, sehingga saya bersikap tidak memihak. Janganlah pernah mencoba untuk mempengaruhi saya lagi!!”
Setelah itu Abdullah bin Umar memilih menyendiri, sibuk beribadah serta melazimi sunnah dan perilaku Nabi SAW seperti yang selama ini banyak dilakukannya. Tetapi kondisi ‘politik’ dan kekuasaan Islam saat itu makin memanas setelah Ali bin Abi Thalib terbunuh. Para pemegang kekuasaan tidak lagi meneladani Nabi SAW dan para sahabat terdahulu, tetapi lebih seperti para Kaisar Romawi ataupun Kisra Persia, kedzaliman yang merajalela karena jabatannya. Banyak sekali peristiwa ‘hitam’ dalam sejarah Islam yang terjadi saat itu, sehingga membuat Ibnu Umar harus mengkritisi mereka. Mungkin tidak banyak berarti, tetapi setidaknya ia telah menyampaikan kebenaran yang diketahuinya dari Nabi SAW, dan itu adalah jihad yang sangat besar. Perkataan atau kalimat yang benar, yang disampaikan di hadapan penguasa yang dzalim.
Setelah meninggalnya khalifah Muawiyah bin Yazid pada tahun 64 hijriah, Marwan bin Hakam, salah seorang tokoh dan sesepuh Bani Umayyah, meminta Abdullah bin Umar untuk menjadi khalifah. Ibnu Umar memang bukan dari Bani Umayyah, tetapi salah satu keponakan (anak saudaranya) perempuannya ada yang dinikahi oleh putra Marwan, Abdul Azis bin Marwan. Atas dasar kedekatan hubungannya (dari perkawinan) inilah Ibnu Umar diminta untuk menjadi khalifah, yang tentu saja ditolaknya mentah-mentah. Apalagi ‘track record’ kekhalifahan Muawiyah bin Abu Sufyan dan Yazid bin Muawiyah sangat buruk di kalangan para sahabat yang saleh-saleh.
Dengan tegas ia berkata kepada Marwan, “Siapa yang berseru : Mari kita shalat, maka aku akan menyambutnya. Siapa yang berseru : Mari kita mencapai kemenangan (di akhirat, hayya ‘alal falaah), maka aku menyambutnya. Tetapi siapa yang berseru : Mari kita membunuh saudara kita se-Islam, dan mengambil hartanya, maka aku akan berkata : Tidak!!”
         Setelah itu Ibnu Umar memisahkan diri dari dua kelompok kaum muslimin yang terus bertikai, semaksimal mungkin menghindarkan diri untuk tidak terjatuh dalam fitnah yang terus saja berkembang. Ia meninggal beberapa tahun kemudian pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan. Hanya saja ia sempat berkata sebelum ajal menjemputnya, “Aku tidak pernah menyesali sesuatu dari dunia ini, kecuali penyesalanku karena tidak bergabung dengan Ali bin Abi Thalib dalam memerangi para pembangkang!!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar