Ketika Nabi SAW menggerakkan
pasukan ke Badar, yang saat itu tujuan utamanya untuk menghadang kafilah dagang
Quraisy, Khaitsamah bin Harits dan putranya, Sa’d bin Khaitsamah mendatangi
Nabi SAW untuk mengikutinya. Tetapi Nabi SAW menolak jika mereka berdua yang
mengikutinya, dan hanya salah satu saja yang diijinkan. Khaitsamah berkata
kepada anaknya, "Tidak bisa tidak, salah seorang dari kita harus tinggal,
karena itu tinggallah kamu dan bersenang-senanglah bersama istri-istrimu!"
Tetapi Sa'd menolak perintah
ayahnya tersebut. Untuk membaktikan diri kepada Nabi SAW dan Islam, ia tidak
ingin mengalah begitu saja. ia berkata, "Jika tidak karena jannah, aku
akan mendahulukan ayah untuk berangkat. Sesungguhnya aku menginginkan syahid di
tempat yang kutuju ini."
Mereka berdua berdebat dan bertahan
dengan argumentasi masing-masing, tidak ada yang mau mengalah. Akhirnya Nabi
SAW menyarankan mereka untuk melakukan undian, ternyata Sa'd yang menang dan
terpilih ke Badar mengikuti pasukan yang dibentuk beliau. Khatsamah amat
bersedih, tetapi ia tidak punya pilihan lain kecuali menerima keputusan
Rasulullah SAW ini.
Tujuan utama untuk menghadang
kafilah itu mengalami kegagalan karena Abu Sufyan bin Harb yang menjadi
pimpinan kafilah itu sangat hati-hati dan waspada. Ia berhasil lolos dan
pasukan muslimin yang hanya berjumlah 314 harus berhadapan dengan pasukan
Quraisy sejumlah seribu orang yang dipimpin Abu Jahal. Walaupun secara umum
pasukan muslimin menang, tetapi Sa’d menemui syahidnya di tangan algojo
Quraisy, Amr bin Abdu Wudd. Khaitsamah menerima kabar ia dengan sedih sekaligus
bahagia, sedih karena kehilangan putranya, tetapi bahagia karena Sa’d
memperoleh apa yang dicita-citakannya, yakni mati syahid di jalan Allah.
Pada tahun berikutnya, ketika Nabi
SAW sedang mempersiapkan pasukan untuk Perang Uhud, Khaitsamah bin Harits
mendatangi Nabi SAW dan berkata, “Wahai Rasulullah, tadi malam aku bermimpi
bertemu dengan anakku, Sa’d bin Khaitsamah dalam keadaan yang seindah-indahnya.
Ia menikmati hidup yang nyaman di surga. Ia berkata kepadaku : Wahai ayah, apa
yang dijanjikan Tuhanku benar adanya, maka segeralah engkau menemui aku untuk
bercengkerama di surga. Pagi harinya waktu bangun, aku sungguh merasa sangat
rindu untuk menemani anakku dan bertemu Tuhanku. Wahai Rasulullah, doakanlah
kepada Allah agar aku dikaruniai ‘rezeki’ mati syahid…!!”
Nabi SAW tersenyum mendengar cerita
Khaitsamah, dan kali ini beliau mengijinkan dia untuk mengikuti pertempuran
tersebut. Beliau juga mendoakan seperti yang dikehendakinya.
Ketika perang Uhud dimulai, Khaitsamah
langsung menerjunkan diri dalam medan
perang dan berjuang dengan gencarnya. Pada mulanya kaum muslimin mendapat
kemenangan yang gemilang, tetapi ketika sebagian besar para pemanah di atas
bukit turun untuk mengumpulkan barang rampasan perang, keadaan berbalik. Pasukan
muslimin terdesak, bahkan banyak yang melarikan diri, sedikit saja bertahan
mati-matian untuk menjaga keselamatan Rasulullah SAW. Tetapi karena kekuatan
yang tidak berimbang, sedikit dari mereka yang bertahan itu sebagian menemui
syahidnya di tangan pasukan Quraisy, termasuk Khaitsamah bin Harits.
Jenazah para syuhada Uhud sebagian
besar mengalami luka-luka yang parah karena banyaknya sayatan pedang dan
tusukan tombak yang dialaminya. Sebagian lainnya juga sengaja dirusak oleh
pasukan Quraisy sebagai pelampiasan dendam atas kekalahan mereka di Perang
Badar. Secara fisik jenazah mereka mungkin tampak mengenaskan dan menyedihkan,
tetapi sesungguhnya jiwa-jiwa mereka merasa senang dan tersenyum bahagia, termasuk
di antaranya Khaitsamah. Ia telah memenuhi kerinduannya untuk bertemu putranya,
Sa’d, bersama-sama bercengkerama di surga, merasa tentram dan bahagia bertemu
dengan Tuhannya, Allah SWT.